Maka tidak jarang pula jika kemudian mereka hanya menjadi pribadi-pribadi yang ditakuti karena kuasa dan kewenangannya, dan bukan disegani karena kesadaran diri bahwa diri menjadi teladan.  Mereka tidak sadar bahwa segala gerak-gerik, tutur kata, sikap dan perbuatan diperhatikan orang.  Dari sini para follower ini akan mengimitasi diri, akan dibentuk dan tanpa sadar akan bertindak mengikuti orang yang didepannya tersebut. Â
Kegagalan seseorang untuk menyadari bahwa dirinya diikuti, dicontoh, ditiru, akan memunculkan penyimpangan proses pendidikan sehingga tidak berjalan pada rel yang dikehendaki. Â Perilaku korup, tutur kata tidak elok dan sikap sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur hidup bersama dari mereka yang "di depan" (baca pemimpin/penguasa) terjadi karena mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang melakukan sebuah proses pendidikan.
        Peran-peran menyimpang dalam proses pendidikan inilah yang saat ini semakin marak di kalangan masyarakat kita.  Para yang "di depan" lebih suka mengulang-ulang slogan "Ing Ngarso Sung Tulodo" tetapi tidak tercermin dalam sikap dan tingkah laku keseharian.  Dan lebih parah lagi, hal tersebut diikuti oleh para pengikutnya, baik karena kesadaran diri, ketidakpahaman maupun karena keterpaksaan.
 Sadar bahwa Tulodo itu menyimpang, tetapi menguntungkan, maka dia mengikutinya.  Atau dia mengikuti karena tidak tahu bahwa yang diikuti itu salah, sudah lumrah sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar dan layak diikuti.  Atau terpaksa mengikuti tulodo karena takut.  Takut bahwa yang melakukan adalah penguasa yang menentukan nasib dan masa depan dirinya, maka mereka harus diikuti.
        Jadi bisa dibayangkan hasil pendidikan seperti apa yang bisa dipetik jika yang "di depan" tidak menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan proses pendidikan.  Bisa dibayangkan jika dalam dunia pendidikan, para guru dan karyawan tidak bisa lagi menjadi Tulodo bagi para muridnya.Â
 Jika para pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan dan kuasa mengambil kebijakan tidak sadar bahwa mereka sedang melaksanakan proses pendidikan yang harus memberi Tulodo.  Para selebritis yang memiliki ribuan bahkan puluhan juta pengikut tidak menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan proses pendidikan. Â
Mereka bertutur kata semaunya dengan kata-kata yang tidak selayaknya didengar dan dicontoh, kata-kata umpatan yang menjadi kebiasaan karena sudah tidak sadar lagi bahwa kata itu tidak layak untuk diperdengarkan. Â Bukankan kita sering mendengar orang-orang tenar mengungkapkan kata-kata umpatan untuk mereka yang dianggap sebagai "lawan" hanya karena beda pandangan dan pendapat?Â
        Dan sayangnya, mereka bangga mengungkapkan itu, pengikutnya bangga mengucapkannya, lebih parah lagi, seolah-olah dengan bisa mengucapkan kata tidak pantas tersebut, mereka adalah kesatria-kesatria di era yang mereka sebut sebagai era Demokrasi Indonesia saat ini.
D. Â Â Â Â Â Â Sang Tulodo
        Siapa mereka?   Tidak harus seorang yang memiliki kuasa dan kewenangan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.  Tidak harus orang yang setiap saat diwawancari oleh berbagai stasiun televisi, tampil dalam podchast atau yang ucapan-ucapannya diulang-ulang dan diwartakan kemana-mana. Bukan pula mereka yang memiliki harta berlimpah, barang-barang branded dari luar negeri yang bernilai ratusan juta, memiliki pulau dan jet pribadi.  Bukan Mereka!
Mereka adalah yang ada di sekitar kita, yang sungguh sadar bahwa di manapun mereka berada, mereka sedang melaksanakan proses pendidikan. yang sadar bahwa ucapan-ucapan mereka diperhatikan, sikap dan tindakannya mungkin akan ditiru dan diikuti oleh orang lain yang ada di sekitarnya, sehingga apa yang keluar dari dirinya adalah hal yang baik, mampu membawa pengaruh positif dan berkontribusi untuk membentuk komunitas hidup bersama yang lebih baik sesuai dengan etika, moral dan nilai-nilai luhur yang diyakini bersama.