Mohon tunggu...
Lukas SungkowoJoko Utomo
Lukas SungkowoJoko Utomo Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis buku

Katekis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru= Sang Tulodo

1 Mei 2024   21:32 Diperbarui: 1 Mei 2024   21:39 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru= Sang TULODO

Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memeringati hari Pendidikan Nasional.  Pada saat itu pula kita diingatkan hadirnya tokoh besar: Ki Hajar Dewantoro yang menelurkan semboyan pendidikan: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri handayani.  Semboyan tersebut seringkali diulang dan diulang, tetapi semakin hari, semakin banyak dari kita yang tidak memahami makna dari semboyan tersebut.  

Semboyan tersebut hanya dianggap sebatas penyemarak dalam perayaan hari Pendidikan Nasional, seolah jika semboyan tersebut tidak diungkapkan, maka perayaan menjadi tidak sah.  Pada kesempatan hari pendidikan Nasional 2024 penulis ingin mengajak para pembaca bukan untuk mengupas ketiga semboyan pendidikan tersebut, tetapi cukup satu: Ing Ngarso Sung Tulodo.

A.            Mereka yang Di depan

                Ing Ngarso Sung Tulodo, sebuah frasa dalam bahasa Jawa yang jika kita tilik artinya kata per kata adalah sebagai berikut: Ing Ngarso=di depan; Sung (Ingsun)= Saya; Tulodo=Teladan.  Di depan, saya memberi teladan.  Siapa yang dimaksud dengan "yang di depan?" Bukan hanya guru, tetapi siapapun yang telah berani menempatkan diri sebagai pemimpin, formal maupun informal, mereka yang dipandang memiliki kelebihan karena wawasannya, para pengambil kebijakan sesuai dengan lingkupnya siapapun yang memiliki follower, siapa yang diikuti orang, termasuk para orang tua, itulah yang "di depan".  Mereka itulah yang memiliki kewajiban dan beban moral untuk memberikan tulodo, keteladanan kepada yang mengikutinya. Tulodo dalam bertutur kata, bersikap dan bertindak.  Mereka dilihat, diikuti dan ditiru oleh orang-orang yang mengikutinya, karena mereka telah menempatkan diri "di depan". 

B.            Pendidikan

                Menurut Prof. Dr. A Sudiarja, SJ dalam bukunya Pendidikan Dalam tantangan Zaman menjelaskan bahwa pendidikan sebagai proses untuk membentuk manusia menjadi lebih manusiawi (humanior).  Pendapat ini didasarkan pada pemahaman yang memandang manusia sebagai mahkluk yang khas, berbeda dengan yang lain.  

Manusia adalah citra Allah sendiri yang memiliki akal budi, hati nurani dan kebebasan.  Meskipun begitu, manusia belum sempurna, dan dalam perjalanan hidupnya  masih perlu proses pembentukan agar menjadi lebih manusiawi. 

Dalam proses membentuk pribadi yang lebih manusiawi ini, manusia tidak bisa berdiri sendiri, manusia membutuhkan orang lain yang bisa menuntun mereka, membawa pengaruh baik, yang bisa berkontribusi bagi perkembangan masyarakat dan dunia.  Atau yang oleh Prof. Dryarkara pendidikan mengantar manusia menjadi pribadi yang purnawan.  Dari sini kita bisa memaknai bahwa proses pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah (baca: guru), tetapi merupakan tanggung jawab bersama.  Masing-masing pribadi memiliki kewajiban yang sama untuk terlibat dalam proses menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi.

C.            Peran-peran Menyimpang

                Manusia akan sangat bangga jika diposisikan sebagai yang di depan.  Dia akan merasa menjadi pribadi yang terhormat, memiliki kuasa dan kewenangan.  Namun tidak banyak yang menyadari bahwa dalam rasa hormat, dengan kewenangan dan kuasa yang diberikan kepadanya menempel kuat beban moral untuk melaksanakan proses pendidikan bagi mereka yang ada di belakangnya.

                Maka tidak jarang pula jika kemudian mereka hanya menjadi pribadi-pribadi yang ditakuti karena kuasa dan kewenangannya, dan bukan disegani karena kesadaran diri bahwa diri menjadi teladan.  Mereka tidak sadar bahwa segala gerak-gerik, tutur kata, sikap dan perbuatan diperhatikan orang.  Dari sini para follower ini akan mengimitasi diri, akan dibentuk dan tanpa sadar akan bertindak mengikuti orang yang didepannya tersebut.  

Kegagalan seseorang untuk menyadari bahwa dirinya diikuti, dicontoh, ditiru, akan memunculkan penyimpangan proses pendidikan sehingga tidak berjalan pada rel yang dikehendaki.  Perilaku korup, tutur kata tidak elok dan sikap sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur hidup bersama dari mereka yang "di depan" (baca pemimpin/penguasa) terjadi karena mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang melakukan sebuah proses pendidikan.

                Peran-peran menyimpang dalam proses pendidikan inilah yang saat ini semakin marak di kalangan masyarakat kita.  Para yang "di depan" lebih suka mengulang-ulang slogan "Ing Ngarso Sung Tulodo" tetapi tidak tercermin dalam sikap dan tingkah laku keseharian.  Dan lebih parah lagi, hal tersebut diikuti oleh para pengikutnya, baik karena kesadaran diri, ketidakpahaman maupun karena keterpaksaan.

  Sadar bahwa Tulodo itu menyimpang, tetapi menguntungkan, maka dia mengikutinya.  Atau dia mengikuti karena tidak tahu bahwa yang diikuti itu salah, sudah lumrah sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar dan layak diikuti.  Atau terpaksa mengikuti tulodo karena takut.  Takut bahwa yang melakukan adalah penguasa yang menentukan nasib dan masa depan dirinya, maka mereka harus diikuti.

                Jadi bisa dibayangkan hasil pendidikan seperti apa yang bisa dipetik jika yang "di depan" tidak menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan proses pendidikan.  Bisa dibayangkan jika dalam dunia pendidikan, para guru dan karyawan tidak bisa lagi menjadi Tulodo bagi para muridnya. 

 Jika para pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan dan kuasa mengambil kebijakan tidak sadar bahwa mereka sedang melaksanakan proses pendidikan yang harus memberi Tulodo.  Para selebritis yang memiliki ribuan bahkan puluhan juta pengikut tidak menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan proses pendidikan.  

Mereka bertutur kata semaunya dengan kata-kata yang tidak selayaknya didengar dan dicontoh, kata-kata umpatan yang menjadi kebiasaan karena sudah tidak sadar lagi bahwa kata itu tidak layak untuk diperdengarkan.  Bukankan kita sering mendengar orang-orang tenar mengungkapkan kata-kata umpatan untuk mereka yang dianggap sebagai "lawan" hanya karena beda pandangan dan pendapat? 

                Dan sayangnya, mereka bangga mengungkapkan itu, pengikutnya bangga mengucapkannya, lebih parah lagi, seolah-olah dengan bisa mengucapkan kata tidak pantas tersebut, mereka adalah kesatria-kesatria di era yang mereka sebut sebagai era Demokrasi Indonesia saat ini.

D.            Sang Tulodo

                Siapa mereka?    Tidak harus seorang yang memiliki kuasa dan kewenangan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.  Tidak harus orang yang setiap saat diwawancari oleh berbagai stasiun televisi, tampil dalam podchast atau yang ucapan-ucapannya diulang-ulang dan diwartakan kemana-mana. Bukan pula mereka yang memiliki harta berlimpah, barang-barang branded dari luar negeri yang bernilai ratusan juta, memiliki pulau dan jet pribadi.  Bukan Mereka!

Mereka adalah yang ada di sekitar kita, yang sungguh sadar bahwa di manapun mereka berada, mereka sedang melaksanakan proses pendidikan. yang sadar bahwa ucapan-ucapan mereka diperhatikan, sikap dan tindakannya mungkin akan ditiru dan diikuti oleh orang lain yang ada di sekitarnya, sehingga apa yang keluar dari dirinya adalah hal yang baik, mampu membawa pengaruh positif dan berkontribusi untuk membentuk komunitas hidup bersama yang lebih baik sesuai dengan etika, moral dan nilai-nilai luhur yang diyakini bersama.

E.            Guru, Sang Tulodo

                Di hari Pendidikan Nasional 2024 ini, sebagai guru saya mengajak, mari kita semakin menyadari diri  sebagai Sang Tulodo, karena mungkin sebagian dari kita selama ini sudah keluar dari rel sebagai Sang Tulodo  karena selalu terlambat hadir dan terlambat masuk kelas dengan alasan tidak mau kehilangan kegembiraan, ngobrol bersama teman-teman di ruang guru.  Guru yang tidak bersemangat lagi menyusun persiapan mengajar karena merasa "sudah biasa" mengajar.  Guru yang lupa bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk mendampingi seluruh peserta didik dalam ketulusan dan cinta.

                Guru, yang adalah Sang Tulodo adalah kebalikan dari semua yang sudah disebutkan di atas.  Ia adalah motivator bagi peserta didik untuk menjadi lebih baik dari dirinya, yang merengkuh anak-anak didiknya tidak ubahnya anak sendiri.  Yang tersenyum meski hatinya luka setelah diumpat dan dicaci maki para orang tua. 

Yang menyapa dengan ramah, pada saat hidupnya terhimpit beban berat baik dari segi ekonomi, maupun perlakuan perlakuan tidak baik yang mereka terima.  Dan menjadi Tulodo melalui perbuatan sederhana dengan mengangguk hormat kepada siapapun yang ditemui.  Bukan untuk mendapatkan pujian, sanjungan atau keuntungan keuntungan duniawi lainnya, tetapi karena dirinya sadar bahwa dimanapun dan kapanpun mereka sedang melaksanakan proses pendidikan untuk membuat segala sesuatu lebih baik. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun