Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cara Bertamu ke Rumah Tuhan

5 Oktober 2018   22:38 Diperbarui: 8 Oktober 2018   20:28 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sukatmi menuntun sepeda kebo lawas yang berkarat di hampir semua rangkanya, untuk menyusuri sisi kiri jalan aspal pinggir desa. Mengenakan baju koko berwarna hijau pucat agak kusut dengan lengan panjang yang dilingkis sesiku, dan sarung bermotif kotak-kotak diselempangkan pada bahunya. Bagi para pekerja lembur pabrik plastik yang barusan keluar gerbang pabrik atau bagi mereka yang baru saja menghabiskan malamnya dengan begadang, menjumpai kakek 89 tahun sepagi itu petanda tak lama lagi adzan subuh berkumandang.

Mengenakan peci berlapis kulit beludru warna hitam yang pinggirannya kusam akibat seringkali bergesekan dengan kulit kening Sukatmi yang masih basah oleh bulir halus air wudhu yang belum mengering. Langgar kecil berkukuran 8 m x 6 m yang berada tepat di bahu jalan penghubung antar kecamatan, sebentar lagi lampu-lampu disemua sisi serambinya akan menyala terang, dan pengeras suara dari mulut Toa yang bertengger dipuncak kubah kecil langgar mulai berisik membunyikan bacaan tarkhim.

Bagi warga disekitar langgar yang memiliki pemaknaan lebih terhadap lantunan tarkhim, mungkin merasa sangat beruntung dengan sosok Mbah Katmi, sapaan akrab pensiuan militer AD satuan khusus Cakrabirawa itu; yang masih peduli membangunkan dan mengajak orang lain bersama-sama jamaah Subuh tiap hari. 

Namun, bagi mereka yang merasa kehidupan yang dilalui seharian penuh dirasa begitu berat, lantunan tarkhim beserta keutamaan-keutamaannya tak jauh berbeda dengan suara bising kendaraan ditengah kota, dan menganggap sosok Sukatmi hanyalah seorang petugas marbot langgar yang mungkin dibayar bulanan atau mingguan untuk menjalankan tugas membosankan merawat langgar tiap harinya.

Lantunan tarkhim berhenti, digantikan kumandang adzan kurang lebih berlangsung selama 3 menit, setelah itu disusul oleh rentetan sholawat nariyyah yang dibaca bergantian bersahutan sebagai pujian sebelum mengumandangkan iqomah dan memulai sembahyang. 

Hampir 15 menit sholawat dilantunkan, sembari menunggu para warga yang mau bersama-sama sholat berjamaah, namun selama itupula warga yang telah berada di dalam langgar yang siap melaksanakan sholat jamaah tak bertambah jumlahnya. Para orang-orang tua, keriput, sepuh-sepuh, yang tak lagi kuat berjalan jauh dan berdiri terlalu lama, dan wajah-wajah yang sama dari subuh ke subuh. Jangan bertanya kemana para remaja dan orang dewasa.

Yang menjadi menarik adalah; apa yang membuat mereka para orang tua yang berusia udzur itu masih bersemangat untuk menjalankan ritual ibadah? Menyingkap dan menyingkirkan kenyamanan yang dimiliki untuk sekedar dapat terus menerus istiqomah menjalankannya tanpa henti, sebenarnya apa yang terjadi dalam diri mereka yang tengah beribadah? Tentang manfaatnya, khasiatnya, atau keutamaannya. 

Sosok Mbah Katmi beserta segala perilaku keberagamaan yang melekat padanya, menjadi awal pertanyaan besar tentang apa itu perilaku ibadah?

*****

Kalau boleh disebut, perilaku ibadah sebenarnya cerminan kritis manusia terhadap dirinya sendiri. Disebut demikian, karena bertumpu pada konsep dasar refleksi kritis sebagai konsep berfikir yang menempatkan dirinya sendiri sebagai objek yang dipikirkan sekaligus subjek yang memikirkan. Barangkali tidak terlalu familiar jika aktivitas ibadah; sebuah momen dimana manusia berkomunikasi dengan Tuhannya, harus dikaitkan dengan tatacara bernalar secara kognitif. 

