"Sebagai balasan terima kasihku, kau bisa menyebutkan apa pintamu dalam hati saat kau memegang gagang pintu saat keluar nanti."
Meski tak memahami ucapannya, aku mengangguk mengiyakan. Kakiku kembali melangkah, ragu-ragu aku memegang daun pintu, sembari memikirkan apa yang dapat kusebut sebagai sebuah keinginan untuk kemudian aku melangkah keluar seolah tanpa beban.
***
Sesampainya di rumah aku berjalan perlahan menuju kamar, merebahkan tubuh di atas kasur. Aku merasa lelah sekali hari ini. Tanganku perlahan terjulur ke atas meja, kudapati buku-buku rapi bertumpuk, aku mengambil satu buku paling dekat, membukanya dan perlahan membacanya. Aku larut dalam pemainan kata demi kata, hingga kudengar pintu kamar terbuka dan ibu menyembul dari balik pintu.
"Apa kau akan terus berada di kamar dengan tumpukan buku-buku itu saat ada sanak saudara berkunjung ke rumah!" ibu berseru.
Aku tersenyum, menutup buku dan gegas melangkah keluar dengan buku di tangan. Hatiku entah mengapa terasa lebih ringan mendengar kata yang sering ibu keluhkan atas perilakuku, aku menerimanya. Aku tak marah.
"Eh, Diya, masih suka baca buku ternyata. Iya, dulu Diya dan Amel memang berkebalikan. Diya rajin sekali membaca, Amel tidak. Sekarang Amel sudah menjadi dokter, Diya kerja apa? Oh di PHK?"
Aku tersenyum mengiyakan, dan aku sama sekali tak marah lagi. Aneh.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H