Mohon tunggu...
Lukianto Suel
Lukianto Suel Mohon Tunggu... Freelancer - Biasa, tak ada yang istimewa

Menulis itu seperti berbicara tanpa lawan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Simbah

9 Desember 2023   13:58 Diperbarui: 2 Maret 2024   23:27 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Ada sesuatu yang menggores dan membekas luka dalam hatinya. Hanya satu awalnya, seseorang telah meninggalkannya. Seseorang yang telah dianggapnya sebagai pelabuhan dari tualangnya dari gunung ke gunung, dari bukit ke bukit, dari pengembaraan ke pengembaraan.

     Ah, hanya masalah yang sebenarnya tak perlu  terlalu ia risaukan benar. Namun setidaknya,sebuah rasa kehilangan bag seseorang adalah manusiawi. Secara sadar ia tak boleh memaksa perasaan itu hilang begitu saja. Ia  nikmati kekecewaan, seperti halnya ia menikmati sebuah kebahagiaan. Ya, Tuhan...itu pun kalimat tembang kakeknya yang tak pernah mampu dihapalkannya, kendati ia tahu benar artinya.

     Dalam kesendiriannya kali ini pula ia kembali teringat tembang kakeknya yang mengalun lembut dan merdu. Memang, kata-kata mbah kakungnya berkali telah terbukti. Jika ia teringat, pikirannya menjadi lebih tenang dan tak terlalu kusut. Tembang itu memang memiliki daya pengaruh yang kuat baginya.

     Dilangit timur, surya baru saja bangkit menembus kegelapan malam dengan sinarnya yang hangat. Seperti tembang yang pernah ia dengar, langit itu sangat indah, seolah tak mungkin mampu ditembangkan siapapun kecuali kakeknya yang mengalunkannya lewat bibirnya. Tetapi orangtua itu telah meninggalkannya menghadap pada Yang Kuasa tujuh tahun silam, meninggalkannya ketika ia masih sangat membutuhkan tembang-tembangnya.

     " Jika aku pulang besok, kau tidak boleh menangisi tubuh simbah yang telah dingin... " begitu pesan kakeknya ketika suatu hari orangtua itu merasa sangat lemah. " kakek tidak pernah pergi jauh. Karena kakek tetap hidup dalam dirimu, kakek yakin itu, kau bakal pinter nembang seperti aku, tembangkanlah lagu apa saja, namun bukan untuk menyusahkan siapa-siapa, justru sebaliknya, harus mampu membuat siapapun tenang mendengar suaramu....."

     Perlahan, ia mencoba berdendang perlahan sambil menuangkan keindahan langit timur yang baru saja bangkit itu kedalam sair-sairnya. Ia tak mengerti apakah sair dan melodi yang ia dendangkan mampu menjadi indah, seindah tembang kakeknya, nampaknya memang tak perlu diperdulikan. Yang penting baginya adalah tembang itu bakal mampu memberikan rasa tenang bagi jiwanya yang tengah kehilangan.

     " Yakinlah, sesuatu yang hilang dalam setiap hidupmu, itu bukan berarti hilang dalam arti yang murni. Hilang adalah hanya dalam bentuknya, dalam hati ia tak pernah menyusut, karena manusia bukan sebuah tempat yang hanya sekedar untuk meletakkan barang, manusia adalah sebuah jiwa, bukan tempat. "    

     Kendhit semakin tertinggal dibawah. Hari ini bukan hari minggu, sehingga tak ada seorang pendakipun yang ia temui. Kalau hari libur, biasanya akan ditemui beberapa pendaki yang menyusuri tempat itu. Sengaja dipilihnya  hari kerja, kendati ia harus mengambil cutinya untuk tiga hari pendakian yang sengaja ia buat sangat lambat.

     terakhir ditinggalkannya sejak jam setengah sembilan malam kemarin, dan ia baru sampai kendhit jam enam pagi tadi. Biasanya perjalanan itu ditempuhnya cukup dengan tiga atau empat jam. Ia tak terburu, seperti lukanya yang nampaknya tak begitu terburu meninggalkan hatinya. Jika pesan kakeknya benar, bahkan luka itu tak kan pernah meninggalkannya. Luka itu akan tetap tertambat dalam jiwa kembaranya. Akan dibawanya menyusuri setiap jalur setapak digunung, dibukit atau dimana saja ia berada dan mencoba mencari. Juga, sebenarnyalah ia tak pernah kehilangan apapun, karena yang hilang itu tetap ada, tetap dalam hatinya, bakal  kembali, entah kapan, entah dalam bentuk bagaimana...... Manusia bukan sebuah tempat, ia adalah sebuah sarana, itu kata-kata kakeknya yang indah dalam sair- sair tembangnya.

     Perjalanan ini memang jadi sangat lambat. Ia ingin sekali menikmati perjalanan pendakiannya dua gunung di Jawa Tengah. Dimulainya dari Gunung Merbabu dan diakhiri Gunung Merapi lewat dinding utara untuk kemudian turun kesebelah selatan, agar perjalanan pulangnya menuju kota yang amat dicintainya, Yogyakarta, lebih dekat. Namun jika waktu cutinya belum habis, ia ingin sekali bercengkerama dengan penduduk desa terakhir, melepaskan lelah dan beristirahat sejenak disana.

     Ketika berangkat, sengaja tak satupun teman atau saudara yang ia beritahu bahwa ia akan mengadakan perjalanan yang begitu panjang, agar tidak ada yang menghawatirkan dirinya. Ia tak ingin diganggu oleh siapapun. Dalam pikirannya, jika nanti terjadi sesuatu yang tak ia harapkan, biarlah tak ada yang tahu, biarlah tubuhnya ditemukan oleh binatang, biarlah semuanya terjadi. Karena sebenarnya memang tak ada yang mengerti apa yang tengah terjadi padanya, apa yang tengah menjadi beban pikirannya. Ia ingin meluapkan kata hatinya pada gunung dan hutan. Baginya alam lebih memberikan perhatiannya dari pada manusia disekelilingnya. Manusia lebih terikat pada kebutuhan sehari-harinya, maka jika ia mengeluh, barangkali yang bakal didapatkannya hanya sekedar rasa ikut berprihatin, tanpa ada pemecahan yang bakal memberikan jalan terang baginya. Karena itulah ia merasa lebih baik diam, tanpa harus mengatakan apapun dan pada siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun