Lalu, dengan cara apa politik oposisi bisa berjalan? Hanya satu prinsip dasarnya yakni filsafat falibilisme. Falibilis, merupakan sikap seorang intelektual untuk tidak pernah, bahkan dilarang berhenti pada suatu jawaban atau anggapan yang muncul. Filsafat falibilisme, epistemologi dasarnya menempatkan diri manusia sebagai makhluk yang terus menerus berbuat salah dan kesalahan itu sifatnya permanen. Oleh karenanya, dibutuhkan kritik tanpa henti agar si manusia senantiasa terjaga dan menjaga segala aktivitas hidupnya dengan baik dan benar. Dasar berfikir filsafat falibilis ketika digunakan membaca demokrasi dan politik suatu negara, menempatkan negara dan segala bentuk sistem yang digunakannya sebagai sasaran kritik terus-menerus. Karena kita tahu, status ontologi dari demokrasi adalah suatu sistem politik yang paling buruk, karena demokrasi adalah mengumpulkan orang-orang bodoh, dengan satu prinsip dasar tentang teori kesetaraan; isinya publik memiliki kesempatan dan hak yang sama berpartisipasi dalam kancah politik di parlemen. Tentu, jika secara harfiah memahami demokrasi sebagai sistem yang buruk hingga menjadi implementasi bentuk baku sistem pemerintahan, maka yang sering terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa adalah demokrasi menjadi pijakan bagi otoritarianisme. Oleh karena itu, filsafat falibilisme hadir untuk mengoreksi terus-menerus, mengkritik tanpa henti, berdebat terus-menurus dengan satu itikad paling mulia, dan tentunya tanpa unsur politik, agar demokrasi terus berubah dan berkembang menjadi sistem yang mampu mengatur gerak kehidupan manusia didalamnya (Gerung, 2008).
Itikad dasar untuk menjadi oposisi, dengan berfikir secara falibilis, telah kita pahami. Oposisi selain menjamin bebasnya mengkritik, juga menjamin partisipasi penuh publik tidak boleh dibatasi oleh apapun termasuk agama, ketika menyangkut kepentingan publik. Karl Jaspers, menegaskan pada kita bahwa manusia memiliki rasionalitas, dan rasionalitas itu dibutuhkan sebagai alat untuk berpolitik. Rasionalitas yang menjadi hak bagi setiap warga negara, didalam negara demokrasi hendaknya membuka seluas-luasnya partisipasi publik di dalam negara. Dengan kata lain, setiap warga negara memiliki hak atas dirinya untuk menjadi setara dimata negara (Bronner, 1997 dalam Gerung, 2008). Bentuk kesetaraan itulah yang dimanfaatkan oleh cendikiawan dan para civil society untuk menegaskan diri dimata negara bahwa mereka patut didengar. Ketika selama ini politik hanya milik para elit, dan partisipasi publik sebatas dalam pemilu. Maka yang bisa dilakukan bagi para akademisi, cendikiawan, mahasiswa, santri dan entitas pesantren adalah menjadi oposisi untuk melakukan fungsi kontrol sebagai civil soceity. Dengan cara, menyelenggarakan debat, diskusi atau simposium yang isinya mempercakapkan atau mendiskusikan ulang setiap isu atau kebijakan publik yang munculnya dari pemerintah. Kemudian, melakukan pengawasan terhadap proses distribusi kekuasaan yang ada diparlemen, apakah representatif mewakili kepentingan publik atau tidak. Dibutuhkan lembaga independen yang dapat melakukan counter terhadap hegemoni kekuasaan yang munculnya dari civil society, seperti kampus, pers dan pesantren. Karena hanya lembaga yang muncul dari civil society yang secara lugas tidak berhubungan dengan kekuasaan manapun dan ada jaminan untuk terus menerus melakukan kontrol, koreksi dan kritik terhadap penguasa (Gerung, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Matondang, D. (Juli 20, 2017). Survei Kepercayaan Publik: KPK-Presiden Tertinggi, DPR Terendah. Retrived from http://www.detikNews.com
Faiz, A. (Maret 23, 2017). Survei: Partai Politik Makin Tidak Dipercayai Masyarakat. Retrived from http://www.Tempo.co
Muluk, Hamdi. 2010. Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Raja. Grafindo Persada.
Syafiq, Hasyim, Tiga Jenis Politik NU dalam Nahdlatul Ulama; Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Harian Indoprogress. (Februari 28, 2014). Golongan Putih: Dari Alienasi ke Oposisi.  Retrieved from: http://indoprogress.com/
Makhosi, L. 2016. Orientasi Ideologis dan Pragmatisme Politik Mode Pembentukan Koalisi Pilkada Serentak Jateng 2015. Jurnal Fisip, Vol. 19 No. 3 Maret 2016
Hasan, N. 2014. Agama dan Kekuasaan Poltik Negara. Jurnal KARSA Fakultas Tarbiyah STAIN Pamekasan Vol. 22 No. 2, Desember 2014
Gerung, R. 2008. Etika Politik Oposisi. Jakarta: Universitas Indonesia Depok.