"Baiklah, selamat bersenang-senang, manusia korup dan tamak," gumamku sebelum meninggalkan kota itu. Mereka pasti akan saling menyakiti satu sama lain, saling senggol, saling menghianti demi kepentingan pribadi, bertahan hidup dan mengumpulan harta untuk membuktikan siapa paling berkuasa dan berharta. Manusia-manusia tamak itu, aku benar-benar tak sabar melihat mereka bergelimang penderitaan setelah selama ini bergelimang harta, jabatan dan kehormatan.
***
Setelah sembilan hari berlalu.
Tujuh anggota departemen kematian menuju kota terakhir untuk menuntaskan tugas terakhir, menjemput mereka yang hidup menderita di kota terakhir.
"Bisakah kita sedikit berlama-lama, Senior. Aku ingin bermain-main tarik ulur dengan nyawa mereka. Takkan kubiarkan tanganku menariknya dengan lembut." Seniorku tingkat 4 berkata.
"Tidak, tidak, lakukan saja seperti biasanya. Jangan sampai emosi pribadi mempengaruhi kinerja kita." Seniorku tingkat 3 menyahuti. Kami mengangguk menyetujui.
Namun, alangkah terkejut kami ketika sampai pada kota terakhir yang dipenuhi gelak tawa dari manusia-manusia rakus itu. Tak terlihat raut wajah dengan derita yang tersirat di sana.
"Lihatlah, dunia memang selalu berpihak pada kita, saat semua musnah di luar sana kita selamat dengan cara ajaib dan berkumpul di mana ini, surga?" ucap satu dari mereka.
Gelak tawa yang lain menyahuti.
Aku meremas jemariku, rupanya mengumpulkan mereka dalam satu tempat tidak memberikan efek penderitaa malah tawa bahagia yang ada. Kami sungguh-sungguh keliru memahami pemkiran manusia, apalagi manusia tamak seperti mereka.
"Jangan halangi aku untuk mencabutnya dengan cara yang paling sadis manusia-manusia tidak tahu diri itu." senioru tingkat 3 dan 4 sudah melesat lebih dulu, aku menyusul. Aku juga akan melakukan hal yang sama.