Eksistensi perbankan syariah di Indonesia pada saat ini masih sangat rendah kontribusinya terhadap perekonomian ummat di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari ketidakstabilan perekonomian Indonesia akhir-akhir ini, seperti melambungnya harga daging sapi dan daging ayam, dan kurs US Dollar yang kian melejit terhadap rupiah sehingga menyulitkan pelaku bisnis yang bahan bakunya import untuk meningkatkan produksinya. Bank Syariah dapat dijadikan sebagai solusi pada saat terjadinya krisis dikarenakan bank syariah memiliki filosofi moral dan etika dalam operasionalnya.
Filosofi moral dan etika bank syariah bukan sekedar terkait halal dan haram tetapi juga mencakup prinsip “MAGRIB” Maysir; yaitu bank syariah melarang transaksi-transkasi yang mengandung unsur judi dan spekulasi, Gharar; yaitu bank syariah melarang transaksi-transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian, Riba; bank syariah melarang transaksi-transaksi yang mengandung unsur riba atau kegiatan yang bersifat mentransfer risiko (risk transfer akan tetapi kegiatan bisnis dalam Islam harus berbasis berbagi risiko (risk sharing). Tidak hanya itu saja bank syariah dapat memberikan dampak langsung kepada sektor riil, karena operasional bank syariah juga berdasarkan underlying assets.
Eksitensi Bank Syariah tidak terlepas dari tujuan ajaran agama Islam yaitu untuk mewujudkan maslahat bagi ummat. Maslahat dapat diartikan kebaikan bagi seluruh masyarakat atau ummat. Dalam rangka mewujudkan maslahat ummat tersebut, maka operasional bank syariah memiliki tujuan bukan hanya mencari keuntungan semata (financial performance) tetapi juga memberikan dampak sosial bagi masyarakat (social performance). Maqhasid syariah adalah tujuan dari eksitensi Bank Syariah, yaitu menjaga Agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara lingkungan.
Keseluruhan elemen pada maqhasid syariah tersebut memiliki tujuan menjaga keberlangsungan kehidupan manusia yang lebih beradab. Berkaitan dengan maqhasid syariah tersebut, maka perbankan syariah juga harus berperan aktif dalam pengentasan kemiskinan, meningkatkan taraf kesehatan, dan pendidikan. Oleh karenanya profit bagi Bank Syariah bukan tujuan utama, akan tetapi profit tersebut ditujukan untuk menjaga keberlangsungan suatu bisnis atau operasional Bank Syariah dan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Keberhasilan mengembangkan dan menumbuhkan peran bank syariah tidak terlepas dari peran pemimpin pada bank syariah tersebut. Pemimpin berkewajiban untuk membina, menggerakkan, dan mengarahkan semua potensi organisasi yang dipimpinnya sehingga keberhasilan organisasi dalam mencapai suatu tujuannya sangat tergantung dari peran pemimpinnya. Fenomena pertumbuhan perbankan syariah yang sangat tinggi belum tidak diimbangi dengan pemenuhan sumber daya insani yang cukup.
Cukup diartikan bukan saja dari sisi pemenuhan jumlah pegawai, namun yang lebih utama adalah pegawai yang memiliki kemampuan, kompetensi dan pengalaman dalam mengelola perbankan syariah. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari sejarah perbankan syariah di Indonesia yang masih seumur jagung dan belum adanya dukungan politik dari pemerintah yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan baik dari segi kuantitas dan kualitas perbankan syariah belum sesuai yang diharapkan. Berdasarkan statistik perbankan syariah, kualitas pembiayaan (non performance financing) tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu dari 2,62% menjadi 4,33%. Kondisi tersebut juga berdampak pada net income Bank Syariah pada tahun 2014 mengalami penurunan yang drastis dari Rp3,2Triliun menjadi Rp1 Triliun. Jumlah penurunan net income sejumlah Rp2.2T menggambarkan bahwa penurunan tersebut dikontribusi dari meningkatnya jumlah pembiayaan yang tidak berkualitas di Bank syariah sehingga profitabiltas bank syariah tergerus. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dalam mengelola dan menjalankan perbankan syariah tersebut ke arah yang lebih baik.
Kepemimpinan dalam perspektif Islam
Keberhasilan ataupun kegagalan suatu organisasi selalu dihubungkan dengan kemampuan seorang pemimpin tersebut. Apabila suatu organisasi tersebut berhasil mencapai tujuannya, maka secara tidak langsung, masyarakat mengatakan pemimpin organisasi tersebut memiliki kemampuan yang baik dan begitupun sebaliknya. Dalam falsafah jawa dikenal dengan terdapat slogan perilaku pemimpin yang seharusnya yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara “Ing ngarso tulodo; Ing Madyo mangun karsa; Tut wuri handayani. Arti dari slogan tersebut menjadi teladan; memberikan semangat atau motivasi dan memberikan kekuatan.
Sehingga seorang pemimpin memiliki kewibawaan bagi bawahannya dan mampu memberi pengaruh, dan apabila terjadi kesalahan yang dilakukan bawahannya, maka pemimpin mampu membantu dan memberikan solusinya, serta mampu menanamkan kemandirian kepada bawahannya. Selanjutnya perspektif Islam dalam kepemimpinan, sesuai Q.S Ibrahim ayat 4 dan Q.S At Taubah ayat 129: “artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (Q.S Ibrahim ayat 4).” Pada Ayat selanjutnya (Q.S At Taubah ayat 129) Artinya: Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.
Berdasarkan kedua ayat Al Qur’an tersebut di atas, maka seorang pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan kondisi bawahan yang dipimpinnya. Allah memerintahkan pada manusia, khususnya orang-orang yang beriman, agar taat dan patuh kepada Rasulullah saw. Ketaatan dan kepatuhan pada beliau sebagai manusia pilihan Allah SWT. merupakan perwujudan kepemimpinan Allah SWT. secara nyata di muka bumi ini. Kepribadiannya sebagai pemimpin di dalam pola pikir, bersikap dan berperilaku, merupakan pancaran isi kandungan al-Quran sehingga sepatutnya diteladani. Untuk itu bukan beliau yang memerintahkan atau menganjurkan agar mengambil suri teladan dari perkataan, perbuatan dan diamnya, tetapi justru datangnya dari Allah SWT.
Perubahan perekonomian dunia yang disebabkan globalisasi, menuntut adanya pembangunan yang berkelanjutan. Urgensitas informasi yang dikombinasi dengan kompleksitas bisnis saat ini, meningkatnya kompetisi usaha menjadikan tantangan bagi para pemimpin untuk lebih transparansi dan meningkatkan kompetensinya dalam mengendalikan perusahaan.
Seorang pemimpin harus memiliki misi yang luas yang didasari oleh kepentingan ummat, memiliki visi pertumbuhan yang berkelanjutan dan pemikiran yang strategis. Selain itu pertimbangan seorang pemimpin tidak hanya terkait dengan profit perusahaan akan tetapi juga mempertimbangan kesejahteraan keluarga pegawai, kelestarian lingkungan, pembangunan daerah tertinggal dan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu seorang pemimpin juga harus memiliki kreatifitas yang tinggi dalam mengembangkan konsep dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki produktifitas dengan efisiensi yang optimal.
Perspektif Islam terkait kepemimpinan adalah seorang pemimpin harus amanah (trust), lebih lanjut makna amanah dapat diartikan sebuah ikatan atau kontrak seorang pemimpin dengan bawahan yang dipimpinnya, bahwa seorang pemimpin tersebut akan membimbing, melindungi, dan akan memperlakukan mereka dengan adil. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu memberikan maslahat bukan hanya bagi organisasinya (mewakili shareholders) namun juga bagi seluruh karyawan yang dipimpinnya. Karenanya kepemimpinan bukanlah hak milik yang boleh dinikmati dengan cara sesuka hati orang yang memegangnya.
Oleh karena itu, Islam memandang tugas kepemimpinan dalam dua tugas utama, yaitu menegakkan agama (akhirat) dan mengelola urusan dunia. Sehingga Allah sangat membenci orang yang mejadi pemimpin dikarenakan mengejar jabatan semata. Hal ini diriwayatkan dalam hadist Buchari Muslim: “Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: Rasulullah saw telah bersabda kepada saya : “ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu.” (bukhari, muslim).
Selain itu juga terdapat hadist yang berhubungan dengan hal tersebut, yaitu “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Jika amanah telah hilang (sudah tidak dipegang lagi dengan teguh), maka tunggulah saat kehancurannya. Ia bertanya: Ya Rasul, bagaimana orang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: (Yaitu) apabila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari).” Kepemimpinan dalam perspektif Islam yaitu amanah yang diemban oleh seorang pemimpin harus disertai dengan profesionalisme yang memiliki visi mensejahterakan ummat, memiliki perencanaan jangka panjang, mampu mengimplemantasikan, memiliku pengalaman dan kemahiran serta diakui kepakarannya dalam menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya.
Hubungan rasa memiliki dalam kepemimpinan
Mengapa rasa memiliki dalam kepemimpinan menjadi suatu yang penting? Rasa memiliki membentuk mental seorang pemimpin dalam membuat kebijakan dan keputusan, karena makna mental berhubungan dengan karakter, watak dan kejiwaan dari seseorang. Lebih lanjut rasa memiliki akan mempengaruhi seorang pemimpin dalam bertindak. Hal tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan mengetahui tujuan yang akan dicapai;
2. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan mengerti dan paham bagaimana harus berperan dan berkontribusi yang positif terhadap organisasinya;
3. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan memiliki rasa tanggung jawab akan keberhasilan organisasi;
4. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan memahami tugas dan tanggung jawabnya.
Oleh karenanya alangkah eloknya apabila saat ini pemerintah memiliki bank syariah negara sehingga pemerintah dapat berperan langsung terhadap perbaikan dan kemajuan perbankan syariah di Indonesia. Peran pemerintah sangat penting terhadap kemajuan bank syariah yng nota bene bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan maslahat ummat. Hal ini diungkapkan oleh teori Ibnu Khaldun yang terkenal, menurut Ibnu Khaldun terdapat variabel-variabel yang saling berkaitan yang tidak dapt dipisahkan satu sama lainnya, yaitu Syariah (S), Masyarakat (N), pemerintah (G), kesejahteraan (W), pembangunan (g) dan keadilan (j) sehingga fungsi menajadi sebagai berikut: G=f(S,N,W,g dan j). Berdasarkan persamaan dan gambar Ibnu Khaldun maka (G) adalah sebagai variabel terikat karena pemerintah/penguasa/pemimpin wajib menjamin kesejahteraan (W) bagi masyarakat atau negara (N) dengan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan (g) dan menciptakan keadilan (j) melalui implementasi nilai-nilai syariah (S) sehingga tercipta maqhasid syariah atau maslahat. Selanjutnya, untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan yang berkelanjutan dari perbankan syariah di Indonesia, maka diperlukan dukungan pemerintah (government driven) selain keinginan masyarakat (society driven/market driven) yang saat telah ada saat ini.
Hubungan kondisi perbankan syariah dengan mekanisme kepemimpinan yang ada pada saat ini
Perspektif Islam terkait kepemimpinan adalah seorang pemimpin harus amanah (trust), lebih lanjut makna amanah dapat diartikan sebuah ikatan atau kontrak seorang pemimpin dengan bawahan yang dipimpinnya, bahwa seorang pemimpin tersebut akan membimbing, melindungi, dan akan memperlakukan mereka dengan adil. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu memberikan maslahat bukan hanya bagi organisasinya (mewakili shareholders) namun juga bagi seluruh karyawan yang dipimpinnya.
Menanggapi fenomena saat ini dimana sekitar 77% Direksi perbankan syariah berasal dari perbankan konvensional (info bank, 29 Februari 2016) tentunya harus mendapat perhatian dari regulator, karena saat ini hampir 99% perbankan syariah besar sahamnya dimiliki oleh bank induknya yang juga merupakan bank konvensional. Efek lebih lanjutnya adalah kebijakan dan program kerja Bank Syariah akan ditentukan oleh bank induknya dalam rangka menunjang bisnis secara holdings. Penunjukkan Direksi perbankan syariah seyogyanya adalah sosok yang independen yaitu apabila telah ditunjuk menjadi Direksi perbankan syariah, maka tidak diperkenankan untuk kembali ke bak induk yang nota bene bank konvensional.
Hal tersebut terkait dengan etika dan juga dalam Islam termuat dalam Surat Al-Baqarah ayat 208-209: yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi, jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana." Sehingga personil yang mengelola dan memimpin bank syariah adalah orang-orang pilihan jiwanya untuk bersama-sama memakmurkan negeri untuk mewujudkan maslahat ummat. Sehingga keberadaan seoran pemimpin dalam suatu organisasi selain bertujuan memajukan organisasi tersebut tetapi mampu menjalankan amanahnya untuk mensejahterakan karyawan dan memperlakukan karyawan sebagai investasi bagi perusahaan bukan sebagai faktor dan alat produksi untuk kepentingan manajemen dan organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H