Kematangan mentalitas diri yang membuahkan kecenderungan diri manusia untuk mampu meregulasi diri menyesuaikan dengan kebutuhan ruang dan waktu realitas hidupnya. Semacam muncul kamampuan regulasi diri dan kesadaran diri untuk mampu berfikir secara holistik dan komprehensif terhadap suatu fenomena, mampu bersikap arif terhadap segala bentuk situasi yang melibatkan orang lain dan mampu berperilaku sesuai dengan kaidah nilai, moral, aturan yang menjadi kesepakatan kontrak sosial bersama orang lain.
Namun kesadaran diri dalam kualitas komunikasi intrapersonal tersebut bertujuan untuk munculnya koreksi atau introspeksi terhadap apa yang ada dalam diri dengan suatu prinsip dasar falibilistik. Sebuah prinsip berfikir yang menempatkan anggapan bahwa manusia memiliki kemungkinan salah. Prinsip falibislitik ini diharapkan mampu menjadi acuan sekaligus tatacara seseorang bisa sampai pada tingkat kematangan mentalitas diri sehingga memiliki kualitas komunikasi intrapersonal. Manusia akan mendasarkan mentalitas diri dalam segala tindak tanduk kehidupannya untuk berfikir secara kritis dengan melakukan koreksi dan introspeksi.
Tentu dampak yang diharapkan bukan untuk memunculkan perilaku inferior yang cenderung merusak; minder, benci, malu atau rendah diri. Justru sebaliknya, yang diharapkan adalah senantiasa sadar bahwa manusia tak pernah lepas dari kesalahan, dan kesalahan itu disadari bukanlah hal mustahil untuk diperbaiki terus menerus dimasa yang akan datang.
Agama dan serba serbi perilaku ritual peribadatannya sebenarnya menjadi sistem komunikasi yang memfasilitasi manusia dengan Tuhan atau penciptanya untuk mendebat diri sendiri secara reflektif kritis. Dengan suatu kesadaran bahwa selama hidup didunia berkalang berkah dan kenikmatan rahman rahim Tuhan masih saja diselewengkan dengan berbuat aniaya, maksiat atau hal negatif lainnya. Ibadah sejatinya, perilaku mendebat diri dengan begitu keras; kritis-reflektif, semacam bentuk kesadaran diri tentang adanya hal lan yang lebih baik, namun mansuia sadar belum bisa mencapainya, oleh karena itu manusa akan senantiasa menuju dan menggapai kebaikan itu.
Orang yang beribadah, apapun jenis simbol manifestasi ketuhanannya, seperti halnya Mbah Katmi dan para warga yang berusia senja sepantarannya, yang tak surut semangat sholat jamaahnya. Esensi ibadahnya adalah mengakui diri masih terdapat kesalahan dan akumulasi dosa dihadapan-Nya. Esensi atas pengakuan "rasa bersalah dan berdosa" itu sebenarnya mendahului motif-motif apapun yang muncul dari dalam diri manusia; entah motif harapan terkabulnya doa yang sifatnya politis, dianggap alim orang lain sebagai politik pencitraan, motif merasa diri paling suci untuk menempatkan orang lain sebagai paling kafir, dan kepentingan kepentingan materialistik lainnya. Kendati itu semua juga tak bisa langsung disalahkan.
Apakah setiap kita bertamu ke rumah tetangga, orang terpandang di dusun, kepala desa, pemuka adat, harus menempatkan diri sebagai orang yang membawa kebesaran dan rasa superioritas, entah karena lebih punya banyak uang, lebih merasa suci dan alim, atau lebih unggul dalam segi jabatan. Betapa sulit membayangkan, bagaimana cara kita memulai obrolan dengan sang tuan rumah, selain mengawalinya dengan kesombongan demi kesombongan atas segala keunggulan yang kita punyai.Â
Sulit juga membayangkan, bagaimana ekpresi sang tuan rumah setelah menyadari bahwa tamunya kali ini sengaja berkunjung ke rumah hanya untuk memamerkan dirinya sendiri dan secara tak langsung merendahkan sosok sang tuan rumah. Apakah kita tidak khawatir sang tuan rumah merasa tersinggung, yang seharusnya menyuguhi para tamu dengan hidangan-hidangan yang memanjakan. Justru kali ini kita "si penamu" harus diusir secara halus dengan alasan sang tuan rumah mendadak ada agenda kegiatan yang tak dapat dibatalkan. Mungkin cara itu agak halus, setidaknya tak membuat kita terlalu curiga bahwa sedang diusir.
Namun bagaimana jika sang tuan rumah, sejak awal kita memasuki ruang tamunya telah disuguhi beraneka macam hidangan dari yang plaing ringan dan renyah hingga hidangan yang paling mengeyangkan seperti nasi lengkap dengan kuwah sayur termasuk lauk pauk, dan buah-buahan sebagai pencuci mulutnya. Tapi sang tuan rumah secara sengaja tidak mau muncul menemui wajah kita "si penamu". Betapa kerasnya, penolakan sang tuan rumah jenis ini, menganggap kita sebagai pengemis yang kelaparan.
Sepertinya tidak ada modal, motif ataupun kepentingan lain dari perilaku ibadah kita saat memasuki rumah Tuhan dan mendekat kepada-Nya, selain membawa sekarung sifat kerendahhatian dan sekeranjang besar rasa bersalah atas dosa-dosa dan perbuatan ingkar yang tiap saat kita perbuat. Apalagi sampai bermotif; menganggap kafir kelompok agama lain hingga menghalalkan darahnya untuk dibunuh.Â
Biarkan beban nafsu, keingnan, syahwat, kekarepan, kedengkian, kenaifan, kekejian, yang memberati berlembar lembar isi proposal doamu, tergeletak di halaman depan sang tuan rumah, kita ini sedang bertamu, tak enak kalau bawa terlalu banyak barang bawaan kepentingan. Tujuan kita cuma satu bertemu sang tuan rumah. Siapa tahu hari ini sedang tak berpergian, betapa beruntungnya diri kita berkunjung kemari, dipersilahkan masuk, disuguhi hidangan lezat dan minuman segar yang nikmat.
Apakah Dia akan keluar dari bilik kamarnya untuk menemui kita. Setidaknya persiapkan diri kita terlebih dahulu, usap dulu mulut itu dari sisa cuilan kue dan buah-buah kudapan, basuh dulu pakaian kita yang sempat lusuh karena seharian di jalan, dengan posisi kaki bersilah dan kepala tertunduk kebawah. Dengarkan! Langkah kakinya perlahan berderap perlahan makin nyaring menuju ruang tamu dimana kami dipersilahkan duduk menunggu.