Saya: iya mas. Mangkanya saya tanya ada motor yang lewat ga sebelum kami?
Pedagang: gada mas. Sudah biasa itu (tanpa menjelaskan maksudnya "biasa").
Kami melanjutkan perjalanan. Masih dengan misteri soal motor yang mendadak hilang. Kami tiba di pos Retribusi Wonokitri sekitar pukul 04.00
Kami membayar retribusi sebesar 70ribu untuk 2 motor. Petugas menunjukkan lokasi mana yang bisa dijangkau dan lokasi mana yang harus dihindari. "Kalo nekat, bisa-bisa mas kena evakuasi", jelas petugas itu. Petugas lain memberitahu saya bahwa ban motor saya kurang angin "7 Km lagi ada bengkel motor mas, bisa isi angin disana", jelasnya. Betapa petugas-petugas di pos ini sangat ramah.
Perjalanan sisa 10km menuju Penanjakan, tempat melihat matahari terbit.
Aktifitas warga Suku Tengger sudah terlihat, jalanan tidak sesepi di Tosari tadi. Rasa tenang menggelayuti kami. Seiring itu, udara dingin makin menusuk kulit. Aan melaju agak jauh. Di Bukit Cinta, saya dan Novi tidak mampu lagi menahan dingin. Motor langsung kami pinggirkan ke sebuah warung, Aan dan Anita terus melaju ke Bukit Penanjakan. Kami langsung memesan teh panas.
Teh panas itu langsung menjadi hangat di tangan kami, bahkan pisang goreng yang baru matang dengan cepat menjadi dingin. Matahari terbit kami lihat di Bukit Cinta, bukan di Penanjakan.
Rasa sakit, takut dan lelah terbayar dengan indahnya mentari yang keluar dari peraduan. Bulat sempurna. Setelah sekitar 20 menit, baru kami bisa menghubungi Anita. Sinyal disana memang sangat lemah. Aan dan Anita kami arahkan bergabung ke Bukit Cinta.
[caption id="attachment_368189" align="aligncenter" width="514" caption="Selfie Di Bukit Cinta (Foto koleksi pribadi)"]
Puas di bukit Cinta, kami menuju pertigaan yang saya lupa namanya. Pertigaan itu membagi arah ke lautan pasir-Penanjakan-Wonokitri. Disana saya isi angin ban, Novi dan Anita ke toilet. Selesai itu kami memikirkan rute pulang.
Saya: jangan lewat Tosari lagi. Aku trauma An