Mohon tunggu...
Lukianto Suel
Lukianto Suel Mohon Tunggu... Freelancer - Biasa, tak ada yang istimewa

Menulis itu seperti berbicara tanpa lawan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Simbah

9 Desember 2023   13:58 Diperbarui: 2 Maret 2024   23:27 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Rasanya begitu tenang. Kepalanya terbaring dipangkuan kakeknya, yang membelai rambutnya sambil mendendangkan tembang yang ia tak mengerti artinya sama sekali. Belaian itu membuat dirinya seolah melupakan rasa sakit dibadannya yang panas. Tembang itupun seakan memberinya sebuah kekuatan, walaupun ia tak mengerti apa sebenarnya yang sedang didendangkan oleh kakeknya.

     Dengan pandangan setengah terpejam, matanya menatap kakeknya yang terus mengalunkan suaranya yang tak begitu merdu namun baginya suara itu begitu indah.

     Pandangan kakeknya menerawang jauh kedepan seakan tak mengerti bahwa mata cucu  yang teramat disayanginya tengah menatapnya dengan pandangan penuh perhatian.

     " Lagu apa itu mbah ?"

     Jemari bocah cilik itu mengusap lengan kakek nya, yang menyadarkannya kalau cucunya tengah memandangnya dengan penuh perhatian. Ia membalas pandang mata dengan tatapan yang lembut. Bibirnya tersenyum, tembangnya terhenti.

     " Ini bukan lagu nak, ini tembang......"

     " Tembang.....?"

     " Ya, tembang Jawa........"

               

     Bocah itu membenahkan posisi tubuhnya, merapatkan badannya di kaki kakeknya yang hangat. Sang kakek yang mengerti segera merapatkan pelukannya.

     " Tidurlah....kakek akan menjagamu...."

     Bocah itu merapatkan lagi matanya, sambil memeluk semakin rapat di kaki kakeknya, namun perlahan masih terdengar desahnya.

      " Artinya apa mbah...?"

     Sang kakek tersenyum lagi.

     " Judulnya Ilir-Ilir...ceritanya  tentang hidup, yang harus diawali dengan yang baik,nak. Karena jika awalnya sudah tak baik orang akan salah pada bagian berikutnya...."

     Bocah kecil itu tak mengerti, namun dalam hatinya tembang itu teramat indah, teramat membuai, sehingga semakin lama ia makin terlelap. Dalam lelapnya ia masih mendengar suara kakeknya yang berucap perlahan.

     " Tidurlah,............. pada suatu saat ingat - ingatlah suara kakek, ingat-ingatlah tembang kakek, barangkali itu akan membuatmu tenang dan mengurangi sakitmu, entah sakit apa saja...."

     Kata-kata itu begitu tenang. Begitu magis baginya. Bagi anak sekecil itu, yang akhirnya terbuai dalam tembang yang mengalun perlahan penuh kedalaman makna

***************

     Dan duapuluh satu tahun kemudian...

     Ia tengah berjalan sendirian dilereng gunung Merapi.  Tiba dikendhit lereng sebelah utara, disebuah tempat batas pepohonan dan batuan. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan udara terasa sangat dingin. Dari alat pengukur suhu, jarum menunjukkan angka limabelas derajat Celcius. Sukurlah tak ada angin, sehingga rasa dingin tidak melekat lebih dingin lagi.

     Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Sehingga Ia merasa harus mencarinya lagi lewat perjalanan lamanya, menyusuri jalur setapak dipegunungan, menikmati dingin kabut dan angin.

     Ada sesuatu yang menggores dan membekas luka dalam hatinya. Hanya satu awalnya, seseorang telah meninggalkannya. Seseorang yang telah dianggapnya sebagai pelabuhan dari tualangnya dari gunung ke gunung, dari bukit ke bukit, dari pengembaraan ke pengembaraan.

     Ah, hanya masalah yang sebenarnya tak perlu  terlalu ia risaukan benar. Namun setidaknya,sebuah rasa kehilangan bag seseorang adalah manusiawi. Secara sadar ia tak boleh memaksa perasaan itu hilang begitu saja. Ia  nikmati kekecewaan, seperti halnya ia menikmati sebuah kebahagiaan. Ya, Tuhan...itu pun kalimat tembang kakeknya yang tak pernah mampu dihapalkannya, kendati ia tahu benar artinya.

     Dalam kesendiriannya kali ini pula ia kembali teringat tembang kakeknya yang mengalun lembut dan merdu. Memang, kata-kata mbah kakungnya berkali telah terbukti. Jika ia teringat, pikirannya menjadi lebih tenang dan tak terlalu kusut. Tembang itu memang memiliki daya pengaruh yang kuat baginya.

     Dilangit timur, surya baru saja bangkit menembus kegelapan malam dengan sinarnya yang hangat. Seperti tembang yang pernah ia dengar, langit itu sangat indah, seolah tak mungkin mampu ditembangkan siapapun kecuali kakeknya yang mengalunkannya lewat bibirnya. Tetapi orangtua itu telah meninggalkannya menghadap pada Yang Kuasa tujuh tahun silam, meninggalkannya ketika ia masih sangat membutuhkan tembang-tembangnya.

     " Jika aku pulang besok, kau tidak boleh menangisi tubuh simbah yang telah dingin... " begitu pesan kakeknya ketika suatu hari orangtua itu merasa sangat lemah. " kakek tidak pernah pergi jauh. Karena kakek tetap hidup dalam dirimu, kakek yakin itu, kau bakal pinter nembang seperti aku, tembangkanlah lagu apa saja, namun bukan untuk menyusahkan siapa-siapa, justru sebaliknya, harus mampu membuat siapapun tenang mendengar suaramu....."

     Perlahan, ia mencoba berdendang perlahan sambil menuangkan keindahan langit timur yang baru saja bangkit itu kedalam sair-sairnya. Ia tak mengerti apakah sair dan melodi yang ia dendangkan mampu menjadi indah, seindah tembang kakeknya, nampaknya memang tak perlu diperdulikan. Yang penting baginya adalah tembang itu bakal mampu memberikan rasa tenang bagi jiwanya yang tengah kehilangan.

     " Yakinlah, sesuatu yang hilang dalam setiap hidupmu, itu bukan berarti hilang dalam arti yang murni. Hilang adalah hanya dalam bentuknya, dalam hati ia tak pernah menyusut, karena manusia bukan sebuah tempat yang hanya sekedar untuk meletakkan barang, manusia adalah sebuah jiwa, bukan tempat. "    

     Kendhit semakin tertinggal dibawah. Hari ini bukan hari minggu, sehingga tak ada seorang pendakipun yang ia temui. Kalau hari libur, biasanya akan ditemui beberapa pendaki yang menyusuri tempat itu. Sengaja dipilihnya  hari kerja, kendati ia harus mengambil cutinya untuk tiga hari pendakian yang sengaja ia buat sangat lambat.

     terakhir ditinggalkannya sejak jam setengah sembilan malam kemarin, dan ia baru sampai kendhit jam enam pagi tadi. Biasanya perjalanan itu ditempuhnya cukup dengan tiga atau empat jam. Ia tak terburu, seperti lukanya yang nampaknya tak begitu terburu meninggalkan hatinya. Jika pesan kakeknya benar, bahkan luka itu tak kan pernah meninggalkannya. Luka itu akan tetap tertambat dalam jiwa kembaranya. Akan dibawanya menyusuri setiap jalur setapak digunung, dibukit atau dimana saja ia berada dan mencoba mencari. Juga, sebenarnyalah ia tak pernah kehilangan apapun, karena yang hilang itu tetap ada, tetap dalam hatinya, bakal  kembali, entah kapan, entah dalam bentuk bagaimana...... Manusia bukan sebuah tempat, ia adalah sebuah sarana, itu kata-kata kakeknya yang indah dalam sair- sair tembangnya.

     Perjalanan ini memang jadi sangat lambat. Ia ingin sekali menikmati perjalanan pendakiannya dua gunung di Jawa Tengah. Dimulainya dari Gunung Merbabu dan diakhiri Gunung Merapi lewat dinding utara untuk kemudian turun kesebelah selatan, agar perjalanan pulangnya menuju kota yang amat dicintainya, Yogyakarta, lebih dekat. Namun jika waktu cutinya belum habis, ia ingin sekali bercengkerama dengan penduduk desa terakhir, melepaskan lelah dan beristirahat sejenak disana.

