Mohon tunggu...
Lukman Azizi
Lukman Azizi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Masalah Perundang-undangan di Indonesia: Ketimpangan Pasal 224 KUHP tentang Perzinahan dengan UUD

11 Mei 2019   13:58 Diperbarui: 11 Mei 2019   14:16 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana penerapan Pasal 284 KUHP tentang Perzinahan sehingga menimbulkan pihak-pihak yang pro dan pihak yang kontra?

BAB II

PEMBAHASAN

  • 2.1 Sejarah Lahirnya Pasal 284 KUHP

Pada zaman dahulu terdapat perbedaan pandangan mengenai kejahatan perzinahan mengenai perlu atau tidaknya dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan dapat diancam dengan pidana. Menurut hukum Romawi, pihak wanita sajalah yang dapat dipersalahkan telah melakukan perzinahan.

Jika terdapat isteri melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, maka ia telah dipandang sebagai seorang istri yang merugikan hak seorang suami untuk menuntut kesetiaan  dari isterinya dalam perkawinan. Perlakuan di depan hukum yang tidak seimbang antara wanita denga pria itu kemudian berlanjut pada Code Penal Perancis.

Berbeda dengan hukum Romawi yang memandang wanita lebih rendah kedudukannya di depan hukum dibandingkan dengan pria, ternyata hukum gereja Katholik telah menempatkan kedudukan wanita itu sederajat dengan kedudukan pria di depan hukum. Oleh karena itu,  perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci perkawinan.

Pandangan gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai Pasal 344 Criminal Wetboek voor bet Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam pidana.

Pada awalnya perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan. Atas usul Modderman itu, akhirnya perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subjek dari tindak pidana pezinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jka perbuaan itu dipandang perlu baginya (Bahiej, 2016).

  • 2.2 Tujuan Dibentuknya Pasal 284 KUHP

Secara umum, tujuan dibentuk dan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat Indonesia, baik ketertiban kedalam maupun keluar. Seluruh substansi yang ada di dalam KUHP merupakan rangkaian peraturan yang dipergunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau pelanggaran. KUHP diundangkan sebagai langkah pemerintah Indonesia untuk mencegah perbuatan semena-mena yang melanggar baik dalam hak kemerdekaan, hak kepemilikan dari kehidupan orang lain dan ketertiban umum.

KUHP adalah sebuah kitab undang-undang yang merupakan sebuah kitab warisan yang diturunkan oleh negara yang dulu pernah menjajah tanah Indonesia yaitu Belanda. Pasal 284 KUHP dibentuk untuk mengklasifikasikan bahwa perzinahan merupakan suatu tindak pidana. Sebagaimana diketahui bersama, hukum pidana berkedudukan sebagai hukum yang menunjukkan batas yang tidak boleh dilewati, sebagai hukum yang mempunyai sanksi dan bersifat memaksa (Sjawie, 1996, hal. 35).

  • 2.3 Penyebab Terjadinya Ketimpanan dan Ketidakefektifan Pasal 284 KUHP

Kasus perzinaan akhir-akhir ini kian marak terjadi di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Penyalahgunaan teknologi dan arus informasi yang tidak dapat dibatasi menjadikan zina sebagai hal yang lumrah di zaman ini. Indonesia telah mencanangkan KUHP yang baru saja diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pasal 284 ayat (1) KUHP dimana pasal itu berisi:

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
  2. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
  3. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
  4. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
  5. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
  6. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pindah meja atau ranjang karena alasan itu juga.
  7. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, pasal 73, pasal 75 KUHP
  8. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
  9. Jika bagi suami isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa hukuman hanya berlaku jika laki-laki dan wanita sudah menikah dan dapat dipidanakan ketika suami atau istri melapor dan melakukan tuntutan. Hal ini bertentangan dengan kasus yang marak akhir-akhir ini. Sedangkan zina sesama lajang tidak termasuk dalam cakupan zina. KUHP tersebut berbeda dengan konsep dalam agama yang berlaku di Indonesia dan hukum adat yang menganggap zina sebagai perbuatan tercela yang tidak boleh dilakukan semua orang.

Dasar hukum agama sangat dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia, hal ini terlihat pada semua masyarakat wajib mempunyai agama jika ingin tinggal di Indonesia (seperti yang dimuat dalam UU tentang kependudukan), dan juga terdapat pada sila pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Nilai yang hidup dalam masyarakat juga menganggap zina sebagai perbuatan amoral yang tidak boleh dilakukan semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun