Jilbab secara sederhana dapat diartikan sebagai kain yang menutupi bagian tubuh tertentu pada perempuan khususnya penganut Islam. Pada perkembangannya hingga saat ini, perdebatan tentang jilbab acap kali terjadi baik itu di lingkungan sosial masyarakat maupun sosial media. Misalnya soal hukum jilbab, wajib ataukah sunnah? Bagaimana ketentuannya sehingga seseorang dapat dikatakan berjilbab?
Di Indonesia, sebut saja Najwa Shihab atau akrab disapa Mba Nana yang notabenenya anak perempuan dari seorang tokoh Islam terkemuka, dalam kesehariannya umumnya tidak menggunakan jilbab. Hal ini pernah disoroti oleh masyarakat Islam lainnya yakni menyoal relasi pengetahuan agama seorang Quraish Shihab dengan fakta anaknya yang tidak menggunakan jilbab. Apa pandangan Quraish Shihab tentang jilbab? Selain pandangannya, juga akan dimuat pandangan tokoh agama Adi Hidayat. Sehingga nantinya dapat kita peroleh pandangan dari masing-masing tokoh, argumentasi dan substansi dari jilbab.
Kemudian dalam perspektif ekonomi, jilbab adalah bagian integral dari kegiatan ekonomi yakni sebagai komoditi yang banyak diminati oleh konsumen (Perempuan Islam). Toko atau tempat pemasaran produk jilbab mudah kita temui baik itu di pasar maupun melalui handphone (Online Shop). Produksi jilbab tentu saja tidak terlepas dari sejarah dan budaya Islam. Sehingga penting untuk dibahas lebih lanjut soal jilbab dalam perspektif ekonomi. Bagaimana relasinya dengan budaya serta tinjauan kritis perilaku konsumen dalam memilih model jilbab.
Selain pembahasan dua perspektif di atas tentang jilbab, juga akan dimuat tulisan tentang problematika jilbab berdasarkan fakta yang sifatnya masih aktual. Setidaknya ada dua problematika jilbab di Indonesia yang dirangkum dalam tulisan ini yaitu fenomena sekolah yang mewajibkan jilbab bagi siswi non muslim dan menyoal makna, motivasi dan orientasi pengguna jilbab sekarang ini.
Jilbab dalam Pandangan Quraish Shihab dan Adi Hidayat
Dalam suatu acara di televisi, Quraish Shihab hadir sebagai pembicara atau penceramah di depan perempuan Islam. Beliau berceramah tentang jilbab. Menurutnya bahwa interpretasi jilbab di kalangan ulama beragam. Ada ulama yang mengatakan bahwa jilbab yaitu berpakaian longgar, menutupi hampir seluruh tubuh, dan yang penting berpakaian terhormat. Beliau menambahkan bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam berjilbab. Sehingga keputusan berjilbab haruslah lahir dari kesadaran. Sedangkan hukum jilbab, beliau katakan bahwa ada ulama yang mengatakan wajib dan ada juga yang mengatakan sunnah.
Berbeda dengan Adi Hidayat yang juga merupakan penceramah mengatakan bahwa jilbab sudah ada perintahnya dalam Al-Qur'an. "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab: 59).Â
Jadi menurutnya tidak perlu didengarkan pendapat orang yang mengatakan jilbab itu tidak wajib, yang penting berpakaian terhormat. Kalau itu didengarkan terus menerus jangan sampai berperilaku seperti apa yang disampaikannya yaitu tidak menggunakan jilbab. Selanjutnya Ia menerangkan perbandingan orang-orang kafir dengan munafik. Orang kafir mencela syariat Islam itu wajar karena mereka kafir bukan Islam. Sedangkan orang munafik (Islam) mencela syariat Islam itu tidak wajar. Ancamannya adalah orang-orang munafik akan lebih dahulu dilemparkan ke dalam api neraka.
Dua tokoh agama di atas memiliki dua pandangan yang berbeda tentang jilbab, baik itu dari segi hukum maupun argumentasi. Perbedaan itu tentunya lumrah terjadi dalam paham keagamaan. Maka olehnya, penting untuk mengetahui apa sebenarnya substansi dari berjilbab. Tidak cukup hanya mengetahui ayat-ayat Allah tentang jilbab tapi harus menggali makna mendalam.Â
Kalau perintah jilbab hanya dilihat dari teks maka tidak akan capai pada yang namanya hakikat. Salah satu kegunaan jilbab ialah menjaga kehormatan perempuan. Sehingga perempuan yang berjilbab dengan penuh kesadaran maka akan terhindar dari yang namanya perbuatan zina. Berbeda halnya dengan perempuan yang tidak sampai pada hakikat berjilbab, menurutnya hanya sekedar menutup rambut dan bagian tubuh lainnya. Sebab ada moralitas yang harus dijaga oleh pengguna jilbab. Sehingga sedapat mungkin terhindar dari perilaku amoral.
Relasi Ekonomi dengan Budaya Jilbab
Dalam masyarakat Islam selain perdebatan hukum jilbab ternyata problemnya lebih mengerucut lagi yaitu soal model jilbab. Kita mendengar ada istilah atau penamaan jilbab syar'i dan non syar'i. Dimana letak perbedaannya? Perbedaan keduanya sangat signifikan. Kalau model jilbab syar'i yakni busana yang dikenakan perempuan dengan ukuran besar dan panjang serta menutupi hampir keseluruhan bagian tubuh terkecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan yang non syar'i adalah busananya berukuran lebih pendek dan minimal menutup rambut kepala.
Budaya model jilbab yang berbeda tersebut menjadi referensi bagi pelaku ekonomi dengan memproduksi model jilbab baik syar'i maupun non syar'i. Sehingga untuk mengetahui perbedaannya, dapat kita lihat di toko jilbab. Atau juga bisa kita temui di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja dan sebagainya.