     Ketika berangkat, sengaja tak satupun teman atau saudara yang ia beritahu bahwa ia akan mengadakan perjalanan yang begitu panjang, agar tidak ada yang menghawatirkan dirinya. Ia tak ingin diganggu oleh siapapun. Dalam pikirannya, jika nanti terjadi sesuatu yang tak ia harapkan, biarlah tak ada yang tahu, biarlah tubuhnya ditemukan oleh binatang, biarlah semuanya terjadi. Karena sebenarnya memang tak ada yang mengerti apa yang tengah terjadi padanya, apa yang tengah menjadi beban pikirannya. Ia ingin meluapkan kata hatinya pada gunung dan hutan. Baginya alam lebih memberikan perhatiannya dari pada manusia disekelilingnya. Manusia lebih terikat pada kebutuhan sehari-harinya, maka jika ia mengeluh, barangkali yang bakal didapatkannya hanya sekedar rasa ikut berprihatin, tanpa ada pemecahan yang bakal memberikan jalan terang baginya. Karena itulah ia merasa lebih baik diam, tanpa harus mengatakan apapun dan pada siapapun.

     Langit makin terang, matahari sudah tak lagi berwarna merah, namun sudah demikian menyilaukan. Batu- batu yang masih sedikit terselaput embun nampak berkilat-kilat oleh pantulan sinar putih matahari.

     Diantara bebatuan, mendekati puncak,beberapa ranting krakap, pohon berbatang keras, kadang  ikut berkilau diterpa sinar matahari, memberikan rasa sejuk dihatinya yang tengah tergilas kesepian yang teramat dalam. Daun-daun Krakap itu seolah menyadarkannya pada satu bagian kehidupan yang lain. Kekerasan alam diatas gunung itu, ditempat itu sudah tak ada satupun pohon yang tumbuh kecuali Krakap. Batang yang keras dan akar yang sulit dicabut, seolah menggambarkan keinginan hidup yang teramat keras, pantang menyerah dan terus berjuang melawan alam.    

*********

     Akhirnya, matahari telah menawarkan akhir dari perjalanannya hari itu. Disaat rembang petang kakinya telah menapak dilereng, dibawah desa terakhir. Belum gelap benar, namun dalam perjalanannannya kali ini, ia tak ingin terburu menyimpulkan suasana hatinya.

     Jika ia terburu sampai dikota, ia takut kesepian masih tetap menyelimuti batinnya. Saat istirahat dikeluarkannya tetes terakhir minuman hangat yang sengaja ia bawa untuk melawan dingin alam maupun dingin yang menggores hatinya. Sebotol air putih itu, cukup menolongnya dalam perjalan dua hari dua malam.

     Sekarang baru dirasakannya kecapaian yang teramat luar biasa. Rasanya ia enggan melangkah lagi, bila diingatnya ia bakal ketemu lagi dengan suasana kota yang bising dan bahkan akan membuatnya makin sepi, lebih sepi dari suasana malam digunung yang hanya terdengar suara hewan-hewan kecil malam.           

     Dalam ketenangan remang senja yang semakin lama semakin gelap, langit mulai menghitam dan melelapkan.

     Akhirnya ia memang tak melangkah. Direbahkan tubuh nya diatas rerumputan. Ia ingin beristirahat semalam lagi, dengan keyakinan bakal ditemuinya kekuatan lain esok pagi, sambil melukis kembali bayangan mbah kakung-nya yang tengah nembang untuk dirinya. Ia musti lebih siap menghadapi kebisingan kota yang melelahkan. Sekali lagi, bahkan lebih melelahkan dari perjalanannya kali ini. Sudah ditetapkan hatinya.

     Langit makin jelaga. Dikerimbunan pepohonan, hati yang juga makin menghitam, menelusur diperjalanan malam yang juga makin pekat.

Yogyakarta, November 2009.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun