Dulu  saat kuliah hanya belajar teori semata tentang anak hiperaktif. Namun kini sudah dapat praktek langsung, setelah menunggu 20 tahun,  bagaimana mengajar dengan anak hiperaktif itu sendiri, walaupun hanya di Majlis mininya,  bersama puluhan santri kecil.  Melatih untuk berperilaku teratur dan membiasakan diri tenang dalam mengaji serta mau nderes (=belajar) terlebih dahulu sebelum mengaji. Dapat membuat anak hiperaktif terkontrol dalam berperilakunya.
Anak hiperaktif, memang sedikit memiliki perseoalan untuk dapat diam di tempat. Ketika duduk di tempat mengaji  menunggu antrian saja, sepertinya pantatnya ada duri atau ulat.  Karena ketika duduk sebentar langsung keluar lagi, garuk-garuk dan jalan-jalan. Tetapi setelah bertahun-tahun menyelami perilaku santri penulis ini, Alhamdulillah ia mau  belajar dengan baik dan bisa mengendalikan perilaku yang suka jalan-jalan saat menunggu giliran mengaji.
Dalam majlis pojok Randusanga, ada  pula santriku yang dapat  dikategori Slow learner. Santriku ini  memiliki keterlambatan dalam belajar namun anaknya sangat tekun berangkat mengaji. Sehingga dapat dikatakan tidak pernah alpa.  Alhamdulillah selama 3 (tiga) tahun mengaji ia sudah sampai pada Al-Quran. Sukses melewati tahap Jilid atau Qiroati.
Ketekunan inilah yang dapat dikatakan sebagai terapi alamiah  dalam mengoptimalkan kecerdasan yang dimiliki agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
Dari kedua santriku yang hebat-hebat ini,  ada santri satu lagi yang hebat pula. Walaupun ia mengidap  penyakit Hidrosephalus dengan ukuran kepalanya besar, suara yang kurang jelas, namun semangat sholat jamaahnya tinggi, suka adzan di Mushola dan puji-pujian menunggu iqomah setelah adzan.  Alhamdulillah dengan semangat berangkat mengaji setiap hari dan dorongan kedua orang tuanya, Ia sudah lancar membaca Al-Qur'an, walaupun kadang sering mencuri-curi nafas ketika ayatnya agak panjang.
Dari mengaji bertahun-tahun yang penulis kerjakan bersama para santri kecilku. Hari ini, Â Selasa (14/12/2021) aku kedatangan santri baru yang mengaji diemper rumah mungil, arah menuju pantai yang suka membawa air asinya sampai depan rumah.
Dia datang di depan ku sudah membawa Qiroti jilid I. Setelah sampai gilirannnya mengaji, ketika saya minta untuk menirukan apa yang aku katakan, tak terdengar suara dari mulutnya.
Aku mengulang beberapa kali, agar suaranya mau keluar. Namun tidak bisa keluar  menirukan ejaan Alif dan Ba. Akhirnya teman yang mengajaknya mengaji bilang,  "Nggak bisa bicara Pak Kaji"  katanya. Akupun kaget mendengarnya. Aku coba perlahan-lahan anak tersebut untuk mengeja huruf hijaiyah lagi.  Setelah berulang-ulang sampai 5 (Lima) kali ternyata suaranya keluar pula. "Alhamdulillah Ya Allah, Engkau mengirimkan santri yang tuna wicara dan kini sedikit ada suara dari mulutnya."  Ucapku dalam hati.
Walaupun  terlihat saat mengeja hurufnya sangat sulit dan  kurang jelas. Namun ketika keluar suara  huruf dari mulutnya. Sepertinya membuat aku tidak percaya. Ya Allah jadikan  santri  yang tunawicara ini. Menjadi pintu jalan membuka kedekatanku bersama Sang Pencipta Allah SWT.
Semoga saja, santri tunawicaraku yang satu ini, dapat membaca Al-Quran dengan benar dan lancar. Dan menjadikan Majlis Pojok Randusanga sebagai majlis inklusi bagi mereka yang memiliki kebutuhan husus untuk belajar membaca Al-Qur'an. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H