Berita yang memuat soal fakta lapangan seperti ini tentu tidak disukai oleh para dalang oligarki sawit yang -saat itu- nyata berada dalam potensi konflik horizonral yang mencengkeram desa mendo. Walau pada April 2019 eskalasi suhu pertikaian antar kubu mampu diredam dengan terbitnya moratorium, namun benturan sosial antar warga masih beruntun terjadi hingga awal tahun 2020.Â
Selanjutnya pada 15/04/2019, media kembali mempublikasikan temuan adanya semacam Moratorium dari sengketa lahan yang dimaksud. Dalam copy surat yang didapatkan jurnalis, disitu tertera surat ditandatangani oleh Dinas terkait dan pastinya diketahui Bupati Bangka saat ini, Mulkan.Â
"Tanah/lahan yang telah dibeli oleh sdr. xx yang diperkirakan merupakan tanah Negara (yang belum/tidak diketahui oleh pemerintah desa), maka surat menyurat atas tanah/lahan tersebut DITUNDA (belum bisa dikeluarkan surat menyuratnya) dan surat menyurat tersebut akan dikeluarkan apabila ada kesepakatan antara sdr. xx dengan warga desa Mendo kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka dengan bukti-bukti surat terlampir atas sepengetahuan dan se- persetujuan dari pemerintah desa Mendo kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka," bunyi surat di butir (d).
Kendati demikian, eskalasi suhu kian meninggi tatkala berturut-turut di 3 November 2019 dan 4 November 2019, secara bergantian dua kelompok warga gantian saling demo di kantor Bupati Bangka. Keduanya seragam menyuarakan hal yang sama, yakni penolakan. Hanya saja, yang satu ingin agar Bupati mencabut izin berupa SK Bupati milik PT B, dan kelompok warga yang lain justru menolak kehadiran oknum pengusaha xxxx dari PT. A di desa mereka.
"Lahan kami telah dijarah terang-terangan oleh para makelar pak, itu kan lahan warisan turun temurun tempat kami menggantungkan masa depan, sekarang sudah hilang," kata perempuan pendemo di halaman kantor Bupati.Â
Kedua pimpinan aksi massa, yakni Jmns yang menolak PT B serta Zk yang menafikan oknum pengusaha xxxx di desa mereka. Pada saat ditemui sebenarnya beratmosfer yang sama, yakni soal kejelasan status lahan. Sayangnya, kedua belah pihak masih memakai tekanan unjuk kekuatan dengan pengerahan massa, bukan diplomasi untuk mencapai tujuan.Â
"Kita sebenarnya mungkin sama saja bang, menolak pihak luar mengaduk-aduk lahan warga desa kami, tapi faktanya karena masalah ekonomi ada saja warga yang tergiur dengan tawaran murah tapi berpotensi pidana dari oknum makelar," kata Zk saat diwawancara di kedai kopi Tung Tau pertengahan Desember 2019 yang lalu.
Epilog
Saat sekarang ini, pola investasi yang langsung masuk ke desa didukung langsung oleh pemerintah pusat. Lahirnya UU Ciptaker yang kemudian diubah lagi menjadi Perppu 2/2022 membuktikan sinyalemen bahayanya investasi jika cuma mengejar profit secara materi. Tanpa mengkalkulasi semua aspek vital lainnya, seperti pertahanan dan kedaulatan negara, rentannya warga desa jika tak satupun filter yang menyaring hidden agenda dari si investor tersebut. Bukankah insiden reklamasi pantai utara Jakarta sudah membuka siapa mereka sesungguhnya? Kan cuma pengusaha yang berasal dari sebuah rumah besar yang pengap oleh penduduk. Hampir ¾ penduduk dunia berada dalam rumah mereka di utara negeri kita. Kalau pembaca masih ragu dengan analisa amatir penulis, silahkan cek sendiri siapa pemilik sertifikat di pesisir pantai yang tersebar di 17 ribu pulau. Hasilnya akan membuat anda sekalian tercengang. Karena bukan pribumi pemiliknya, namun bangsa asing.Â
Mereka senang berada di pesisir karena tahu pasti ini bukan tanah air mereka, diperoleh dengan cara yang curang. Alam bawah sadar mereka takut dan berujung harus tinggal di pintu keluar yang mudah jika pribumi mengejar mereka.Â
Akhirul kata, tulisan ini bukan semacam xenophobia atau ketakutan tak berdasar pada orang asing. Tapi lebih kepada, mari kita bersama-sama mempertahankan tiap jengkal tanah air kita dari serbuan bangsa asing yang sangat tau mentalitas para ambtenaar kita yang menjalankan roda pemerintahan.Â