"Eh, ada. Perang Bubat itu ada, aku pernah membacanya perang yang menewaskan raja dan putri kerajaan Galuh (sunda). Dan itulah yang membuat suku Sunda dan Jawa tak bisa bersatu di masa depan," kataku menggebu, tak terima dengan penjelasan pelayan wanita itu. Â
Pelayan wanita itu menatapku dengan tatapan bingung. "Tidak ada perang itu dan raja maupun putri kerajaan Sunda itu tidak tewas, semuanya baik-baik saja, kamu ini bicara apa. Aneh sekali hari ini. Bergegas ambil, antar makanan ini."
Aku balik kanan menuruti perintahnya membawa nampan besar penuh berisi makanan. Dalam posisi terburu  diliputi kebingungan pada informasi yang kuterima itulah aku menabrak seseorang yang membuat makanan berhamburan ke mana-mana. Kejadian itu berlangsung singkat, sesingkat nasibku berada di istana Majapahit.
"Siapa pelayan itu, berani-beraninya mengotori istana dan tamu kehormatan, seret dan penggal  kepalanya!!!"
Aku tergeragap, penggal kepala. Eh, sesepele kesalahan itukah? Memberikan hukuman. Semua bisa dibicarakan baik-baik, bukan? Sedang di masa depan koruptor yang merugikan negara saja tak akan pernah mengenal sanksi apalagi sampai di penggal kepalanya seserdahana menumpahkan makanan di masa lalu.
Sretthhh...
Seorang Algojo telah bersiap dengan pedang di tangan, tamatlah riwayatku. Tak jadi menikah di tahun 2023 apalagi di zaman Majapahit. Lebih tragis daripada nasib koruptor kelas kakap. Dua detik sebelum berakhir gelap, aku dapat melihat kepalaku yang menggelinding.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H