Aku duduk meluruskan kaki, melihat ujung sepatu putihku yang terkena lumpur. Berlari ditengah hujan yang akan mereda tidaklah mudah. Menghindari genangan dan juga tempat yang licin, semennya berlumut.
Memilih tempat duduk yang terlihat sepi dari kerumunan orang yang berteduh, berisik sekali dengan coleh beberapa mahasiswi yang suaranya besar. Tak tau malukah mereka bercerita bertiga tetapi seluruh tempat itu mendengarnya. Tak berfikirkah jika suara mereka mengganggu ketenangan rinai hujan yang turun layaknya harmoni yang sedang dimainkan semesta. Gemerisik yang indah ditelinga.
"Kau kan penulis, Luk. Jika memperhatikan orang-orang dikampus besar ini, kisah siapa yang akan kau tulis?"
Reflek aku menoleh, bukan terkejut. Tentu saja aku tau itu suara siapa, seseorang yang sudah sedari tadi bersamaku, bahkan sejak hujan pertamakali turun. Terjebak hujan, berteduh. Gerimis masih membungkus pelataran kampus, rintik yang jatuh seolah sama saja. Ukurannya ya segitulah, tetesan kecil yang jatuh dari langit namun bertubi-tubi tanpa jeda.
Dulu aku selalu bertanya bagaimana hujan turun berupa tetesan, bukan langsung tumpah layaknya air terjun. Â Apakah diatas langit sana ada sebuah saringan air yang berbentuk seperti saringan santan yang dipunyai mamak dirumah, bolong-bolong.
"Kalau airnya turun macam air terjun, rusaklah bumi, Luk. Macam mane Kau ini. kau pernah berdiri di tengah hujan deras? Atau saat hujan gerimis tiba. Tpok, tpok, tetesan agak besar mengenai wajahmu, sakit kan? Kalau macam air terjun, badan kau yang kurus ini bisa terbawa arus entah sampe mana."
Aku tertawa, benar juga. Namun,ia terlalu berlebihan menanggapi pertanyaanku mengenai tetes hujan yang turun. Bawa-bawa kurus, body shaming. Aku mengingat perkataan teman waktu itu,
"Entahlah, aku belum punya ide," jawabku menyenderkan punggung kesenderan kursi.
"Untuk menjadi tokoh utama sebuah cerita, tentu ia harus punya cerita hebat. Kalau tidak, ceritamu tak akan menarik bukan?." Orang disampingku mengajukan tanya kembali
Aku mengangguk setuju, meski aku belum mahir betul di dunia kepenulisan. Namun, materi tentang penokohan dan alur cerita aku sudah beberapa kali mengikuti kelasnya. Dan ya, sama saja penjelasan itu, menarik dan beda dari yang lain itu kata kuncinya dalam menentukan tokoh dan alur cerita.
"Kisah Bu, Rektor kayaknya seru. Bertema wanita independen. Setiap hari menghadiri acara, dengan sambutan meriah dan khidmat saat beliau masuk. Atau Pak Dekan, kau mengikuti akun instagram beliau bukan?"
Seseorang di sebelahku tertawa. Akun Pak Dekan ramai, orangnya yang humble dan bijaksana itu banyak sekali postingannya. Dari mulai kegiatan fakultas, dinas keluar kota, bertemu kawan lama, mahasiswa yang berprestasi dan masih banyak lagi, macam-macam.
"Atau aku dapat membuat tokohku bernama Nadia sang juara artike. Dimana perlombaan artikel yang diikutinya, maka setelahnya dipastikan namanya terpampang dalam barisan juara.. Atau Uswah yang memiliki puluhan sertifikat penghargaan lomba. Dari lomba tilawah, ceramah, hafalan al-Qur'an. Atau bisa juga Mawaddah, yang dari tangannya yang mungil itu dapat mencipta keindahan kaligrafi yang mengahrumkan namanya di posisi juara pertama," paparku masih memperhatikan tetesan hujan yang turun.
Tiap tetes yang jatuh, hilang silih berganti menyatu dengan kubangan yang semakin banyak. Tak ada yang memperhatikan sudah berapa butir yang jatuh dari langit. Aku ingat, itu yang dibuat Bang Tere perumpamaan kehidupan manusia, hidup sebentar, menetes lalu mati menyatu dengan air dalam genangan. Tak ada yang memperhatikan, tak ada yang benar-benar peduli, kecuali pemilik kehidupan itu sendiri.
"Kisah Mba Annisa juga menarik, wajahnya cantik perawakan layaknya dosen, dan jangan lupakan, dia hafal 30 juz. Kuliah sambil mengajar di banyak tempat. Atau Kak Kholis, ketua umum organisasi besar di kampus, yang disegani, suka naik gunung juga. Duh banyak, banyak orang-orang hebat yang ada dikampus ini dan aku hanya mengenal beberapa."
Seseorang disebelahku menatapku, aku tau itu sedari tadi. Sedang tatapanku masih menatap bulir hujan yang dikata sumber kehidupan itu.
"Kau tak tertarik kah menulis tentang Mamang penjual tisu. Yang setiap harinya keliling kampus, mendatangi satu tempat ketempat lain dengan teriakan yang khas, tiiisssuuuu, Aqua dingiiinnnn, yang lagi jatuh cintaaaa," ujarnya menirukan khas gaya Mamang pejual tisu yang tak kutau namanya. Â
Aku mengangguk.
"Atau kau tak tertarik kah untuk menjadikan tokoh utamamu seperti Buk Nur. Tanpa Buk Nur kau tak akan lihat keindahan fakultas tanpa daun kering dan sampah sehelaipun di pelatarannya."
"Eh, tapi Buk Nur suka marah-marah," sahutku. Sedang dia tertawa, ingat bagaimana aku pernah dimarah Buk Nur karena sampah kertas yang ada di sampingku, padahal bukan sampahku.
"Beliau capek, Luk. Fakultas ini luas. Mahasiswa juga sering tak tau aturan, sembarangan buang sampah dengan dalih toh ada yang membersihkan nantinya. Atau lebih kurang ajarnya lagi berseloroh agar para petugas kebersihan tak makan gaji buta," paparnya, turut menghempaskan punggung.
Aku mengangguk sepakat dengan ucapannya, tak hanya mahasiswa yang tak tau aturan di Fakultas ini. pepohonan juga, aku pernah melihat Buk Nur menyapu, dan dengan entengnya pohon itu menjatuhkan daunnya ditempat yang sudah Buk Nur sapu. Aku menatap pohon di depanku, tak tau aturan.
"Orang-orang tentu akan tertarik dengan bintang yang bersinar. Indah dipandang dan paling menonjol diantara yang lain. Siapa yang tertarik dengan bintang redup? Aku belum pernah membaca novel yang mana tokoh utamanya tak bersinar, para penulis itu selalu sukses membuatku merasa wah, setelah menamatkan kisahnya. "
Seseorang disampingku mengangguk atas pernyataanku. Lantas hening, diantara kami. Hanya gemericik hujan dan suara keras tiga mahasiswi yang bercerita, lebih tepatnya bergosip.
"Kau percaya segala sesuatu mempunyai kelebihan dan kekurangan, Luk?"
Aku mengangguk, tentu saja aku setuju dengan kalimat itu. Buk Rektor yang kelihatan keren sekali, Pak Dekan yang penuh wibawa dan baik hati tentu saja punya kekurangan, meski hanya satu. Hanya saja khalayak ramai mungkin tak tau. Pun dengan Mamang penjual tisu dan Buk Nur, beliau mungkin sering dipandang sebelah mata, namun jasanya banyak dalam senyap. Bahkan bisa jadi dalam beberapa hal dapat mengalahkan Buk Rektor dan Pak Dekan, siapa yang tau.
"Dan tentu kau akan percaya bahwa bintang-bintang itu tak redup, kau hanya melihatnya dari jarak yang kurang pas. Bisa jadi malah lebih terang dari bintang yang kau katakan paling mempesona itu," tuturnya.
Wihhhh, aku refleks menoleh kearahnya. Sebagai balasan senyumnya terhampar, senyum jemawa atas pernyataan itu.
"Boleh juga kau ini," godaku
"Makanya, kau perlu memangkas  jarak yang pas untuk melihat bahwa di dekatmu ada bintang yang lebih terang dari banyak bintang diluar sana," sahutnya dengan percaya diri.
"Pelangi, ada pelangi." Seru sesembak yang bersuara paling keras saat bergosip, hingga aku paham bahwa yang digosipkannya adalah Mamang paket yang mencoba mendekatinya dan direpson, padahal dia sudah punya kekasih. Dan sekarang tengah dilema, meminta pendapat besti-bestinya. Makanya kalau udah punya pasangan mbok ya, jaga sikap gitu. Jangan memberi harapan jika tak berniat sungguhan.
Aku berdiri melangkah keujung teras, menatap ujung langit dengan selarik warna warni yang tak cerah juga tak pudar, indah.
"Nah kan, kau itu terlalu fokus pada keindahan yang ada dikejauhan, Luk. Sampai kau kadang tak melihat keindahan di dekatmu." Di mengikutiku berdiri, turut menatap pelangi yang jarang sekali  muncul beberapa bulan terakhir.
"Dih, apaan sih. Kaga nyadar, situ juga gitu. Gajah dipelupuk mata tak nampak, semut dilautan nampak. Dah, aku balik dulu, terimakasih diskusi ringannya."
Aku melambaikan tangan, melangkah lebih dulu, sebelum ia menyadari apa yang aku maksud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H