Tulisan ini adalah sekedar sebuah refleksi sebagai guru yang telah dua puluh delapan tahun mengabdi pada sebuah institusi Katolik.
Yesus bangkit dari alam maut setelah melakukan pergumulan sebagai manusia. Â Perjalanan hidup yang dialami tidak ubahnya seperti halnya manusia biasa, karena pada hakikatnya, Dia adalah 100% manusia namun juga 100% Allah. Â Allah yang merasakan sukaduka sebagai manusia dengan cara manusia sampai pada puncak keselamatan-Nya dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Â Di sini saya tertarik dengan hidup sekolah Katolik terutama yang ada di Jakarta, yang saat ini masuk dalam fase "sengsara", bahkan ada yang sudah masuk dalam situasi "kritis dan nyaris meninggal". Â Apakah Sekolah yang menyandang status sebagai sekolah katolik ini akan mampu mengikuti Jejak Kristus, Sang Guru, yang setelah sengsara, wafat kemudian Bangkit?
A. Derita Sekolah Katolik.
Sekolah Katolik, pada era 80 an mengalami kejayaan. Â Kepercayaan masyarakat pada sekolah katolik sangat besar. Â Banyak orang tua yang bukan Kristiani menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Katolik. Â Mereka memandang bahwa sekolah katolik memiliki kualitas yang baik, yang akan mengantar anak-anak mereka menjadi pribadi yang purnawan. Â Namun, saat ini kejayaan itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Sebagai pendidik di sebuah sekolah Katolik, saya merasa sedih mengalami hal ini namun tidak bisa berbuat banyak selain melakukan tupoksi sebaik-baiknya sebagai guru. Â Ada beberapa hal yang menurut pandangan pribadi saya membuat sekolah katolik saat ini masuk dalam fase "sengsara"
1. Kita terlena.
Banyak para pemangku kepentingan di sekolah Katolik yang masih merasa bahwa Sekolah Katolik masih dalam masa kejayaan seperti di era 80 an. Â Hal ini terlihat dengan tidak adanya perubahan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran meskipun kurikulum dan berbagai kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan sudah berganti beberapa kali. Â Bahkan Bapak Antonius Sinaga selaku Pembimas Katolik Kemenag Provinsi DKI (atau DKJ?) Jakarta dalam sebuah pembinaan Kompetensi Guru Agama Katolik wilayah Jakarta Timur mengungkapkan: Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro, Apapun kurikulumnya, cara mengajar para guru ya begitu-begitu saja, apapun kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan, tidak mampu menggerakkan para guru untuk secara signifikan berubah (Jakarta, 22 maret 2024).
Saya secara pribadi tidak memungkiri kenyataan ini. Â Banyak sekolah Katolik (dibaca: pemangku kepentingan di sekolah Katolik) yang tidak menyadari bahwa zaman telah berubah. Â Era kejayaan sekolah Katolik sudah mulai memudar, bahkan kepercayaan umat katolik sendiri mulai menipis. Â Hal ini dapat dibuktikan dengan menurunnya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Katolik, dan kita masih "begitu-begitu saja". Â Tidak salah kita mengenang dan mengagumi kejayaan yang pernah kita rasakan, namun menjadi salah jika kemudian kita menjadi kurang terlibat mempertahankan yang pernah dicapai, dan jika mungkin memajukannya.
2. SDM baik, tetapi Belum yang Terbaik.
Yang membuat sekolah katolik semakin sengsara adalah karena perubahan pola pikir para pendidik Katolik yang kurang mampu diikuti oleh institusi pendidikan Katolik. Â Saya masih ingat ketika orang tua dan kakak-kakak saya yang adalah juga guru di sekolah Katolik berkata kepada saya, bahwa menjadi guru di sekolah Katolik itu sekedar cukup, jangan mengharap menjadi kaya. Â Saya massih ingat ketika dosen saya di FKIP Theologi mengatakan, "Lukas, jika nanti kamu sudah bekerja, kamu bisa membayar kontrakan secara rutin, itu sudah sangat bagus", Â kata kata ini menyadarkan saya bahwa bekerja di lingkungan Katolik, terutama yang menengah, tidak akan mendapatkan gaji besar seperti jika bekerja di bidang lainnya. Â Waktu itu saya tidak terlalu peduli, tetapi ternyata tidak untuk saat ini. Â Kita memang membutuhkan gaji yang cukup untuk hidup layak di kota seperti jakarta ini.
Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa lulusan keguruan yang memiliki kualitas "istimewa", akan cenderung memilih sekolah "istimewa" yang bisa menunjang mereka untuk hidup dengan layak. Â Dampaknya, seringkali sekolah sekolah dalam level menengah ini kurang diminati oleh mereka. Â Saya menekankan kata "kurang" karena sejatinya masih ada lulusan keguruan yang hebat, masih mau melayani di sekolah level menengah ini. Â Namun sepertinya tidak banyak. Â Maka tidak heran jika banyak sekolah katolik yang kesulitan mencari SDM untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik dan kependidikan. Â SDM yang diterima pada akhirnya memang baik, tetapi mungkin belum yang terbaik, karena yang terbaik terbang ke tempat lain, yang lebih menjanjikan.
Â
3. Sengsara itu di depan Mata.
Dalam Injil Lukas 23: 27 dikisahkan bahwa para wanita meratap melihat kesengsaraan yang dialami Yesus. Â Peristiwa yang terjadi di depan mata mereka membuat mereka sedih dan prihatin. Â Namun Yesus berkata kepada mereka: Hai, putri-putri Yerusalem, jangan kamu menangisi Aku, tetapi tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! (Lukas 23: 28). Â Saat ini banyak pemangku kepentingan di sekolah katolik yang melihat bahwa institusi pendidikan Katolik sudah mulai masuk dalam "kesengsaraan" karena mulai ditinggalkan. Â Apakah kita sudah tidak sebaik dulu lagi? Â Tentu saja tidak, kita masih sebaik dulu, hanya masalahnya institusi yang lain sudah mengejar kita dan mereka tampil lebih baik. Â Jika ada yang lebih baik, tentu masyarakat akan memilih yang lebih baik.
Pada saat seperti itu, kita hanya bisa menangis dan meratap, menyesali nasib dan berprihatin. Â Menangis melihat kegagalan institusi kita (sekolah katolik) yang semakin tidak diminati. Â Kita prihatin karena para pemimpin tidak bisa mempertahankan kejayaan kita. Dan jika kita saat ini hidup bersama Yesus secara "fisik", Dia pasti menegur kita: Hai kalian, jangan meratapi orang lain, jangan menuntut mereka bekerja untuk menyelamatkanmu, tetapi kamu juga harus bekerja keras, jangan hanya menangis, lihatlah, sekolah tempat kamu bekerja sudah kritis dan nyaris tutup. Â Inilah kesengsaraan nyata yang saat ini kita pikul, dan Tuhan sesungguhnya sudah menasihati kita dengan sangat keras, melalui kondisi persekolahan yang saat ini kita hadapi.
4. Sekolah Gratis
Jika ada yang gratis, kenapa harus bayar? Â Saya merasa bahwa ungkapan tersebut tepat untuk disematkan pada kondisi umat kita saat ini. Â Kenapa? Karena mungkin dalam kegratisan itu mereka mendapatkan sama seperti yang berbayar. Â Dan hal tersebut wajar bukan? Â Saat ini pemerintah, terutama di jakarta memang menggratiskan sekolah jenjang dasar dan menengah. Â Bahkan mereka telah merambah pada sekolah sekolah swasta untuk mendapat perlakuan yang "mirip". Â Sekolah sekolah yang tidak lagi dipungut biaya dalam melaksanakan proses pembelajaran ini dilengkapi dengan fasilitas yang mumpuni, yang memungkinkan mereka menjadi sarana pendidikan hebat.
Kebutuhan guru dalam segala bidang dicukupi. Â Apa yang tadinya menjadi kekhasan sekolah Katolik, terutama pembinaan iman Katolik yang mumpuni, juga diadakan di sekolah-sekolah pemerintah ini. Â Apalagi coba yang kurang. Â Maka tidak bisa disalahkan jika kemudian beberapa orang tua, menunggu pengumuman sekolah negeri dahulu untuk mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah katolik. Â Jika umat Katolik sendiri sudah memiliki pandangan seperti ini terhadap sekolah kita, bagaimana dengan masyarakat umum? Â Jika umat paroki sendiri tidak mencintai sekolah gerejanya, bagaimana dengan masyarakat pada umumnya?
5. Saling menggigit di antara "Kita"
Menurunnya jumlah umat Katolik, khususnya dan umat Kristiani yang merupakan sasaran sekolah Katolik menjadi kesengsaraan berikut yang harus dipikul. Â Mengapa menurun? Karena keluarga Kristiani rata-rata hanya memiliki anak satu atau dua orang. Â Praktis dengan jumlah sekolah Katolik yang ada saat ini, menjadi salah satu faktor penurunan animo masyarakat untuk bersekolah di sekolah Katolik. Â Ditambah lagi, lokasi sekolah Katolik yang saling berdekatan satu dengan yang lain.
Hal ini akan mendorong masing-masing sekolah untuk berebut murid dengan segala cara yang mungkin bisa dilakukan. Â Peranan lembaga Katolik di atasnya yang menaungi sekolah-sekolah katolik nyaris tidak terdengar pada saat sekolah sekolah kita saling "gigit". Â Mereka memang menghimbau, menyarankan, tetapi yang dibawah pasti lebih senang jika mendapatkan murid sesuai target daripada melaksanakan himbauan tersebut, itupun jika ada. Â Kondisi ini memang wajar terjadi dalam semua institusi pendidikan, baik negeri maupun swasta, dalam segala bentuknya, dari yang sederhana maupun yang kompleks, dari yang kecil maupun yang besar. Â Kondisi ini bisa membuat kita bersemangat dalam berkompetisi dalam mendapatkan murid, tetapi juga bisa membuat yang satu membuat binasa yang lain.
Harus diakui, Lembaga yang lebih atas, yang menaungi dari sekolah-sekolah Katolik sebenarnya sudah memberi berbagai cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup sekolah Katolik seperti berbagai peningkatan kompetensi para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan, tetapi sepertinya hal ini menguatkan suasana persaingan di antara sekolah katolik, sehingga suasana saling "gigit" itu semakin terasa.
6. Ego Internal
Kondisi sekolah Katolik yang mengantar dan menyempurnakan kesengsaraan yang telah ada adalah kurangnya kesadaran bahwa, hanya "kita" yang mampu mempertahankan kelangsungan sekolah katolik. Â Saya sering mendengar keluhan teman-teman sesama guru dari sekolah Katolik bahwa ada suasana yang tidak enak di lingkungan kerja mereka. Â Satu mendominasi yang lain, munculnya kelompok-kelompok yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Â Kelompok yang cenderung "gibah" tapi berat dalam melaksanakan tanggung jawab. Â Seolah-olah, tanggung jawab ada pada "mereka", bukan di "kami atau kita".
Dan rasanya saya mengamini kecenderungan terbentuknya kondisi yang seperti ini. Â Berkelompok dalam sebuah komunitas tidak salah jika memiliki tujuan positif yang sama. Â Namun seperti yang menjadi kebiasaan, kelompok-kelompok biasanya ada untuk saling merendahkan yang lain dan membawa kehancuran bersama, secara pelan-pelan dan tanpa kita sadari.
7. Kebijakan yang "meninggalkan"
Sudah banyak kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memajukan sekolah. Â Tetapi tentu pertama-tama bukan untuk sekolah swasta. Â Apakah kebijakan tersebut tidak menyentuh sekolah swasta? Jawabannya, pasti menyentuh, tapi nanti. Belakangan!
Hal yang seperti ini yang semakin membuat sekolah Katolik yang "kurang berdaya" menjadi semakin terpuruk dan terancam keberlangsungannya. Â Namun pemerintah bukannya membiarkan keterpurukan ini terus berlanjut. Â Minimal pernah ada pemikiran untuk menghentikan keterpurukan sekolah sekolah seperti ini. Â Pada tahun 2017, Bapak Basuki Tjahaya, Gubernur Jakarta pada waktu itu, jika saya tidak salah pernah berbicara tentang hal ini, sekolah swasta yang kuirang berdaya ini dibeli dan di negerikan. Â Secara pribadi saya mengapresiasi ide ini, tetapi saya juga prihatin jika hal tersebut terjadi pada sekolah Katolik, apalagi sekolah milik Gereja. Â Bagi saya, ini sangat mengerikan. Â Mungkin ini hanya ketakutan saya saja, mungkin keegoisan saya yang tidak rela sekolah Katolik menjadi sekolah umum, meskipun di sisi lain saya juga tidak mau bertindak maksimal dalam mempertahankan keberlangsungan hidup sekolah katolik.
B. Â Â Menuju pada kematian
Setelah mengalami kesengsaraan yang luar biasa, mulai dari pengadilan yang tidak adil, penderitaan fisik yang tidak terkira selama proses pengadilan, hingga akhirnya munculnya keputusan "bersama" bahwa Yesus harus dihukum mati dengan proses yang begitu berat. Â Memikul beban salib berat dan jatuh bangun karena perjalanan terjal dan mendaki agar bisa sampai di tempat penyaliban yaitu Golgota. Â Ini adalah proses kematian yang begitu berat, yang menyadarkan manusia betapa dosa telah mengakibatkan kematian yang mengerikan. Â Dalam proses menuju kematian-Nya ini banyak orang yang sedih, prihatin,dan menangis, tetapi ada juga sebagian yang puas, tertawa dan gembira. Â Dua sisi yang selalu menyertai kehidupan manusia.
Saat ini sekolah kita sepertinya juga akan bermuara ke sana. Â Pada kematian. Â Yang membedakan adalah, Yesus dan orang-orang yang bersimpati (atau berempati) dengan kesengsaraan itu sungguh sadar bahwa beratnya beban yang Yesus pikul ini akan membawa pada kemuliaan. Â Karena disana tersirat kerja keras juga kepasrahan, pengorbanan dan juga cinta, kesetiaan pada panggilan untuk meraih nilai tertinggi yang dicita-citakan, yaitu keselamatan manusia. Â Sementara, kita sadar bahwa kesengsaraan yang kita alami akan mengantar dan bisa mengantar kita pada kematian, tetapi kita diam dan menyerah, seandainya kita melakukan sesuatu, kita melakukan sesuai kewajiban yang seharusnya, sangat standar, bukan dilandasi oleh keinginan meraih nilai dan cita-cita tertinggi yang mendorong kita untuk membangun semangat juang yang tinggi dalam mengungkapkan cinta, yang akan terwujud jika sekolah yang kita cintai maju dan menuju pada kejayaan, seperti kejayaan yang pernah kita alami dan rasakan, dulu kala!
Jika hal ini terjadi, maka kita akan mengalami kematian permanen, dan tidak akan pernah bangkit lagi seperti halnya Kristus, yang setelah kematianNya kemudian bangkit, pada hari ketiga.
C. Â Â Belajar Bangkit dari Veronika
Kisah tentang Veronika yang mengusap wajah Yesus yang berlumuran darah saat dalam perjalanan Salib sangat menarik bagi saya. Dalam bayangan saya, waktu itu, Veronika berada dalam kumpulan para perempuan yang menyaksikan perjalanan salib Yesus. Sebagian perempuan tersebut menangisi kesengsaraan Yesus seperti yang sudah digambarkan di atas. Â Sebagian lagi menyalahkan Yesus dan tidak peduli dengan kesengsaraan yang dialami oleh Yesus.
Tetapi dari persekutuan perempuan tersebut, yang salah satunya adalah Veronika. Â Dia dengan keberanian yang luar biasa keluar dari kerumunan, meninggalkan kumpulan perempuan-perempuan itu dan mendekati Yesus untuk meringankan beban deritanya. Â Sederhana yang dilakukan: mengusap wajah Yesus yang berlumuran darah. Â Secara sekilas, apa yang dilakukan tidak meringankan sama sekali beban yang dipikul Yesus, tetapi hal tersebut menjadi kekuatan Rohani bagi Yesus untuk melanjutkan perjalanan salibNya.
1. Bangkit itu Keluar dari kebiasaan
Memaknai apa yang dilakukan oleh Veronika, dia mengawali kebangkitan dirinya dengan keluar dari kerumunan. Â Hal sederhana tetapi menjadi istimewa manakala dilakukan dalam situasi yang tidak biasa. Â Veronika berada dalam situasi yang tidak biasa, saat dimana banyak orang yang tidak peduli dengan penderitaan sesama, atau sekedar prihatin dan menyalahkan yang lain, namun dia mengambil tindakan nyata sekalipun sederhana: mengusap wajah Yesus. Â Tindakan kecil yang membutuhkan keberanian besar
Situasi sekolah Katolik tak ubahnya seperti situasi Yesus: Kritis! Â Situasi yang membutuhkan keberanian besar untuk mengubah suasana menjadi lebih baik dan lebih hidup. Â Saat ini sekolah Katolik membutuhkan banyak Veronika yang berani keluar dari zona nyaman, dari kebiasaan yang biasa-biasa saja. Â Sekolah Katolik membutuhkan revolusi pribadi dari semua warganya untuk bisa mencapai kebahagiaan bersama dan terjaganya keberlangsungan hidup institusi tempat kita bernaung.
2. Melakukan hal yang biasa dengan luar biasa.
Cinta mengubah hal yang sederhana menjadi luar biasa. Â Apa yang dilakukan Veronika adalah hal yang sederhana tetapi menjadi luar biasa juga karena dilakukan dalam cinta, dan itu membuahkan sesuatu yang luar biasa yaitu mendapatkan gambar wajah Yesus. Â Sesungguhnya setiap warga sekolah Katolik memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Â Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk melaksanakan tugas dan taanggung jawab tersebut dengan sungguh sungguh dan cinta.
Melaksanakan tugas dengan cinta bukan sekedar melaksanakan sebatas kewajiban yang dibebankan kepadanya. Â Cinta mendorong manusia untuk memberikan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, tanpa berfikir mau dapat apa, tetapi pada akhirnya akan membuahkan hasil yang luar biasa. Â Cinta itu akan mewujud dalam kreativitas yang kita munculkan! Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
3. Jejak yang tidak pernah terhapuskan
Buah dari kebaikan yang dilakukan Veronika ternyata tercatat dalam sejarah dan selalu dikenang oleh manusia generasi berikutnya. Terbukti, tindakan sederhana tersebut masih kita kenang dan lestarikan sampai sekarang sebagai sebuah keteladanan iman yang mampu mengubah dunia.
Jika seluruh warga sekolah Katolik mampu menorehkan jejak sederhana, tanpa mengingat bahwa jejaknya akan dikenang orang, maka masing masing tanpa sadar sudah meninggalkan jejak istimewa. Â Ketika sekolah katolik tempat kita bernaung masih bertahan, bahkan pada saat jauh setelah kita pergi meninggalkannya, kita telah masuk deretan pribadi yang terpuaskan karena telah meninggalkan jejak baik, meskipun nama kita tidak pernah disebutkan orang. Â Sekolah Katolik yang masih berdiri kokoh dalam setiap zaman adalah jejak kita yang tidak pernah terhapuskan
4. Pengaruh Positif
Apa yang dilakukan Veronika dikenang sampai saat ini dan membawa pengaruh positif bagi perkembangan umat manusia. Â Pengaruh itu nampak nyata dari perubahan pada lingkungan yang bertambah baik. Â Yesus merasa tersemangati dengan apa yang dilakukan Veronika, dan membuatnya mampu menyelesaikan perjalanan salib-Nya.
Warga sekolah yang melakukan kebaikan dengan tulus akan membawa pengaruh bagi yang lain untuk mencapai kebaikan bersama seperti halnya yang dilakukan Veronika. Â Tindakan yang tulus berarti tidak berhenti berbuat baik di tengah kebiasaan dan tanggapan yang tidak baik. Â Hal ini perlu diingat karena perbuatan baik belum tentu berdampak dalam waktu yang pendek. Â Pengaruh kebaikan itu bisa dalam waktu yang sangat panjang baru bisa dirasakan. Â Jika kita melihat sekolah Katolik kita masih berdiri, yakinlah bahwa selama kita berada dilingkungan tersebut, kita telah membawa kebaikan. Â Sekecil apapun yang sudah kita berikan.
D. Â Â Paskah itu Pembaharuan Hidup
    Peristiwa Paskah akan menjadi bermakna jika mampu membawa pembaruan dalam hidup kita.  Namun pembaruan itu baru akan terjadi jika manusia menyadari dan mampu melihat jejak yang telah ditinggalkan.  Dari situ kita akan bisa menilai apakah selama ini kita telah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sekolah kita?  Lingkungan dan sesama kita?  Dan apakah perbuatan yang kita lakukan telah dilandasi dengan cinta dan bukan sekedar pelaksanaan sebuah kewajiban atau tuntutan pekerjaan?
    Permenungan seperti itulah yang akan mengantar kita pada upaya perbaikan dari sekarang dan di masa-masa berikutnya.  Dari situlah kita telah membangun tonggak sejarah bagi hidup kita dan sesama.  Jadi jika kita merayakan Paskah tetapi tidak pernah terjadi pembaruan dalam hidup, sesungguhnya, kita tidak lebih dari sekedar mengikuti seremoni rohani.  Makna bangkit dalam peristiwa Paskah adalah  bangkit dari hidup tanpa harap, bangkit dari kemalasan, bangkit untuk berani menanggapi dan melakukan hal baru secara positif.  Karena sesungguhnya dalam proses pendidikan, setiap saat adalah hal baru yang harus disikapi secara baru, dengan semangat baru.Â
     Bangkit itu melakukan yang terbaik dalam cinta.  Cinta memungkinkan kita mengatasi tantangan yang berat sekalipun.  Seperti halnya Yesus yang mampu menyelesaikan perjalanan salib berat.  Semuanya bisa terlaksana karena cinta-Nya yang begitu besar mengalahkan ketakutan akan adanya kesulitan yang didepan mata.  Menjadi warga sekolah katolik yang mencintai sekolahnya akan menjadikan masing-masing pribadi untuk mempersembahkan yang terbaik.  Jika ini tidak terjadi maka yang kita saksikan di masa yang akan datang dari sekolah katolik adalah kemegahan gedung kosong yang tidak lagi berpenghuni karena ditinggalkan peserta didiknya.
Selamat Paskah 2024. Tuhan Yesus Memberkati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H