Isu soal angkutan ilegal berbasis online kembali memanas setelah kemarin (14/3) ratusan pengemudi angkutan resmi berdemo ke Pemprov DKI, Kemhub dan Kemenkominfo memprotes keberadaan angkutan online.
Angkutan online jelas lebih diminati penumpang, karena tarif lebih murah dan armada ga kalah bagus (bahkan lebih bagus) dari angkutan resmi terutama taksi.
Hampir semua penumpang mengaku lebih memilih angkutan ilegal tapi online dibanding angkutan resmi tapi konvensional. Alasannya jelas, mudah dan murah.
Mengapa Angkutan Ilegal Berbasis Online Bisa Lebih Murah dan Mudah?
1. Tidak Bayar Retribusi
Tarif angkutan ilegal berbasis online tidak perlu memasukan cost-cost retribusi, baik retribusi keur, retribusi trayek, dan untuk taksi bandara tidak perlu membayar retribusi angkutan bandara ke Angkasa Pura.
Sekedar info tarif retribusi taksi bandara per unit bisa lebih dari Rp 5jt, oleh karenanya tidak semua taksi perusahaan besar ditempeli stiker bandara. Paling beberapa unit saja sebagai tanda perusahaan tersebut eksis dibandara. Pengelola taksi besar seperti Blue Bird dan Ekspress pun lebih memilih menjalankan shutle taksi ke penampungan taksi ketimbang memaksa me-stikerkan taksi mereka.
Bagaimana dengan taksi gelap online semacam Grab dan Uber? Mereka tidak perlu bayar retribusi-retribusi seperti keur dan trayek. Bahkan untuk jemput di bandara mereka bisa menggunakan mekanisme free parking 15 menit pertama. Ga heran tarif mereka jauh lebih mudah.
Bahkan dibanding taksi geap konvensional di bandara (sekarang dilegalkan dengan dinaungi 1 koperasi), taksi gelap konvensional masih bayar fee saat mereka mendaftarkan armadanya ke pihak bandara.
2. Tidak Ada Zonasi
Taksi resmi sebenaranya memiliki zonasi sendiri. Contoh taksi Jakarta, paling banter mereka berani antar penumpang ke Ciawi (selatan), Cikopo (timur), dan Serang (Barat). Itupun mereka tidak bisa sembarangan angkut saat arah pulang, dan lagi saingan mereka arah pulang sudah banyak bus AKAP.