Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadi Wartawan Harus Berani Hidup Sederhana, Mau Kaya? Jadi Pengusaha Masbro

7 April 2023   14:36 Diperbarui: 7 April 2023   14:46 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Prolog

Pada 16 Agustus 1996, seorang wartawan Harian Bernas dengan domisili di DIY Yogyakarta pukul 16.30 wib menghembuskan nafas terakhirnya. Udin, demikian nama almarhum telah menjadi dark number penegakkan hukum di Indonesia sepanjang 26 tahun yang lalu. Walau banyak versi karangan petugas yang beredar sesaat sebelum dan sesudah persidangan. Tak urung nama Udin telah menjadi ikon Kebebasan Pers Indonesia tatkala bertarung dengan sifat kekuasaan yang arogan. 

Pada kurun waktu awal 90-an sampai masa jatuhnya Orde Baru di 1998, profesi wartawan sangatlah rentan dengan intimidasi dari perangkat negara. Baik melalui kebijakan pemerintah seperti Departemen Penerangan contohnya. Hingga kasus-kasus intimidasi fisik bagi para pemburu berita saat itu. Tiga pilar Orde Baru yakni, Presiden, ABRI dan Parpol Golkar merupakan tembok kokoh yang mampu bertahan selama 32 tahun. Hal ini tentu saja bisa diingat bagi generasi yang lahir sekitar 1970 dan 1980. Rezim Orde Baru saat itu bukan saja "mengatur" dialog antar warga, bahkan masuk kedalam pikiran. Persis seperti novel termasyhur 1984 karya penulis asal Inggris, George Orwell. 

Di beberapa bab awal buku tadi dikisahkan oleh Orwell, bahwa Si Bung Besar gambar wajah dan jargon- jargonnya jauh meyelusup hingga kedalam palung hati terdalam tiap rakyatnya. Jika ada rakyatnya yang mencoba berbeda dengan indoktrinasi massal via jutaan Cctv seantero negeri, maka seketika polisi pikiran akan datang ke depan pintu rumah rakyat Si Bung Besar. Mulai dari tontonan, hiburan lewat radio, surat kabar yang jadi konsumsi rakyatnya otomatis "dikendalikan" dengan perangkat kekuasaan yang dimiliki oleh Si Bung Besar. Mereka hendak dicetak seragam, dengan pola melihat dan mendengar semua ucapan keberhasilan Si Bung Besar. 

Atmosfer Jurnalistik Justru Beraroma Daripada Nganggur Bukan Sebuah Talenta

Waktu pertama kali bersentuhan dengan teman-teman disini, wartawan perantau agak tergagap-gagap juga karena sama sekali tidak menyangka ritme yang berjalan cenderung berkelompok, terkotak-kotak dekat dengan keinginan pengusaha hitam. Bukan tanpa bukti, sinyalemen tadi di Agustus 2014 terbukti menimpa diri wartawan dalam bentuk insiden "laka lantas tunggal". 

Dalam pusaran peristiwa tersebut, setidaknya ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang jadi bagian sindikat penyelundup timah. Kedua, kelompok penentang aksi sindikat. Ketiga, kelompok oportunis yang selalu hadir dengan satu, dua judul berita saduran sebagai kamuflase supaya topeng aslinya tidak copot ditabok kebenaran. 

Peristiwa tersebut terjadi cuma berjarak dua bulan setelah wartawan News Metropol dengan segenap keberanian berhasil mengungkap penyelundupan pasir timah sebesar 27,4 ton lewat pantai Bedukang Riausilip Bangka Provinsi Bangka Belitung. Selain berhasil diamankan puluhan ton pasir timah, ada sembilan orang pelaku yang dicokok petugas. Dan perlu digarisbawahi narasi ini bukan berasal dari teori cocoklogi alias merekatkan peristiwa berlainan yang sebenarnya tidak sesuai. 

Tapi sebelum peristiwa tabrak lari yang dialami oleh wartawan asal perantauan, ada rangkaian pra kejadian yang patut dicurigai sebagai the missing puzzle dalam musibah tersebut. Tanggal 4 Agustus 2014 sore, telepon wartawan perantau berdering. Penelepon adalah seorang Perwira Menengah berpangkat Ajun Komisaris Polisi dengan Jabatan Kasat Reskrim Polres Bangka, di telepon Kasat Reskrim yang beberapa kali tandem dengan wartawan perantau tadi mengingatkan agar wartawan sebaiknya jangan banyak muncul di wilkum Kasat Reskrim alias kabupaten Bangka, "Nama abang santer lagi diincar mereka, saya cuma ingatkan aja bang," pesan Kasat Reskrim saat itu. 

Jeda sehari, esok siangnya di warung kopi depan Taman Makam Pahlawan kota Sungailiat. Sebuah mobil minibus hitam yang melintas mendadak berhenti dan memundurkan mobil sampai ke depan warung kopi. Tak ada yang turun, tapi mereka cukup lama berhenti di depan warung 2 menit dalam kondisi mesin menyala dan kaca rayban tertutup rapat. Walau tidak terjadi peristiwa lanjutan. Belakangan hari, ketika dalam masa pemulihan di RS Persahabatan Desember 2015, memori wartawan yang sempat koyak karena trauma perlahan pulih dengan menyusun satu persatu peristiwa sebelum hari nahas di Jumat 15 Agustis dinihari.

Ketika peristiwa itu terjadi, seingat wartawan perantau tidak ada satupun teman seprofesi yang datang berkunjung. Baik di RS Arsani, RSBT Timah ataupun RSUD Depati Hamzah. Setelah lepas trauma dan bisa berkomunikasi seperti dulu, barulah keluarga wartawan bercerita ada setidaknya empat teman seprofesi yang datang menjenguk, walau mereka cuma sampai bertanya ke keluarga wartawan di kawasan pemukiman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun