Pemaknaan jilbab tidak bisa terbatas pada pengertian kain yang menutupi aurat. Akan tetapi haruslah dimaknai sebagai dinding yang membatasi hawa nafsu (Akhlakul Karimah). Sehingga seseorang yang berjilbab harus menyadari bahwa ada tanggung jawab moral di dalamnya. Ini yang disebut sebagai etika berjilbab. Motivasi berhijab mestinya hadir dari pandangan sosiologis - religius. Yakni memahami bahwa di dalam kehidupan sosial masyarakat ada batasan-batasan khusus dalam interaksi sosial (Mahram dan Non Mahram). Selanjutnya orientasi berjilbab bukanlah suatu fenomena ajang perlombaan estetika seperti tuntutan stylish akan tetapi suatu proses untuk mencapai penyucian jiwa (Tazkiyatun Nafs).
Hal ini senada dengan pemikiran Ayatullah Murthada Muthahari dalam bukunya berjudul Wanita dan Hijab (hlmn. 62) bahwa hakikat dari perihal hijab yaitu ketenangan jiwa, mempererat hubungan keluarga, masyarakat yang kokoh, dan harga diri dan kemuliaan wanita. Tulisan ini sebagai refleksi sekaligus evaluasi agar pengguna jilbab bisa memaknai jilbab dengan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H