Mohon tunggu...
Lukianto Suel
Lukianto Suel Mohon Tunggu... Freelancer - Biasa, tak ada yang istimewa

Menulis itu seperti berbicara tanpa lawan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Simbah

9 Desember 2023   13:58 Diperbarui: 2 Maret 2024   23:27 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Langit makin terang, matahari sudah tak lagi berwarna merah, namun sudah demikian menyilaukan. Batu- batu yang masih sedikit terselaput embun nampak berkilat-kilat oleh pantulan sinar putih matahari.

     Diantara bebatuan, mendekati puncak,beberapa ranting krakap, pohon berbatang keras, kadang  ikut berkilau diterpa sinar matahari, memberikan rasa sejuk dihatinya yang tengah tergilas kesepian yang teramat dalam. Daun-daun Krakap itu seolah menyadarkannya pada satu bagian kehidupan yang lain. Kekerasan alam diatas gunung itu, ditempat itu sudah tak ada satupun pohon yang tumbuh kecuali Krakap. Batang yang keras dan akar yang sulit dicabut, seolah menggambarkan keinginan hidup yang teramat keras, pantang menyerah dan terus berjuang melawan alam.    

*********

     Akhirnya, matahari telah menawarkan akhir dari perjalanannya hari itu. Disaat rembang petang kakinya telah menapak dilereng, dibawah desa terakhir. Belum gelap benar, namun dalam perjalanannannya kali ini, ia tak ingin terburu menyimpulkan suasana hatinya.

     Jika ia terburu sampai dikota, ia takut kesepian masih tetap menyelimuti batinnya. Saat istirahat dikeluarkannya tetes terakhir minuman hangat yang sengaja ia bawa untuk melawan dingin alam maupun dingin yang menggores hatinya. Sebotol air putih itu, cukup menolongnya dalam perjalan dua hari dua malam.

     Sekarang baru dirasakannya kecapaian yang teramat luar biasa. Rasanya ia enggan melangkah lagi, bila diingatnya ia bakal ketemu lagi dengan suasana kota yang bising dan bahkan akan membuatnya makin sepi, lebih sepi dari suasana malam digunung yang hanya terdengar suara hewan-hewan kecil malam.           

     Dalam ketenangan remang senja yang semakin lama semakin gelap, langit mulai menghitam dan melelapkan.

     Akhirnya ia memang tak melangkah. Direbahkan tubuh nya diatas rerumputan. Ia ingin beristirahat semalam lagi, dengan keyakinan bakal ditemuinya kekuatan lain esok pagi, sambil melukis kembali bayangan mbah kakung-nya yang tengah nembang untuk dirinya. Ia musti lebih siap menghadapi kebisingan kota yang melelahkan. Sekali lagi, bahkan lebih melelahkan dari perjalanannya kali ini. Sudah ditetapkan hatinya.

     Langit makin jelaga. Dikerimbunan pepohonan, hati yang juga makin menghitam, menelusur diperjalanan malam yang juga makin pekat.

Yogyakarta, November 2009.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun