Apa yang dilakukan pasca  kerja sama dengan korea Selatan untuk  proyek pengembangan jet tempur KF-21? yang digadang- gadang jet tempur ini akan menjadi  jet tempur  canggih melebihi atau setara F16 buatan Amerika, Apakah kita diam saja menunggu mendapatkan jatah 48 unit pesawat hasil Kerjasama dan  dapat melakukan  perawatan sendiri pesawat KF-21 seperti tukang servis ?atau ingin mandiri membuat  pesawat  KF-21.
Â
Pesawat Jet tempur KF-21 Boromae  merupakan proyek pertahanan Korea Selatan dengan biaya lebih dari 100 Triliun, Kerjasama ini dimulai tahun 2009 , bermula nota Korsel dan Indonesia berminat membangun Kerjasama pengembangan Proyek pesawat Tempur  dan pada Tahun 2014  ditanda tangani pembagian biaya pengembangan antara Indonesia dan Korsel  dalam kerjasama ini, Indonesia harus berkontribusi/cost share  20 % dari seluruh proyek  yaitu sekitar 20 triliun.
Dalam Kerjasama ini Indonesia nantinya akan mendapat 48 unit pesawat dan pengetahuan teknologi meliputi  desain, data teknis, spesifikasi, informasi kemampuan, pengembangan purwarupa, pembuatan komponen, serta pengujian dan sertifikasi. Kerja sama ini tidak selalu lancar, prosesnya sangat memerlukan kesabaran dan kegigihan yang besar.
Beberapa hambatan yang muncul dalam Kerjasama ini baik  dari aspek administrasi, teknis, keuangan , pandemic covid menyebabkan para ahli Indonesia terpaksa dipulangkan tetapi Korea Selatan tetap terus berjalan  programnya sehingga Indonesia terlewatkan beberapa aspek. Teknologi kunci tidak semua diberikan karena milik Amerika, sedangkan Amerika tidak memberikan export lisence kepada Indonesia dalam bentuk LRU(Line Replacable Unit)/teknologi lain, atau dengan kata lain "silahkan dipikir sendiri".
Aspek yang tidak kalah pentingnya  adalah kesiapan pihak Indonesia didalam menerima transfer Teknologi pesawat Turbo jet, apakah sudah siap? Gap teknologinya apa tidak terlalu lebar? Dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia (DI). Visi misi PT DI adalah "Menjadi pemimpin pasar pesawat turboprop kelas menengah dan ringan ......" ,artinya kesiapan PT DI  bisnis process  sesuai visinya adalah pesawat turbo prop bukan turbo jet, sehingga pengembangan tenaga teknis dan fasilitas produksi berorientasi ke produksi mesin turbo prop, ini menjadi persoalan tersendiri juga.
 kemudian dari aspek Tenaga Teknis yang sudah dikirim ke Korea Selatan Bagaimana mengamankan tenaga teknis ini,  bila pensiun  atau dibajak  perusahaan penerbangan lain diluar negeri? Variabel variable ini perlu diantisipasi. Bagaimana kesiapan PT DI  bersentuhan dengan teknologi turbo jet?.
Bagaimana solusinya supaya Indonesia mendapatkan manfaat yang maksimal?Â
 Alkisah ada seorang dosen ITB DR Firman Hartono  dengan semangat  pantang menyerah bersama-sama temannya ingin membuat terobosan melakukan penelitian teknologi  pengembangan Turbo jet sudah dimulai  Tahun 2015 , Tujuan pengembangan turbo jet ini untuk mendukung kemandirian dan alat utama system persenjataan Indonesia.
Alasan penelitian ini menurut Firman Hartono adalah material dasar pengembangan turbo jet ini  mudah dicari didalam negeri tanpa perlu adanya impor dari luar negeri, mesin turbojet ini selain dapat  untuk pesawat dengan penggerak tubo  jet,  dapat juga mesin turbo jet ini dipasang untuk rudal dengan jangkaunya jauh, sulit dideteksi oleh radar karena dapat terbang 20 meter diatas permukaan laut,  kecepatannya dapat mencapai supersonic. DR Firman sudah memulai pengembangan ini sejak Tahun 2015 dan mendapati hambatan yang memang harus ada campur tangan pemerintah untuk dukungannya.
Menurut DR Firman dalam pengembangan ini hambatannya  adalah pendanaan , dengan pergantian tahun anggaran  memunculkan birokrasi baru dengan pendanaan yang makin berkurang. Hambatan- hambatan ini  hampir sama  didalam  pengembangan pesawat tanpa awak MALE Elang Hitam , padahal percepatan pengembangan ini sudah ada Undang-undang yang memayunginya( Perpres No. 109 Th 2020 ) .menurut ketua BRIN dan pelaksana tugas Kepala Pusat Teknologi  BRIN  hambatannya adalah masalah Teknis dan materialnya mahal, kurang optimis dapat memenuhi spek AU ( kompasiana 27/9/22 ,kebijakan, pesawat udara nir awak kombatan elang hitam), sehingga pengembangan Drone yang semula tujuan pertahanan di reposisi menjadi tujuan sipil.
Kembali ke pengembangan pesawat Turbo jet Boromae, Kalau memang Indonesia ingin mendapatkan manfaat yang maksimal dalam Kerjasama ini, Indonesia harus segera secara parallel terlibat dan langsung di aplikasikan pengetahuan dan teknis  pengembangan  pesawat Turbo jet ini di Indonesia, tidak menunggu selesai produksi KF-1 Boromae di Korsel  baru  Indonesia memulai.  Pelibatan proyek pengembangan DR Firmanto  untuk Turbo Jet bersama sama tim pengembangan KF-1,keuntungannya tenaga teknis PT DI dapat lebih mengenal teknologi Jet yang sudah dikerjakan lebih dulu oleh DR Firman,  bila ada kesulitan dapat  langsung bertanya kepada tim teknis Indonesia yang ada di Korsel.
 Keuntungan lain selain Indonesia mendapatkan secara maksimal dalam pngembangan pesawat KF-1,  adalah Indonesia akan segera dapat memproduksi Rudal jarak menengah dengan tenaga penggerak Turbo jet.
Perlu di sadari Proyek ini akan berdampak besar untuk Indonesia,  biasanya  akan  ada yang mengintervensi, banyak yang tidak suka Indonesia menjadi kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H