Bocah itu merapatkan lagi matanya, sambil memeluk semakin rapat di kaki kakeknya, namun perlahan masih terdengar desahnya.
   " Artinya apa mbah...?"
   Sang kakek tersenyum lagi.
   " Judulnya Ilir-Ilir...ceritanya  tentang hidup, yang harus diawali dengan yang baik,nak. Karena jika awalnya sudah tak baik orang akan salah pada bagian berikutnya...."
   Bocah kecil itu tak mengerti, namun dalam hatinya tembang itu teramat indah, teramat membuai, sehingga semakin lama ia makin terlelap. Dalam lelapnya ia masih mendengar suara kakeknya yang berucap perlahan.
   " Tidurlah,............. pada suatu saat ingat - ingatlah suara kakek, ingat-ingatlah tembang kakek, barangkali itu akan membuatmu tenang dan mengurangi sakitmu, entah sakit apa saja...."
   Kata-kata itu begitu tenang. Begitu magis baginya. Bagi anak sekecil itu, yang akhirnya terbuai dalam tembang yang mengalun perlahan penuh kedalaman makna
***************
   Dan duapuluh satu tahun kemudian...
   Ia tengah berjalan sendirian dilereng gunung Merapi.  Tiba dikendhit lereng sebelah utara, disebuah tempat batas pepohonan dan batuan. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan udara terasa sangat dingin. Dari alat pengukur suhu, jarum menunjukkan angka limabelas derajat Celcius. Sukurlah tak ada angin, sehingga rasa dingin tidak melekat lebih dingin lagi.
   Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Sehingga Ia merasa harus mencarinya lagi lewat perjalanan lamanya, menyusuri jalur setapak dipegunungan, menikmati dingin kabut dan angin.