Biasanya, term ibadah, agama & Tuhan lazim menjadi hidangan percakapan pada meja diskusi kita, dengan atau tanpa kepentingan yang akan diperoleh dari percakapan itu seputar bagaimana wujud Tuhan beserta kosmologinya, bagaimana perwujudan dan tafsir tentang Tuhan dalam manifestasi sejarah agama-agama, historitas ruang dan waktu, atau bagaimana kaidah-kaidah baku dan prosedural yang mengatur tata cara komunikasi para mahkluk dengan Tuhan dalam sudut pandang agama tertentu?

Pernahkah berbicara tentang term-term tersebut dalam dimensi yang lebih intim (tak terlalu ribet membutuhkan tafsir yang sarat akan prosedural teknis, tak terlalu susah membutuhkan data-data empiris, tak terlalu memusingkan membutuhkan kecocokan logika data nas kitab suci dengan realitas) didalam ruang yang paling dekat, paling mesra dan paling privat, yakni di dalam diri kita sendiri.

Refleksi kritis. Kata Kritis mungkin lazim kita dengar memiliki relasi dengan aktivitas mental manusia; berfikir. Tentu tak menafikkan, kata "kritis" sering diplesetkan; apakah ada yang sedang sakit hingga kritis. Namun asosiasi kata kritis yang akan kita gunakan, adalah pada konsep kritis dalam kaitannya dengan aktivitas mental, berfikir.

Kritis sebagai salah satu bentuk metode berfikir yang hendak memastikan apakah "yang ada" entah apapun rupanya; konsep, gagasan, ide, slogan, benda, opini, teori dan sebagainya, benar-benar tersaji sebagai sesuatu yang utuh, semata-mata tanpa sebab-sebab, tanpa faktor-faktor, atau tanpa dasar-dasar lain dibelakang yang membentuknya. Bila jawabannya, "tidak ada yang muncul tanpa sebab", maka mengejar terus hingga ujung "proses bagaimana" dari "yang ADA"  sampai pada sebab, dasar dan faktor paling pangkal, adalah akvitias berfikir kritis.

Aktivitas mental berfikir kritis akan muncul setelah seseorang telah mampu memastikan bahwa dirinya memiliki pengetahuannya cukup, holistik, penuh dan kaya terhadap objek yang akan dikritisnya. Artinya mustahil kehendak untuk berfikir dan bersikap kritis muncul dengan pengetahuan sebagian, tidak utuh, dan dangkal. Karena konsep dasar berfikir kritis adalah kemampuan menyajikan tafsir yang bersifat justifikasi benar salah, baik buruk, indah jelek, muncul setelah seseorang memahami secara utuh, telanjang,holistik, penuh dan mendasar terhadap sebuah objek.

Pertanyaanya,  apakah ada sebuah konsep ide, gagasan, kebendaan, wujud, kenampakan yang benar benar dipahami secara utuh, holistik, telanjang, menyeluruh, penuh dan mendasar oleh manusia, sehingga menjadi alasan konkret baginya untuk bersikap kritis menentukan justifikasi benar-salah, baik-buruk atau indah-jelek? Sepertinya tidak bisa dipastikan juga. Mengingat betapa terbatasnya manusia terhadap pengetahuan tentang di luar dirinya.

Namun satu hal yang mungkin masih bisa menjadi alasan bagi seseorang menempatkan sikap kritis dengan tepat, yakni pada apa yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia tidak mungkin, bahkan mustahil, memilki objek lain yang patas dikritisi, selain dirinya sendiri. Dan atas dasar itu pula, manusia sepertinya mustahil tidak mampu memahami dirinya sendiri.

****

Lalu refleksi? Konsep itu bermakna sebagai tatacara komunikasi yang karakternya mengarah pada satu komunikator saja yang berbicara pada dirinya sendiri. Refleksi bisa disebut sebagai cara berkomunikasi mandiri dengan dirinya sendiri, secara intrapersonal. Seseorang yang berfikir refleksi, ia tengah berfikir tentang dirinya sendiri, tentu dapat dipastikan aktivitas berfikir itu melibatkan proses-proses komunikasi; ada bahasa, ada objek yang dibahasakan. Namun poin pentingnya adalah komunikasi itu berlangsung dengan dirinya sendiri.

Refleksi kritis. Adalah aktivitas intrapersonal dengan maksud menggali lebih dalam, lebih jauh, lebih utuh dari hakikat tentang hal yang sedang dipertanyakan, dengan suatu tujuan tertentu yang hanya mampu dipahami oleh dirinya sendiri. Refleksi kritis, sepertinya tidak dapat disangsikan akan tiba pada ujung, transedensi, dirinya dengan Tuhannya. Jika benar-benar sampai disana, dan manusia sampai pada ujung penemuannya, maka dirinya sudah dapat dipastikan berhenti berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kini manusia memiliki komunikan baru yakni dengan Tuhannya. Dari sini refleksi kritis bisa diartikan sebagai komunikasi intrapersonal yang (dalam fase tertentu) menempatkan atau menjadikan Tuhan sebagai komunikan, bahkan sekaligus komunikator didalam diri manusia. Bagaimana bisa sampai pada kualitas komunikasi intrapersonal semacam itu? Apa modalnya? Siapa saja yang bisa sampai disana?

****

Kualitas komunikasi intrapersonal semacam itu adalah cerminan dari kematangan mentalitas diri individu. Kematangan mental itu diperoleh bisa melalui fase tumbuhkembang diri. Pertumbuhan fisik sejalan dengan berkembangnya mental psikis seseorang. Semakin tumbuh fisiknya maka, dapat diperkirakan kematangan mental juga semakin nampak. Kendati hal itu bukan menjadi hukum kausalitas yang baku. Karena satu dan lain hal faktor penyebab, tak jarang mentalitas tak kunjung nampak, kendati pertumbuhan fisik terus berlangsung menua. Begitu juga sebaliknya, tak dapat dipastikan pula, bila fisik yang tak bertumbuh seperti seharusnya, bukan menjadi cerminan mentalitas psikis yang mandek. Lalu kematangan mental yang disebut sebagai cerminan kualitas komunikasi intrapersonal seperti apa?

Kematangan mentalitas diri yang membuahkan kecenderungan diri manusia untuk mampu meregulasi diri menyesuaikan dengan kebutuhan ruang dan waktu realitas hidupnya. Semacam muncul kamampuan regulasi diri dan kesadaran diri untuk mampu berfikir secara holistik dan komprehensif terhadap suatu fenomena, mampu bersikap arif terhadap segala bentuk situasi yang melibatkan orang lain dan mampu berperilaku sesuai dengan kaidah nilai, moral, aturan yang menjadi kesepakatan kontrak sosial bersama orang lain.

Namun kesadaran diri dalam kualitas komunikasi intrapersonal tersebut bertujuan untuk munculnya koreksi atau introspeksi terhadap apa yang ada dalam diri dengan suatu prinsip dasar falibilistik. Sebuah prinsip berfikir yang menempatkan anggapan bahwa manusia memiliki kemungkinan salah. Prinsip falibislitik ini diharapkan mampu menjadi acuan sekaligus tatacara seseorang bisa sampai pada tingkat kematangan mentalitas diri sehingga memiliki kualitas komunikasi intrapersonal. Manusia akan mendasarkan mentalitas diri dalam segala tindak tanduk kehidupannya untuk berfikir secara kritis dengan melakukan koreksi dan introspeksi.

Tentu dampak yang diharapkan bukan untuk memunculkan perilaku inferior yang cenderung merusak; minder, benci, malu atau rendah diri. Justru sebaliknya, yang diharapkan adalah senantiasa sadar bahwa manusia tak pernah lepas dari kesalahan, dan kesalahan itu disadari bukanlah hal mustahil untuk diperbaiki terus menerus dimasa yang akan datang.

