1) Teori Pengembangan Berbasis Masyarakat (People-Centered Development) (Corten & Klauss, 1984 dalam Muhid, 2011). Teori ini menempatkan manusia dan lingkungan menjadi variabel utama perencanaan pembangunan. Kesejahteraan sosial dan spiritual sebagai tujuan pembangunan. Pesantren mampu menempatkan diri sebagaimana teori ini menghendaki. Pesantren merupakan unit sosial-kultural sesuai dengan people centered development dengan pendekatan ecology.
2) Teori Pembangunan Lembaga (Institution Development) (Corten, 1984 dalam Muhid, 2011). Suatu konsep pembangunan yang menerapkan model pembangunan yang berpusat pada kelembagaan sosial yang ada. Pesantren, berada dalam posisi yang tepat untuk memberdayakan masyarakat karena pesantren tumbuh dari akar rumput masyarakat, tentunya nilai-nilai yang tumbuh bersamaan dengan pesantren tersebut turut mengakomodir munculnya kebijakan yang menuju arah pembangunan masa depan
3) Teori Kemandirian. Pembangunan menititekankan bahwa inisiasi masyarakat sendiri dalam mengorganisir kebutuhan dan merealisasi sumber daya yang ada sebagai modal menghadapi tantangan di masa depan. Konsep pembangunan ini, akan menciptakan ketergantungan diantara masyarakat. Pesantren mampu menjalin hubungan secara struktural maupun fungsional antara masyarakat untuk menciptakan kemandirian.
4) Teori Kelestarian (Suistainability). Konsep ini dapat diidentifikasi dari adanya revolving rate, stability of membership, continuity of commitment dan rescue mobilization. Pesantren lebih berperan pada upaya revolving rate. Artinya lulusan pendidikan pesantren, yakni para santri cenderung memiliki dorongan moral untuk mendirikan jenis pesantren yang sama ditempat lain atau di desanya sendiri.
5) Teori Value-Oriented Development. Menurut Kuntowijoyo, pembangunan masyarakat juga ditekankan pada internalisasi etika, moralitas dan sistem nilai yang ada. Pesantren mampu memenuhi kebutuhan itu melalui implementasi ajaran Agama Islam universal, plural dan moderat (Muhid, 2011).
Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren, memiliki modal dasar yang potensial dan strategis untuk memulai pembangunan masyarakat. Hubungan pesantren dengan pemerintah dalam pembangunan bersifat sebagai mitra, bukan sub sistem birokrasi (Kholil,2011). Bahkan tanpa partisipasi konstitusional politik berbasis kekuasaan, pesantren justru sudah melampaui sistem birokrasi untuk mencapai politik yang berbasis kebangsaan dan kerakyatan. Â
Pesantren, jika menilik secara rigid, ada unsur pendorong fungsi progresifitas didalamnya, ternyata didasari pada beberapa elemen dasar, yakni masjid atau mushola, kyai atau pengasuh pesantren, pondok atau asrama, dan pengajaran salah satunya mengandalkan kitab kuning (Kholil, 2011). Pesantren, menjadi begitu nyata perannya, sebenarnya dilatarbelakangi oleh peran pemegang tampuk tertinggi struktur yang menjalankan pranata dan fungsional pendidikan pesantren yakni kyai atau ulama pengasuh pesantren. Lalu bagaimana peran kyai dalam pesantren untuk turut dalam dinamika politik kebangsaan beberapa dekade belakangan? Dan bagaimana isu terkini tentang sosok kyai yang masuk dalam pusaran politik kenegaraan maupun wilayah? Sebelum itu, agar percakapan kita menjadi basah dan berasap. Sepertinya kita harus menarik kebelakang secara historis tentang peran politik yang turut pula diemban oleh seorang kyai atau ulama, yang kita tahu identik sebagai tokoh masyarakat yang hanya bergerak pada wilayah keagamana Islam semata.
Romantisme Lama, Kyai dan Santri dalam Kancah Politik Awal Merdeka Hingga Hari IniÂ
Membuka mata dengan jeli dan keberanian berfikir secara radikal dan mendasar untuk membaca politik masa depan yang akan datang. Menjelang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 dan Pemilu RI 2019, pesantren dan santri sebagai bagian dari masyarakat banyak dilirik oleh para kandidat calon baik calon Kepala Daerah tingkat Kabupaten, Provinsi hingga Presiden. Seakan, restu dan rekomendasi dari kelompok santri dan pesantren sangat menentukan bagi keberlanjutan dalam kesuksesan sang calon meraih kekuasaan. Misalnya pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018, beberapa calon melakukan safari politik ke pesantren-pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur dan bahkan restu serta rekomendasi dari kelompok santri dan pesantren digunakan sebagai legitimasi dukungan politik untuk mendapatkan tiket dari partai politik.
Kyai, tanpa bermasuk mengindahkan penjelasan definisi istilah dan bahasa. Sosoknya identik bagi pemahaman dalam kesadaran kolektif masyarakat, sebagai seorang tokoh sentral ditengah masyarakat yang dituakan dan diteladani karena tingginya ilmu dan arifnya kepribadian. Sebagai pewaris keilmuan dan spiritualitas para nabi, kyai atau ulama dalam tatanan sosial fungsional bertindak sebagai sosok yang mengarahkan santri untuk menjadi pribadi kuat dan berkarakter akhlakul karimah, memahami nilai norma etika yang ada dimasyarakat, bersikap moderat untuk menghargai tradisi suatu masyarakat, sebagaimana fitrah dirinya yang menjelma menjadi hamba Tuhan dan khalifah (Kholil, 2011).
Kyai, dalam perannya mengarahkan pesantren untuk menjadi motor pemberdaya masyarakat (Horokhosi, 1987 dalam Siswanto, 2014). Didasari pada 2 entitas utama yakni, karena kyai memiliki otoritas dan kharisma. Menurut Turmudi, hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh generasi kyai mungkin telah dicetak untuk memiliki karakter modern, progresif, berani, kritis-evaluatif terhadap segala bentuk gejala sosial politik kebangsaan dan kerakyatan (Turmudi, 2003:3-4 dalam Siswanto, 2014). Kharisma yang dimaksud bisa dilatarbelakangi oleh kealiman perilaku iman Islam, luasnya wawasan keilmuan, nama besar pesantren, jumlah santri bahkan kemampuan supranatural (Turmudi, 2004:94 dalam Siswanto, 2014). Menurut Azizah (2013) terdapat pembagian beberapa kategori kyai, meliputi; kyai pesantren, kyai tarekat, kyai politik dan kyai mimbar. Bagaimana dengan kyai politik? Ternyata didalam kategori kyai politik, terdapat tipologi baru yang membagi kategori kyai politik, menurut Ali Hasan Siswanto (2014), yakni; 1) Kyai Makelar Politik (Political Broker). Tipologi ini menunjukkan kecenderungan perilaku politik kyai yang kerap mencari untung sendiri dalam setiap kepentingan. 2) Kyai Pejabat, seorang kyai yang memiliki cara pandang untuk mencari kecukupan materi secara pribadi semata. 3) Kyai Terjerat Kasus, tipologi ini menandai bahwa kyai juga ada yang terjerat perkara pidana, karena perilaku politiknya yang mementingkan golongan atau individu dengan cara melakukan korupsi (Siswanto, 2014).