Mengapa akun ini memilih cara mempersekusi orang-orang yang dianggap berseberangan dengan kelompok politiknya? Tentu saja karena kemampuannya sebatas bisa melakukan itu. Ia tidak bisa menyanggah opini lain dengan opini berdasar sesuai data dan fakta.
Di samping itu, kecenderungan masyarakat kekinian yang minat bacanya rendah lebih suka menanggapi satu isu secara reaksional dengan mengedepankan emosi daripada logika. Kecenderungan semacam ini yang dimanfaatkan dengan baik oleh akun-akun diduga anonim semacam ini untuk adu domba. Mereka tahu betul kalau warganet kekinian mudah diprovokasi.
Mengapa mereka suka adu domba? Karena bagi keyakinannya, dengan demikian kelompoknya lebih mudah mendapatkan simpati publik yang emosionalnya sudah berhasil diaduk-aduk. Semakin banyak publik yang bersimpati maka semakin besar peluang meraih kepentingannya.
Belakangan fenomena adu domba yang membuat media sosial gaduh semakin marak. Pola semacam ini yang kemudian mengilhami gerakan-gerakan persekusi di dunia nyata. Masyarakat yang dianggap berseberangan dipersekusi habis sampai ditelusuri latar belakang kehidupan pribadinya di media sosial lalu didatangi di dunia nyata. Sebagian juga ada yang berujung laporan ke polisi. Inilah yang membuat warganet berpikir ulang untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka.
Uniknya lagi, informasi yang disampaikan hanya sepotong-potong. Yang tentu saja maknanya jauh berbeda dari informasi utuh. Masih ingat kasus Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang divonis menistakan agama? Kasus ini awalnya bergulir dari sepotong video yang disebarkan di media sosial. Bagaimana agar tidak terjebak dalam informasi yang menyesatkan? Sebaiknya utamakan menelusuri kebenaran informasi yang disampaikan sebelum berkomentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H