Agama dan serba serbi perilaku ritual peribadatannya sebenarnya menjadi sistem komunikasi yang memfasilitasi manusia dengan Tuhan atau penciptanya untuk mendebat diri sendiri secara reflektif kritis. Dengan suatu kesadaran bahwa selama hidup didunia berkalang berkah dan kenikmatan rahman rahim Tuhan masih saja diselewengkan dengan berbuat aniaya, maksiat atau hal negatif lainnya. Ibadah sejatinya, perilaku mendebat diri dengan begitu keras; kritis-reflektif, semacam bentuk kesadaran diri tentang adanya hal lan yang lebih baik, namun mansuia sadar belum bisa mencapainya, oleh karena itu manusa akan senantiasa menuju dan menggapai kebaikan itu.

Orang yang beribadah, apapun jenis simbol manifestasi ketuhanannya, seperti halnya Mbah Katmi dan para warga yang berusia senja sepantarannya, yang tak surut semangat sholat jamaahnya. Esensi ibadahnya adalah mengakui diri masih terdapat kesalahan dan akumulasi dosa dihadapan-Nya. Esensi atas pengakuan "rasa bersalah dan berdosa" itu sebenarnya mendahului motif-motif apapun yang muncul dari dalam diri manusia; entah motif harapan terkabulnya doa yang sifatnya politis, dianggap alim orang lain sebagai politik pencitraan, motif merasa diri paling suci untuk menempatkan orang lain sebagai paling kafir, dan kepentingan kepentingan materialistik lainnya. Kendati itu semua juga tak bisa langsung disalahkan.

Apakah setiap kita bertamu ke rumah tetangga, orang terpandang di dusun, kepala desa, pemuka adat, harus menempatkan diri sebagai orang yang membawa kebesaran dan rasa superioritas, entah karena lebih punya banyak uang, lebih merasa suci dan alim, atau lebih unggul dalam segi jabatan. Betapa sulit membayangkan, bagaimana cara kita memulai obrolan dengan sang tuan rumah, selain mengawalinya dengan kesombongan demi kesombongan atas segala keunggulan yang kita punyai. 

Sulit juga membayangkan, bagaimana ekpresi sang tuan rumah setelah menyadari bahwa tamunya kali ini sengaja berkunjung ke rumah hanya untuk memamerkan dirinya sendiri dan secara tak langsung merendahkan sosok sang tuan rumah. Apakah kita tidak khawatir sang tuan rumah merasa tersinggung, yang seharusnya menyuguhi para tamu dengan hidangan-hidangan yang memanjakan. Justru kali ini kita "si penamu" harus diusir secara halus dengan alasan sang tuan rumah mendadak ada agenda kegiatan yang tak dapat dibatalkan. Mungkin cara itu agak halus, setidaknya tak membuat kita terlalu curiga bahwa sedang diusir.

Namun bagaimana jika sang tuan rumah, sejak awal kita memasuki ruang tamunya telah disuguhi beraneka macam hidangan dari yang plaing ringan dan renyah hingga hidangan yang paling mengeyangkan seperti nasi lengkap dengan kuwah sayur termasuk lauk pauk, dan buah-buahan sebagai pencuci mulutnya. Tapi sang tuan rumah secara sengaja tidak mau muncul menemui wajah kita "si penamu". Betapa kerasnya, penolakan sang tuan rumah jenis ini, menganggap kita sebagai pengemis yang kelaparan.

Sepertinya tidak ada modal, motif ataupun kepentingan lain dari perilaku ibadah kita saat memasuki rumah Tuhan dan mendekat kepada-Nya, selain membawa sekarung sifat kerendahhatian dan sekeranjang besar rasa bersalah atas dosa-dosa dan perbuatan ingkar yang tiap saat kita perbuat. Apalagi sampai bermotif; menganggap kafir kelompok agama lain hingga menghalalkan darahnya untuk dibunuh. 

Biarkan beban nafsu, keingnan, syahwat, kekarepan, kedengkian, kenaifan, kekejian, yang memberati berlembar lembar isi proposal doamu, tergeletak di halaman depan sang tuan rumah, kita ini sedang bertamu, tak enak kalau bawa terlalu banyak barang bawaan kepentingan. Tujuan kita cuma satu bertemu sang tuan rumah. Siapa tahu hari ini sedang tak berpergian, betapa beruntungnya diri kita berkunjung kemari, dipersilahkan masuk, disuguhi hidangan lezat dan minuman segar yang nikmat.

Apakah Dia akan keluar dari bilik kamarnya untuk menemui kita. Setidaknya persiapkan diri kita terlebih dahulu, usap dulu mulut itu dari sisa cuilan kue dan buah-buah kudapan, basuh dulu pakaian kita yang sempat lusuh karena seharian di jalan, dengan posisi kaki bersilah dan kepala tertunduk kebawah. Dengarkan! Langkah kakinya perlahan berderap perlahan makin nyaring menuju ruang tamu dimana kami dipersilahkan duduk menunggu.

Dia menyapa, menjawab salam kami, menanyakan kabar kondisi kesehatan keluarga; anak, istri, suami, mertua, tetangga kami, mempersilahkan kami melanjutkan mengudap hidangan yang sejak awal kami tiba telah melahapnya nyaris tandas, bersendau gurai menyenangkan hati kami, mengisahkan cerita-cerita yang meringankan luka dan beban kami, menepuk pundak kami, membasuh keringat kami, menyeka air mata kami. 

Sepertinya kita sudah berjam-jam bertamu disini, saatnya berpamitan. Namun betapa beratnya hati begitu juga kaki kami hanya mencoba untuk beranjak. Termasuk betapa sulitnya memilih kata kata untuk memungkasi percakapan dan memohon izin hendak berpamitan. 

Wajah kami kita coba angkat, memberanikan diri menghaturkan ucapan terima kasih selepas itu beranjak. Namun bukan itu yang terjadi; kami justru makin tak kuasa menahan deraian air mata, kami menangis sejadi-jadinya, kami ingin memeluk dan ingin menyeret baju-Nya, menempelkan pada wajah kami, mengusap tangis karena kepedihan dan menyumpal jeritan yang menyesakkan dada dan tak kuasa selama ini kami tahan, sebagai bentuk rasa bersalah atas perbuatan buruk yang selalu membuat kami lupa untuk meminta maaf dan tak mengulangi. Sepertinya hanya itu satu-satunya motif, alasan, dalih dan kepentingan untuk bisa bertamu, memasuki rumah-Mu, menemui-Mu, menangis dihadapan-Mu, merebahkan punggung di karpet lembut ruang tamu-Mu, mengemis ampunan-Mu, merayu-rayu ridhoMu, agar kami bisa bersama-Mu seterusnya, berkunjung kapan saja dan meneguk rahman rahim-Mu dimana saja.

Kini kita tau bagaimana tata caranya bertamu kerumah semesta Tuhan, yang ternyata selama ini ada dalam diri kita. Bukan sekedar beruluk salam, sembari mengetuk pintu, lalu masuk dan duduk di ruang tamu setelah dipersilahkan oleh sang tuan rumah. Namun, pemilihan cara berfikir dan cara bersikap dengan benar, menentukan perlakuan sang tuan rumah (Tuhan) menjamu diri kita (mahkluk-Nya). 

Apakah sekedar dijamu oleh para pelayan rumah dengan diberi suguhan hidangan yang lezat, nikmat dan menyegarkan, namun tanpa pernah sama sekali ditemui oleh Sang Tuan Rumah. Atau cukup dengan Sang Tuan Rumah menyambut kita sejak memasuki pelataran rumahnya yang luas, dengan obrolan panjang lebar; gurauan, menanyakan kabar, dan bertukar cerita tentang masa lalu yang menyenangkan, memilukan dan memalukan. Kendati suguhan yang tersaji cuma secangkir kopi hitam anyep kebanyakan air yang telah dingin oleh asyiknya obrolan. 

Mau pilih yang mana?

Jika engkau belum punya ilmu, hanya prasangka

Maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.

Jika engkau hanya mampu merangkak,

Maka merangkaklah kepadaNya.

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,

tetaplah persembahkan doamu yang kering, munarik, tanpa keyakinan itu.

 Karena Tuhan dengan rahmatnya akan tetap menerima mata uang palsumu itu

(Kitab Rubaiyat, Jalaluddin Rumi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun