[caption id="attachment_383550" align="alignleft" width="300" caption="Sungai Wondiboi Teluk Wondama Papua Barat, foto:Lukman As"][/caption]Aku tidak hendak mengacaukan janjimu
Ketika di tahun 2010 tepatnya 10 Oktober Senin pagi
Aku datang dengan badan penuh bandang
Batu-batu dan gelondongan kayu
Membuat hidupmu jadi prahara
Maafkan aku sekalipun kata maaf ini
Tiada sanggup melupakan deritamu
Hingga perasasti peringatan itu pun
Pada saat cuaca tak menentu
Kian gemetar saja. Ada ketakutan
Yang diteriakkan pohon-pohon pinang
Bicara lagi asal-usulku
Dari kejernihan hidupku
Di mana ikan-ikan bersahabat dengan alam
Jati sejatinya bila tuan tak menggubris pohon-pohon kuasa
Di hulu hayatku, hingga gundul peristiwa
Anak-anak masih bisa bermain tanpa khawatir ibunya
Tapi seperti hari ini
Anak-anak pun riang kembali
Menggauliku yang akan terus mengalir
Seperti kalimat yang dituturkan si mulut lembut
Bersahaja. Dan tuan Kiezne masihkah bersedekap
Di batu itu sambil menulis kitab suci
Dalam Wondama
Aku akan bersaksi sekali lagi
Pada kehati-hatian
Pada setiap tangan kuasa
Yang menjadikan fatal segala rencana
In, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H