Mohon tunggu...
Lukman Azizi
Lukman Azizi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Masalah Perundang-undangan di Indonesia: Ketimpangan Pasal 224 KUHP tentang Perzinahan dengan UUD

11 Mei 2019   13:58 Diperbarui: 11 Mei 2019   14:16 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan warisan zaman Hindia Belanda yang sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Secara lebih mendasar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki budaya yang berbeda dengan budaya bangsa Indonesia. Setelah sekian lama KUHP berlaku di Indonesia, ternyata masih menyisakan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Jika kemudian KUHP ini diterapkan di indonesia maka akan terjadi benturan antara nilai-nilai sosial budaya dan kepentingan yang akan muncul, tidak bisa dipungkiri hal tersebut nantinya justu akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru yang ada di masyarakat.

Permasalahan tentang delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan kepentingan/nilai sosial budaya masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di masyarakat sering kali menimbulkan kejahatan baru. Hal ini diperparah dengan lemahnya praktik penegakan hukum.

Delik perzinahan telah diatur pada Pasal 284 KUHP, sebagaimana bunyinya ialah:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

seorang pria yang telah kawin yang melakukan perzinahan, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW/KUHP berlaku baginya,

seorang wanita yang telah kawin yang melakukan perzinahan, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW/KUHP berlaku baginya;

seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Keberadaan Pasal 284 KUHP ayat 1-5 di atas diduga berbenturan dengan landasan hukum tertinggi yaitu UUD 1945 pada Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan masih banyak Pasal UUD 1945 yang lainnya.

Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Adanya ketimpangan antara Pasal 284 KUHP dengan UUD 1945 membuat beberapa pemohon seperti Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti., M.S., Rita Hendrawaty Soubagjo, M.Si., Dr. Dinar Dewi Kania, dan 9 pemohon lainnya untuk melakukan uji materi kepada Hakim MK pada tanggal 19 April 2016 dalam perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016.

Uji materi dilakukan untuk meminta Pasal 284 KUHP agar pidana zina tidak hanya bagi laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga, tapi pidana zina perlu diperluas bukan hanya ditujukan untuk orang yang terikat pada perkawinan saja. Uji materi ini dimaksudkan agar setiap individu berhati-hati dalam pergaulan agar tidak terjerumus dalam perzinahan. Artinya pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

Namun MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum, sehingga uji materi yang diajukan pemohon mengalami penolakan dari Hakim MK. Dari sembilan Hakim MK terdapat empat hakim yang setuju adanya uji revisi yang dilakukan oleh pemohon dan 5 hakim menolak adanya uji revisi ini. Meski adanya Pasal 284 KUHP menyebabkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, tetap saja apabila Pasal 284 KUHP dilakukan uji revisi maka dapat dimungkinkan terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pengaplikasiannya di masyarakat umum seperti tuduhan kumpul kebo bagi sekelompok orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, selain itu juga dimungkinkan akan terjadi tindak main hakim sendiri dari masyarakat umum yang menganggap suatu perkumpulan itu dikatakan zina.

Hal ini dikarenakan adanya perubahan persepsi pada masyarakat umum terkait hukum perzinahan. Permasalahan pro dan kontra ini akan terus terjadi jika tidak ada solusi yang tepat untuk menyusun kembali perundang-undangan tentang zina yang lebih jelas dan bisa dipahami oleh masyarakat umum. Untuk itulah penulis menyusun makalah berjudul Masalah Perundang-Undangan Di Indonesia : Ketimpangan Pasal 224 Kuhp Tentang Perzinahan Dengan Undang-Undang Dasar untuk mengetahui letak ketimpangan, tujuan lahirnya UU, penyebab ketimpangan dan ketidakefektifan UU.

Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan sehingga menimbulkan pihak-pihak yang pro dan pihak yang kontra?

BAB II

PEMBAHASAN

  • 2.1 Sejarah Lahirnya Pasal 284 KUHP

Pada zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai kejahatan perzinahan mengenai perlu atau tidaknya dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat diancam dengan pidana. Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinahan.

Jika terdapat isteri melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, maka ia telah dipandang sebagai seorang istri yang merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan  dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum yang tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut pada Code Penal Perancis.

Berbeda dengan hukum Romawi yang memandang wanita lebih rendah kedudukannya di depan hukum dibandingkan dengan pria, ternyata hukum gereja Katholik telah menempatkan kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan hukum. Oleh karena itu,  perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci perkawinan.

Pandangan gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai Pasal 344 Criminal Wetboek voor bet Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam pidana.

Pada awalnya perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan. Atas usul Modderman itu, akhirnya perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subjek dari tindak pidana pezinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jka perbuaan itu dipandang perlu baginya (Bahiej, 2016).

  • 2.2 Tujuan Dibentuknya Pasal 284 KUHP

Secara umum, tujuan dibentuk dan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat Indonesia, baik ketertiban kedalam maupun keluar. Seluruh substansi yang ada di dalam KUHP merupakan rangkaian peraturan yang dipergunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau pelanggaran. KUHP diundangkan sebagai langkah pemerintah Indonesia untuk mencegah perbuatan semena-mena yang melanggar baik dalam hak kemerdekaan, hak kepemilikan dari kehidupan orang lain dan ketertiban umum.

KUHP adalah sebuah kitab undang-undang yang merupakan sebuah kitab warisan yang diturunkan oleh negara yang dulu pernah menjajah tanah Indonesia yaitu Belanda. Pasal 284 KUHP dibentuk untuk mengklasifikasikan bahwa perzinahan merupakan suatu tindak pidana. Sebagaimana diketahui bersama, hukum pidana berkedudukan sebagai hukum yang menunjukkan batas yang tidak boleh dilewati, sebagai hukum yang mempunyai sanksi dan bersifat memaksa (Sjawie, 1996, hal. 35).

  • 2.3 Penyebab Terjadinya Ketimpanan dan Ketidakefektifan Pasal 284 KUHP

Kasus perzinaan akhir-akhir ini kian marak terjadi di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Penyalahgunaan teknologi dan arus informasi yang tidak dapat dibatasi menjadikan zina sebagai hal yang lumrah di zaman ini. Indonesia telah mencanangkan KUHP yang baru saja diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pasal 284 ayat (1) KUHP dimana pasal itu berisi:

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
  2. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
  3. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
  4. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
  5. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
  6. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pindah meja atau ranjang karena alasan itu juga.
  7. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, pasal 73, pasal 75 KUHP
  8. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
  9. Jika bagi suami isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa hukuman hanya berlaku jika laki-laki dan wanita sudah menikah dan dapat dipidanakan ketika suami atau istri melapor dan melakukan tuntutan. Hal ini bertentangan dengan kasus yang marak akhir-akhir ini. Sedangkan zina sesama lajang tidak termasuk dalam cakupan zina. KUHP tersebut berbeda dengan konsep dalam agama yang berlaku di Indonesia dan hukum adat yang menganggap zina sebagai perbuatan tercela yang tidak boleh dilakukan semua orang.

Dasar hukum agama sangat dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, hal ini terlihat pada semua masyarakat wajib mempunyai agama jika ingin tinggal di Indonesia (seperti yang dimuat dalam UU tentang kependudukan), dan juga terdapat pada sila pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Nilai yang hidup dalam masyarakat juga menganggap zina sebagai perbuatan amoral yang tidak boleh dilakukan semua orang.

Penyebab lain kenapa masyarakat Indonesia menganggap zina sebagai perbuatan tercela dan tidak boleh dilakukan oleh siapapun termasuk sesama lajang, karena enam Agama yang secara umum dianut masyarakat Indonesia, yaitu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan juga agama Khong Cu (Confusius), tidak ada yang melegalkan zina, termasuk zina sesama lajang. Hanya terdapat sekte yang memperbolehkan zina, termasuk zina sesama lajang, tapi sekte tersebut dilarang di Indonesia. Semua agama di Indonesia melarang umatnya untuk zina.

Agama mempunyai posisi penting dalam tata hukum Indonesia, yaitu etika dasar Negara bersumber dari moral Ketuhanan yang terdapat dalam agama-agama. Hal tersebut mengacu kepada sila 1 Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Selain itu, ajaran agama yang dianut masyarakat mempunyai pengaruh terhadap pembentukan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Jadi ajaran-ajaran agama, terutama yang bersifat universal sejatinya adalah dasar atau acuan dalam pembentukan hukum nasional.

Berkaitan dengan permasalahan yang sudah diuraikan di atas, maka diperlukan koreksi dan evaluasi terhadap subtansi hukum yang mengatur tentang zina yang dilakukan baik oleh orang yang masih lajang maupun oleh mereka yang sudah terikat perkawinan. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pasal zina 284 (ayat) 1 KUHP hanya mengatur zina yang dilakukan paling tidak salah satu pelakunya sudah terikat perkawinan, sedangkan apabila zina dilakukan oleh sesama lajang maka itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang hal tersebut. Evaluasi ini perlu untuk dilakukan karena pengaturan zina dalam pasal 284 (ayat) 1 KUHP bertentangan dengan etika, moral, agama, dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang menganggap bahwa zina tidak boleh dilakukan oleh siapapun, baik yang sudah terikat perkawinan maupun sesama lajang.

Setelah berangkat dari pasal 284 (ayat) 1 KUHP tentang zina dan pasal  tersebut dianggap tidak sesuai dengan aturan agama dan aturan adat yang mengatur tentang masalah tersebut karena seharusnya bukan  hanya pasangan yang telah menikah saja yang dituntut karena perzinahan, maka pasal tersebut diperbarui dalam pasal 484 (ayat) 1-4.

  • Isi pasal 484 (ayat) 1-4:
  • Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
  1. lakilaki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
  2. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan lakilaki yang bukan suaminya;
  3. lakilaki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
  4. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan lakilaki, padahal diketahui bahwa lakilaki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
  5. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
  • Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
  • Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 29.
  • Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

            Dalam pasal tersebut telah diperbarui dengan adanya aturan yang menganggap bahwa zina juga merupakan hukuman bagi pasangan laki-laki dan perempuan diluar perkawinan. Ketika tindakan zina dilakukan, pada ayat 2-4 dijelaskan tentang syarat pengaduan. Kemudian pada pasal 26, 27, dan 29 seperti yang tertulis dalam ayat 3 tersebut dijelaskan tentang tata cara pengaduan perzinaan.

  • Pasal 26:
  1. Dalam hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.
  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilakukan semua pembuat, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.
  • Pasal 27:
  1. Dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.
  2. Dalam hal wakil yang sah dari korban tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas.
  3. Dalam hal wakil yang sah dari korban yang berada di bawah pengampuan tidak ada maka penuntutan dilakukan atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
  4. Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga atau majelis yang menjadi wali pengampu.
  • Pasal 29:
  1. Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.
  2. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.

Pada pasal 26, 27, dan 29 telah tertulis dengan jelas bagaimana tata cara melakukan pengaduan atas perbuatan zina. Namun jika kembali pada pasal 484 (ayat) 3 menjelaskan bahwa pasal 26, 27, dan 29 tidak berlaku. Hal ini tentu menjadi salah satu permasalahan karena tidak adanya keselarasan antara pasal satu dengan pasal lainnya, sehingga terlihat adanya tumpang tindih antar pasal dalam UU. Kemudian pada pasal 484 (ayat) 1 juga menjelaskan tentang pihak yang boleh melakukan pengaduan dan salah satunya adalah pihak ketiga yang tercemar.

Di sini maksud dari pihak ketiga yang tercemar itu sendiri masih tidak jelas, karena pihak ketiga yang dimaksud bisa saja orang lain yang tidak ada sangkut paut dengan kasus perzinaan yang terjadi dan memiliki permasalahan pribadi dengan pihak pelaku namun dia dapat memanfaatkan pasal tersebut untuk melakukan pengaduan. Jadi, dari Undang-Undang yang mengatur zina di Indonesia tersebut dapat dilihat masih banyak ketimpangan yang terjadi antara pasal satu dengan lainnya, dan juga masih banyak aturan-aturan yang sifatnya ambigu atau tidak memiliki kejelasan maksud.

 

BAB III

PENUTUP

  • 3.1 Kesimpulan

Lahirnya pasal 284 KUHP yang membahas tentang perzinahan menuai pro dan kontra dalam masyarakat karena dinilai masih banyak kekurangan dan celah dalam pasal tersebut. Terdapat perbedaan pandangan antara hukum positif dalam KUHP dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat mengenai apa yang disebut dengan "zina", hal tersebut tentu dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan baru dalam pengimplemtasianya jika tidak diperhatikan dengan baik.

Pasal 284 KHUP juga dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan perlu dilakukan pengujian materi, untuk itu dalam pembuatan pasal-pasal KUHP yang bertujuan utama  untuk menjaga kesetabilan dan keamanan dalam masyarakat tentu harus seimbang dan selaras dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat agar tidak terjadi ketimpangan dengan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat, maka perlu dilkukannya pengkaijian ulang terhadap pasal 284 KHUP dan hal-hal tersebut perlu diperhatikan serius oleh sang pembuat undang-undang agar terbentuknya kefektifan hukum bagi semua masyarakat di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bahiej, A. (2016). Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan Overspel dalam Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.

Sjawie, H. (1996). Delik Perzinahan Menurut KUHP dan Perkembangannya. In Hukum dan Pembangunan (pp. 27-38).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun