Mohon tunggu...
Lukluk Anjaina
Lukluk Anjaina Mohon Tunggu... Penulis - Sekjen Pelataran Sastra Kaliwungu

Bercengkrama dengan kata-kata, berkata-kata dengan seksama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membudayakan Ekosistem Seni Budaya

12 Februari 2021   13:35 Diperbarui: 12 Februari 2021   13:56 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pagelaran Seni Budaya Jurang Blimbing.

Setiap proses dalam sebuah kampung sudah pasti memiliki identitas yang beragam dan cenderung unik. Kebiasan dan aktivitas yang dijalankan merupakan hasil dari produksi lahir dan batin pendahulunya, yang kemudian diturukan kepada anak cucu. Kampung memiliki sebuah riwayat panjang yang selalu menyisakan cerita-cerita di halaman rumah, di meja makan, dan di obrolan depan TV ruang keluarga. Kadang pula lahir cerita di tongkrongan anak muda, ibu-ibu yang merumpi dan anak-anak yang bermain congklak maupun permainan tradisional lainnya.

Begitupun pada sebuah kampung di Kelurahan Tembalang yang memiliki riwayat panjang hingga kini berupa-rupa sedemikian indah. Siapa sangka, wilayah yang tampak seperti hidup di tengah-tengah metropolitan menyimpan banyak sejarah yang usang, yang pada akhirnya layak dilahir-munculkan kembali dalam realitas kehidupan kita saat ini. Ya, Kampung Jurang Blimbing, begitu orang menyebutnya. Sebuah kampung yang memiliki riwayat panjang perihal kesenian dan kebudayaan.

Sejak tahun 1975, masyarakat sepakat untuk membentuk sebuah grup kesenian kethoprak dan jaran kepang. Tepat, 1 Januari 1975, grup kethoprak dilahirkan, disusul sebulan kemudian pada lahirlah grup jaran kepang yang diberi nama Paguyuban Jaran Kepang. Warga dengan segala keterbatasannya memberanikan diri untuk berlatih mandiri secara kolektif.

Tahun demi tahun, perkembangan kesenian di Jurang Blimbing begitu pesat, hampir setiap tahun dalam berbagai event kesenian, kebudayaan, dan festival agustusan selalu turut-serta. Eksistensi kesenian di Jurang Blimbing terus menggeliat meski sempat pasang surut, sesuai dengan dinamika internal dalam warga masyarakat.

Hingga kini, tak bisa diragukan lagi bagaimana konsistensi dan eksistensi kesenian yang berjalan beriringan dengan arus perkembangan zaman. Kondisi zaman dan potret visual kampung yang sudah begitu berubah tak menyurutkan semangat dalam membudayakan ekosistem kesenian yang baik, terbukti, pada tahun 2016, lahirlah grup karawitan sebagai bagian dari sumbu-sumbu kesenian yang saling bertautan.

Beragam Simpul Kesenian dalam Label Kampung Seni Budaya

Dengan berbagai riwayat panjang kampung Jurang Blimbing dalam nguri-nguri dan menciptakan ekosistem kesenian, tak ayal, pada 2017, Pemerintah Kelurahan Tembalang mendaulat kampung Jurang Blimbing menjadi Kampung Tematik Seni Budaya Jurang Blimbing. Label tersebut kini terus melekat sebagai identitas baru kampung Jurang Blimbing.

Setidaknya, pemberian label tersebut sebagai ikhtiar pemerintah dalam melestarikan dan melegitimasi keberadaan kampung Jurang Blimbing yang penuh dengan riwayat kesenian. Namun demikian, upaya pemerintah dalam penyelamatan sejarah kampung Jurang Blimbing sebagai sebuah kampung dengan ekosistem seni dan budaya harus disertai dengan dukungan yang memadai, sehingga, kelak, bukan label semata yang dapat diwariskan kepada anak cucu kita.

Dukungan dari berbagai stakeholder, terutama pelaku seni itu sendiri di masyarakat adalah pemegang utama, kunci utama dalam melihat dan meramalkan masa depan kesenian dan kebudayaan di Jurang Blimbing. Beragam inovasi dan simpul kesenian muncul sebagai penyangga keberadaan Kampung Tematik Seni Budaya Jurang Blimbing.

Simpul kesenian dan kebudayaan itu antara lain, seni kaligrafi yang digandrungi oleh remaja kampung, yang khas dengan khat dan keindahan tulisan tangan; seni hadrah yang selalu melantunkan syair-syair islami berkembang dalam lingkungan Pondok Pesantren Galang Sewu yang notabene berada di wilayah kampung Jurang Blimbing. Masih ada beberapa simpul kesenian yang dulu sempat berkembang, seperti Panembromo (atau biasa disebut sebagai grup nyanyian tembang), grup tari dan beragam yang lainnya.

Mahasiswa KKN Tematik Undip sedang melakukan aksi mural di Jurang Blimbing.
Mahasiswa KKN Tematik Undip sedang melakukan aksi mural di Jurang Blimbing.
Membudayakan Ekosistem Seni Budaya

Salah satu respon yang patut dan layak diberikan kepada generasi saat ini adalah kepeduliannya dalam ikut-serta mendukung dan membudayakan seni budaya pada generasinya. Sebab, salah satu poros utama dalam pembangunan seni dan budaya di Indonesia adalah keberlangsungan yang turun temurun. Banyak yang bisa dilakukan oleh generasi saat ini dalam melanjutkan nyala kesenian da kebudayaan yang masih didominasi oleh kalangan sepuh atau orang tua, yakni dengan belajar dan mengajari.

Belajar bisa dilakukan oleh mereka yang belum mampu dalam mengekspresikan jiwa seni dalam dirinya, mengajari bisa dilakukan oleh mereka yang lebih dulu mampu dalam mengekspresikan jiwa seninya. Setidaknya, dua hal ini kini sedang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Universitas Diponegoro yang melakukan Kuliah Kerja Nyata -- Tematik (KKN Tematik) di Kampung Tematik Seni Budaya Jurang Blimbing.

Beberapa upaya telah, sedang, dan akan dilakukan oleh tim KKN Tematik selama empat puluh lima hari sejak 29 Januari kemarin. Salah satu wujud nyata yang sudah dilakukan adalah mengenalkan dan memberikan pembelajaran menari kepada anak-anak seusia SD-SMP. Dengan berbagai teknik dasar dan ketelatenan, beberapa mahasiswa, diantaranya, Grace dan Ikhnu berlenggak-lenggok memberi contoh pada anak-anak kampung.

Anak-anak Jurang Blimbing sedang berlatih menari bersama mahasiswa KKN Tematik Undip
Anak-anak Jurang Blimbing sedang berlatih menari bersama mahasiswa KKN Tematik Undip
Anak-anak yang terlihat cukup antusias mengamati dan berusaha menirukan dengan seksama. Merekalah yang kelak akan menjadi pewaris harta kampung Jurang Blimbing yang tak terkira harganya. Kepalanya digelengkan mengikuti irama musik, tangannya digerakkan dengan lentur, meski beberapa masih terlihat begitu kaku. Di samping panggung latihan, beberapa mahasiswa sedang menggerakkan tangannya yang menggenggam kuas basah cat warna-warni. Tembok-tembok diperindah dengan gambar-gambar mural khas kampung seni, siluet dan gambar penari, gunungan wayang, dan beragam ornamen 'budaya' lainnya.

Dari beragam aktivitas dan laku kreatif itu, rasa khawatir akan kesenian dan kebudayaan yang tinggal sejarah sedikit menghilang, kecemasan akan Kampung Tematik Seni Budaya yang hanya menjadi label akan larut begitu melihat anak-anak lihai menari, mengikuti alunan musik dan karawitan yang dipukul perlahan. Sebuah kesuksesan mempertahankan dan membudayakan ekosistem seni budaya akan terlihat meski rumah-rumah dan potret visual kampung jauh lebih modern dari kampung seni budaya di daerah lainnya. Tabik!

Semarang, 12 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun