Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Hukuman yang Kuterima

3 Juni 2024   23:14 Diperbarui: 3 Juni 2024   23:42 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tak usah bersandiwara, cepat rapikan dandananmu dan bergabung di ruang tengah dengan pelayan yang lain. Banyak yang perlu di persiapkan karena kita akan menyambut keluarga calon besan kerajaan Majapahit," kata perempuan yang memiliki dandanan yang sama denganku itu.

"Majapahit? Bergabung dengan pelayan yang lain?"

Aku merasakan kepalaku yang makin berdenyut, mendengarnya. Namun, dengan cepat aku mengaitkan beberapa hal yang kudapat dari apa yang kulihat, kudengar juga kurasakan. Apa kecelakaan yang kualami sebelumnya telah membuka pintu portal ajaib menuju masa lalu dan  jangan-jangan umpatan yang telah kulontarkan pada raja paling tersohor dari kerajaan besar. Sebesar Majapahit membuat para dedemit marah dan mengirimku ke tempat ini untuk menerima hukuman. Mungkinkah acara yang dimaksud wanita itu adalah acara hukuman pancung untukku, aku mengedikkan bahu merinding, membayangkan sesuatu yang tidak-tidak.

"Bergegas, Lasmi!" seru wanita itu kembali memasang wajah garang di depan pintu.

Siapa pula Lasmi, nama perempuan ini Lasmi? Entahlah, kupikir iya. Aku segera merapikan dandanan, menghembuskan nafas mencoba menenangkan diri.

"Baiklah, mari menerima hukuman pancung, Andia. Setidaknya jika nanti bertemu dengan raja Hayam Wuruk katakan ia harusnya tak menyerah semudah itu memperjuangkan cintanya yang beda kerajaan juga beda suku itu. Harusnya ia dapat menentang mahapatihnya, yang dengan pengibaratan level berada di bawahnya. Sehingga generasi sesudahnya tidak perlu menderita dengan peraturan tak masuk akal itu, larangan menikah antara Sunda dan Jawa," kataku pada diri sendiri sembari melangkahkan kaki mengikuti wanita itu.

Setelah aku mengamati banyak hal, menggali informasi, ternyata acara yang dimaksud adalah acara pernikahan anak raja Hayam Wuruk, putri Kusumawardhani. Aku tak sempat tertegun karena mereka menikah saat umur belia, maklumlah menjaga silsilah kerajaan.

Di tempat itu aku juga melihat mahapatih Gajah Mada yang berperawakan gagah di usianya yang tak lagi muda. Wajah dengan garis rahang kokoh dan postur tubuh yang tegap, berbeda sekali dengan patung gajah mada yang pernah kulihat, gendut dengan banyak lemak. Yang ini keren pake banget, bangat. Aku juga melihat maharaja Hayam Wuruk dengan permaisurinya-Sri Sudewi- yang cantiknya bukan main. Bahkan boleh jadi matahari minder dengan cantiknya yang begitu bersinar.

Tiba-tiba aku teringat akan kalimat lelaki bodoh yang kucintai itu, jika ia akan tetap mencintaiku meski telah menikah dengan perempuan lain. Apakah Prabu Hayam Wuruk juga begitu, ia masih belum juga move on dari putri kerajaan Sunda Dyah Pitaloka. Yang mana menurut perkiraanku ia sudah wafat di tahun itu.

Pekerjaanku hilir mudik membawa nampan-nampan berisi makanan dan minuman dengan beberapa pelayan lain. Nasib, jika boleh memilih lebih baik aku bangun dalam tubuh putri Kusumawardhani yang akan menikah, setidaknya jika tidak dapat menikah di dunia nyata, aku dapat menikah di kerajaan Majapahit. Aku seperti teringat sesuatu, maka aku memutuskan bertanya tentang perang Bubat, perang yang memisahkan cinta yang melegenda.

"Tidak ada perang Bubat, Lasmi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun