Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cara Bertamu ke Rumah Tuhan

5 Oktober 2018   22:38 Diperbarui: 8 Oktober 2018   20:28 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah berbicara tentang term-term tersebut dalam dimensi yang lebih intim (tak terlalu ribet membutuhkan tafsir yang sarat akan prosedural teknis, tak terlalu susah membutuhkan data-data empiris, tak terlalu memusingkan membutuhkan kecocokan logika data nas kitab suci dengan realitas) didalam ruang yang paling dekat, paling mesra dan paling privat, yakni di dalam diri kita sendiri.

Refleksi kritis. Kata Kritis mungkin lazim kita dengar memiliki relasi dengan aktivitas mental manusia; berfikir. Tentu tak menafikkan, kata "kritis" sering diplesetkan; apakah ada yang sedang sakit hingga kritis. Namun asosiasi kata kritis yang akan kita gunakan, adalah pada konsep kritis dalam kaitannya dengan aktivitas mental, berfikir.

Kritis sebagai salah satu bentuk metode berfikir yang hendak memastikan apakah "yang ada" entah apapun rupanya; konsep, gagasan, ide, slogan, benda, opini, teori dan sebagainya, benar-benar tersaji sebagai sesuatu yang utuh, semata-mata tanpa sebab-sebab, tanpa faktor-faktor, atau tanpa dasar-dasar lain dibelakang yang membentuknya. Bila jawabannya, "tidak ada yang muncul tanpa sebab", maka mengejar terus hingga ujung "proses bagaimana" dari "yang ADA"  sampai pada sebab, dasar dan faktor paling pangkal, adalah akvitias berfikir kritis.

Aktivitas mental berfikir kritis akan muncul setelah seseorang telah mampu memastikan bahwa dirinya memiliki pengetahuannya cukup, holistik, penuh dan kaya terhadap objek yang akan dikritisnya. Artinya mustahil kehendak untuk berfikir dan bersikap kritis muncul dengan pengetahuan sebagian, tidak utuh, dan dangkal. Karena konsep dasar berfikir kritis adalah kemampuan menyajikan tafsir yang bersifat justifikasi benar salah, baik buruk, indah jelek, muncul setelah seseorang memahami secara utuh, telanjang,holistik, penuh dan mendasar terhadap sebuah objek.

Pertanyaanya,  apakah ada sebuah konsep ide, gagasan, kebendaan, wujud, kenampakan yang benar benar dipahami secara utuh, holistik, telanjang, menyeluruh, penuh dan mendasar oleh manusia, sehingga menjadi alasan konkret baginya untuk bersikap kritis menentukan justifikasi benar-salah, baik-buruk atau indah-jelek? Sepertinya tidak bisa dipastikan juga. Mengingat betapa terbatasnya manusia terhadap pengetahuan tentang di luar dirinya.

Namun satu hal yang mungkin masih bisa menjadi alasan bagi seseorang menempatkan sikap kritis dengan tepat, yakni pada apa yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia tidak mungkin, bahkan mustahil, memilki objek lain yang patas dikritisi, selain dirinya sendiri. Dan atas dasar itu pula, manusia sepertinya mustahil tidak mampu memahami dirinya sendiri.

****

Lalu refleksi? Konsep itu bermakna sebagai tatacara komunikasi yang karakternya mengarah pada satu komunikator saja yang berbicara pada dirinya sendiri. Refleksi bisa disebut sebagai cara berkomunikasi mandiri dengan dirinya sendiri, secara intrapersonal. Seseorang yang berfikir refleksi, ia tengah berfikir tentang dirinya sendiri, tentu dapat dipastikan aktivitas berfikir itu melibatkan proses-proses komunikasi; ada bahasa, ada objek yang dibahasakan. Namun poin pentingnya adalah komunikasi itu berlangsung dengan dirinya sendiri.

Refleksi kritis. Adalah aktivitas intrapersonal dengan maksud menggali lebih dalam, lebih jauh, lebih utuh dari hakikat tentang hal yang sedang dipertanyakan, dengan suatu tujuan tertentu yang hanya mampu dipahami oleh dirinya sendiri. Refleksi kritis, sepertinya tidak dapat disangsikan akan tiba pada ujung, transedensi, dirinya dengan Tuhannya. Jika benar-benar sampai disana, dan manusia sampai pada ujung penemuannya, maka dirinya sudah dapat dipastikan berhenti berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kini manusia memiliki komunikan baru yakni dengan Tuhannya. Dari sini refleksi kritis bisa diartikan sebagai komunikasi intrapersonal yang (dalam fase tertentu) menempatkan atau menjadikan Tuhan sebagai komunikan, bahkan sekaligus komunikator didalam diri manusia. Bagaimana bisa sampai pada kualitas komunikasi intrapersonal semacam itu? Apa modalnya? Siapa saja yang bisa sampai disana?

****

Kualitas komunikasi intrapersonal semacam itu adalah cerminan dari kematangan mentalitas diri individu. Kematangan mental itu diperoleh bisa melalui fase tumbuhkembang diri. Pertumbuhan fisik sejalan dengan berkembangnya mental psikis seseorang. Semakin tumbuh fisiknya maka, dapat diperkirakan kematangan mental juga semakin nampak. Kendati hal itu bukan menjadi hukum kausalitas yang baku. Karena satu dan lain hal faktor penyebab, tak jarang mentalitas tak kunjung nampak, kendati pertumbuhan fisik terus berlangsung menua. Begitu juga sebaliknya, tak dapat dipastikan pula, bila fisik yang tak bertumbuh seperti seharusnya, bukan menjadi cerminan mentalitas psikis yang mandek. Lalu kematangan mental yang disebut sebagai cerminan kualitas komunikasi intrapersonal seperti apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun