Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Toko Buku Pengabul Pinta

2 Juni 2024   22:41 Diperbarui: 4 Juni 2024   00:06 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku ingin menjual semua buku ini!" Aku berseru di depan meja kasir, menghempaskan satu tas berukuran sedang berisi semua buku yang kumiliki ke atas meja. Meja itu memiliki tinggi sedadaku membatasi pengunjung dan pemilik toko buku itu. Sedang di bawahnya terletak meja berukuran sedang tempat pemilik toko tenggelam dalam buku-buku yang terhampar di hadapannya.

Kuatur nafasku yang masih terengah-engah, tak mudah membawa satu tas berisi buku-buku itu menuju lantai dua bangunan itu.
Lebih dari satu jam aku harus memutari jalanan yang sama, menajamkan penglihatan dan ingatan untuk menemukan toko buku yang tak pernah kudatangi lagi setelah lima belas tahun berlalu.

Toko buku yang sering kudatangi saat usiaku masih belia. Menginjak usia remaja, aku merantau ke pulau seberang, meneruskan sekolah hingga bekerja dan baru kembali ke kota kecil ini untuk mencari peruntungan yang lain. Atau setidaknya kembali, untuk memungut sisa-sisa kenangan yang akan kubangun lebih megah di masa depan.

Mimpi-mimpi itu ternyata harus kuberangus, buku-buku sialan itu tak memberiku apa-apa. Sesuatu yang dijanjikannya tak pernah sekalipun dapat kurengkuh penepatannya. Aku kehilangan rupiah demi rupiah yang kutabung untuk membelinya, mengabaikan kebutuhan yang lain. Mengabaikan kebutuhan sandangku, hingga pakaian yang kupunya dapat dihitung berapa helainya. Mengabaikan kebutuhan panganku, hingga tubuhku berdiri kurus kering, bahkan mungkin angin mampu menerbangkannya jauh mengelilingi dunia. Begitu juga aku mengabaikan kebutuhan skincare-ku, hingga dapat kau lihat wajahku yang beruntusan, berjerawat, hitam pula.

"Aku ingin menjual semua buku ini." Aku mengulang kalimatku, setelah menyadari tak ada respon dari seseorang yang duduk di meja kasir. Seseorang dengan rambut terurai hingga bahu, separuh rambut bagian atas diikat sembarang, menyisakan helaian yang sedikit menutup wajah dengan kacamata itu.

Aku benar-benar sudah muak dengan semua buku itu. Apa yang dikatakan orang-orang tentang buku adalah bualan semata. Buku adalah jendela dunia. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Buku dapat membuat hidup menjadi lebih bijak. Buku adaah mercusuar dalam kegelapan. Aku sungguh tak mempercayainya kini, setelah hampir seperempat abad kuhabiskan waktu dengannya. Sia-sia. Aku masih mengingat jelas bagaimana orang-orang memandangku rendah ketika aku tak dapat memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan.

"Dia banyak membaca tapi kosong saja isi kepalanya, mungkin dia hanya ingin terlihat keren dengan membaca di saat orang lain mengobrol."

Semua kata yang kudengar terasa menusuk dan aku benar-benar merasa terjatuh ke dalam dasar jurang kegelapan. Sebuah kesegalapan yang kutakutkan keberadaannya. Padahal aku mengumpulkan lebih banyak ranting demi ranting, memadukan satu demi satu. Berharap paduan dari panasnya memercikkan api yang dapat menerangi dan menghangatkan sekitar. Namun, nyatanya yang kudapat tak demikian.

Aku kehilangan uangku dan aku kehilangan waktuku untuk pada akhirnya aku menyadari aku kehilangan kesederhanaan berpikirku  dari lembar demi lembar dan tumpukan demi tumpukan buku-buku itu. Aku merasa tersesat dalam labirin tak berujung, pemikiran yang semain rumit terurai.

"Aku menjual semua buku ini, Mbak. Dengar tidak sih," keluhku menghembuskan nafas sebal di masa sih telinganya, perlukah aku berteriak tepat di depan gendang telinganya.

Seseorang yang duduk di meja kasir yang kuyakini sebagai pemilik toko mendongak menatapku tajam. Eh, aku tercekat, mata itu menyiratkan tatapan tak bersahabat dan penuh ancaman.

"Eh, maaf, Mas." Aku membungkukkan badan sedikit, kalimatku terdengar lemah. Aku baru saja menyadari jika seseorang dengan rambut indah di hadapan adalah seorang laki-laki, bukan perempuan seperti perkiraanku.

"Aku berniat menjual buku, Mas."

Entah kenapa aku menyadari bahwa kalimat yang kuucapkan sedikit melunak, beberapa detik bersitatap dengan pemilik mata yang menyorotkan ketidaksukaan itu, aku sedikit kikuk.

"Aku perlu menjual buku-buku ini, Mas. Aku merasa aku tak menjadi pintar karenanya, malah semakin bodoh. Aku semakin tak tau apa-apa semakin aku banyak membaca, apa gunanya membaca jika aku dengan mudahnya melupakan apa yang kubaca. Aku tak dapat menjawab pertanyaan, aku tak dapat bersosialisasi dengan baik jika sudah bersama buku," jelasku panjang lebar, entah mengapa seolah aku perlu menjelaskan dengan pemuda itu, padahal ia belum mengeluarkan sepatah katapun untuk menyahutiku.

Aku tertunduk, perasaanku kembali campur aduk. Di rumah, orangtuaku selalu memarahiku perihal buku-buku yang kumiliki, buku-buku yang kubeli, buku-buku yang kupinjam dan buku-buku yang kubaca. Aku seolah melupakan apa itu sebuah kewajiban, apa itu obrolan ringan pengisi waktu senggang bersama keluarga. Aku lebih banyak tenggelam dalam halaman demi halaman buku-buku yang tak memberiku efek apa-apa itu.

"Jika Mas-nya tak bisa membeli, kuberikan saja secara sukarela buku-buku ini untuk di jual di toko. Aku sudah tidak mau berurusan dengan buku-buku ini," ucapku terus melanjutkan perkataan, ada sesuatu yang kutakutkan ketika kembali bersitatap dengan mata pemilik toko itu.

"Kau letakkan saja di sana," kata lelaki itu, mengalihkan pandang, tak lagi menghiraukanku.

"Eh, beneran tak di beli?" tanyaku penasaran, sebenarnya aku tak sunggh-sungguh mengatakan kalimat itu tadi. Aku juga membutuhkan uang, mana ada orang yang tak membutuhkan uang.

Sebagai jawaban lelaki itu kembali menatapku tajam, tatapan yang seolah ingin menelanku bulat-bulat. Gundah menjalari diri, aku beringsut undur diri. Setelah mengucapkan sepatah kalimat agar lelaki itu menjaga bukuku dengan baik.

"Tunggu," ucap lelaki itu menahan langkahku.

"Sebagai balasan terima kasihku, kau bisa menyebutkan apa pintamu dalam hati saat kau memegang gagang pintu saat keluar nanti."

Meski tak memahami ucapannya, aku mengangguk mengiyakan. Kakiku kembali melangkah, ragu-ragu aku memegang daun pintu, sembari memikirkan apa yang dapat kusebut sebagai sebuah keinginan untuk kemudian aku melangkah keluar seolah tanpa beban.

***

Sesampainya di rumah aku berjalan perlahan menuju kamar, merebahkan tubuh di atas kasur. Aku merasa lelah sekali hari ini. Tanganku perlahan terjulur ke atas meja, kudapati buku-buku rapi bertumpuk, aku mengambil satu buku paling dekat, membukanya dan perlahan membacanya. Aku larut dalam pemainan kata demi kata, hingga kudengar pintu kamar terbuka dan ibu menyembul dari balik pintu.

"Apa kau akan terus berada di kamar dengan tumpukan buku-buku itu saat ada sanak saudara berkunjung ke rumah!" ibu berseru.
Aku tersenyum, menutup buku dan gegas melangkah keluar dengan buku di tangan. Hatiku entah mengapa terasa lebih ringan mendengar kata yang sering ibu keluhkan atas perilakuku, aku menerimanya. Aku tak marah.

"Eh, Diya, masih suka baca buku ternyata. Iya, dulu Diya dan Amel memang berkebalikan. Diya rajin sekali membaca, Amel tidak. Sekarang Amel sudah menjadi dokter, Diya kerja apa? Oh di PHK?"

Aku tersenyum mengiyakan, dan aku sama sekali tak marah lagi. Aneh.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun