Mohon tunggu...
lukmanbbs
lukmanbbs Mohon Tunggu... Guru - lukmanbrebes

Ngaji pikir dan dzikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Nyai Liah Buntet Membimbing Santri Tanpa Mengenal Lelah

25 Juli 2022   20:29 Diperbarui: 25 Juli 2022   20:41 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Nyai Liah Buntet Pesantren bersama penulis di pernikahanan adik sepupu. Sumber: Dok.Pri

Pancaran sinar wajahnya dari seorang yang senantiasa tak bosan-bosan menasehatiku sejak pertama mengenal beliau di usia sekolah MTs, hingga kini sampai semua anakku kuliah. Laksana embun penyejuk penulis di kala kehausan.

Selama menjadi santri beliau, walaupun umurnya singkat karena  penulis melanjutkan sekolah di Pekalongan, banyak keteladanan yang diajarkan. Tiga tahun hidup bersama menjadi pembelajaran hidup yang sangat luar biasa. Beliaulah yang selalu mengingatkanku ketika penulis salah dalam membaca Al-Quran.

Nasehat-nasehat yang beliau berikan, kini sangat terasa ketika penulis dewasa.  Mungkin kalau tidak ada nasehat dan bimbingan beliau, penulis tidak seperti sekarang, menjadi orang yang senang menuntut ilmu dan mengutamakan pendidikan.

Usia Ibu Nyai yang sudah tidak muda, membuat beliau ketika berjalan harus dipapah anak-anaknya. Namun tetap semangat bersilaturahmi dan menghadiri hajat para santrinya.

Beliau selalu menyempatkan hadir dan terlihat memancarkan kebahagiaan,  seolah-seolah tidak ada penyakit tua yang dideritanya.

Bisa menatap wajah beliau yang menyejukkan dan duduk disampingnya bagi penulis memberikan rasa nyaman dan bahagia, apalagi  mengingat akan jasa-jasa  beliau dalam membimbing penulis.

Kehangatan komunikasi bersama beliau, dari rumah paman pada diri penulis terbawa sampai pulang berada di rumah, dan sangat terasa energi kebahagiaan yang bertahan cukup lama.

Pertemuan mengingatku kembali saat menjadi santri beliau. Sosok Ibu Nyai yang menyuruhku untuk kuliah.  Dan aku masih ingat pesan-pesan beliau kepada diri penulis.

"Luk, sirah kudu sekolah" (Indonesia: Luk, kamu harus sekolah) panggilan kepadaku, saat aku menjadi santri beliau, agar terus tetap sekolah ataupun kuliah.

Aku hanya menjawab,
"Nggih bu."

Padahal saat itu, aku tidak ingin melanjutkan sekolah, hanya ingin mondok di pesantren salaf saja, dengan kurikulum pondok pesantren yang tidak ada sekolah umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun