Namanya sempat menjadi primadona persepakbolaan Tanah Air satu dekade lalu. Tepatnya dalam gelaran Piala AFF 2010. Momen di mana euforia masyarakat Indonesia terhadap timnasnya begitu tinggi. Termasuk mungkin karena kehadiran sosoknya.
Ya, dia adalah Irfan Harrys Bachdim.
Bersama Christian Gonzales, ia menjadi magnet timnas kala itu dan membuat Stadion Utama Bung Karno selalu membludak. Sayang memang, meski bermain baik sepanjang turnamen, Indonesia tampil antiklimaks di partai final dan harus menatap getir gelar di depan mata diboyong Malaysia.
Hingga kini sebenarnya masih banyak yang salah kaprah mengenai status kewarganegaraannya. Irfan Bachdim dianggap merupakan pemain naturalisasi seperti halnya Christian Gonzales, Kim Kurniawan, atau Stefano Lilipaly. Padahal bukan.
Meski lahir dan tinggal lama di Belanda, ia memilih kewarganegaraan Indonesia saat berusia 17 tahun. Namun baru di usianya yang ke-22 lah ia memutuskan berkiprah di tanah leluhurnya ini. Ia dipinang Persema Malang setelah sempat seleksi di Persija Jakarta dan Persib Bandung.
Sempat merantau ke Thailand bersama Chonburi FC serta ke Jepang membela Ventforet Tofu dan Hokkaido Consadole Sapporo pada medio 2013-2016, Irfan kembali ke Indonesia untuk bergabung dengan Bali United.
Selama 3 tahun membela Serdadu Tridatu, ia bermain di 66 laga dengan mencetak 13 gol dan mempersembahkan 1 gelar Liga 1 musim lalu.
Namun di Bali ia tampil tak begitu mentereng dan bukanlah pilihan utama pelatih. Namanya seolah meredup di bawah bayang-bayang pemain lain yang bermain lebih konsisten, seperti Lilipaly atau Spasojevic.
Musim 2020, Bali United yang dihadapkan pada jadwal padat, mengontrak banyak pemain baru. Hal ini membuat Irfan seakan terpinggirkan, padahal ia masih memiliki potensi untuk bermain reguler.
Hanya saja sepertinya Irfan mencoba realistis. Proses transfer pun terjadi, membawa Irfan berlabuh di klub PSS Sleman. Sempat dirumorkan batal pindah, tapi per 12 Februari 2020 ia resmi diperkenalkan sebagai pemain baru Super Elja.
"Saya sangat senang bisa berkumpul sama PSS. Semoga saya bisa bantu tim, kasih experience saya ke pemain-pemain muda," katanya dalam konferensi pers.
Hadir di Tengah Konflik
Dengan usianya yang sudah menginjak 31 tahun, Irfan memang akan dianggap sebagai contoh bagi rekan-rekannya untuk bermain profesional.Â
Terlebih ia harus membangkitkan kepercayaan Slemania dan Brigata Curva Sud (BCS), pendukung PSS Sleman, yang belakangan cukup marah kepada manajemen.
Sebabnya, manajemen mencopot Seto Nurdiantoro dari kursi pelatih tanpa alasan jelas. Padahal di bawah asuhan Seto, PSS tampil apik.
Musim 2018, PSS sukses menjuarai Liga 2 dan berhak promosi ke Liga 1. Di Liga 1, mereka mengakhiri musim di peringkat ke-8, posisi yang baik untuk sebuah tim promosi.
Tak sampai di situ, rupanya pelatih yang menggantikan Seto adalah Eduardo Perez Moran, sosok yang sebenarnya merupakan pelatih kiper. Ia pernah menjadi pelatih kiper timnas di era Luis Milla.
Kekisruhan ini sempat meramaikan jagat media sosial. BCS menggaungkan tagar #BCSMelawan dan merilis pernyataan terkait kekecewaan mereka pada manajemen. Mereka pun mengancam memboikot seluruh laga PSS Sleman.
Padahal daya tarik pertandingan PSS Sleman, khususnya di kandang, adalah kreativitas suporternya yang luar biasa di tribun. Dengan rencana aksi boikot itu, tentu bisa berpengaruh terhadap mental tim.
Entah ini benar atau sekadar alasan untuk menciptakan situasi kondusif di tubuh klub. Sebab yang jelas musim baru tidak lama lagi akan bergulir.
Tentu akan lebih elok rasanya jika mengawali musim dengan baik dan didukung langsung oleh suporter fanatiknya di Stadion Maguwuharjo, kandang kebanggaan masyarakat Sleman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H