Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kartu Kuning Jokowi, Representasi Gerakan Mahasiswa "Zaman Now"?

4 Februari 2018   18:47 Diperbarui: 4 Februari 2018   19:13 3118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan mahasiswa 98 barangkali menjadi yang terbesar sepanjang sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Para mahasiswa dari berbagai daerah yang sudah mulai jengah dengan pemerintahan kala itu berbondong-bondong unjuk rasa di Jakarta. 

Setelah melalui perjuangan panjang, mereka pada akhirnya berhasil menduduki gedung DPR/MPR dan memaksa Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998 setelah 32 memimpin. Meskipun keberhasilan ini harus dibayar mahal dengan gugurnya belasan mahasiswa setelah bentrok dengan aparat.

Perjuangan mahasiswa ini mengakhiri Orde Baru yang berganti menjadi Orde Reformasi dengan sistem demokrasi yang telah kita nikmati sampai kini. Sebenarnya bukan kali ini saja gerakan mahasiswa turut andil dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Pada 1966 gerakan mahasiswa juga berhasil memaksa mundur Presiden Soekarno. 

Namun sayang, gerakan mahasiswa yang seringkali tanpa dibarengi konsep matang arah tujuan bangsa setelah berhasil menggulingkan pemerintahan ditunggangi sekelompok militer. Pangkostrad Mayjen Soeharto kemudian menggantikan Soekarno sebagai presiden setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (1966).

Ironisnya, Soeharto setelah menjabat presiden pada masa orde baru ini memimpin dengan gaya militer yang otoriter. Masyarakat sulit mendapatkan kebebasan berekspresi. Termasuk gerakan mahasiswa yang dibungkam. 

Menteri Pendidikan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef pada 1978 mengeluarkan surat keputusan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Dengan terbitnya surat ini, kampus harus steril dari aktivitas organisasi kemahasiswaan. Kalau nekat maka siap saja dipecat sebagai mahasiswa oleh kampus yang telah diintervensi pemerintah.

Keputusan ini dikeluarkan setelah maraknya gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan orde lama pada 1966. Sejak saat itu kaderisasi organisasi mahasiswa seperti Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tumbuh subur. Mahasiswa jadi sering mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak tepat dengan berunjuk rasa.

Misal saja kampanye mahasiswa agar masyarakat golput saat Pemilu 1971. Penolakan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Sampai puncaknya malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Mahasiswa yang berunjuk rasa menolak dominasi modal asing saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta terlibat bentrok dengan aparat hingga beberapa tewas.

Setelah tumbangnya Orde Baru, gerakan mahasiswa perlahan semakin memudar. Meskipun sejak era reformasi tidak ada lagi kebijakan seperti NKK, pergerakan mahasiswa tidak semasif dahulu. Barangkali karena karena cita-cita mahasiswa sudah terakomodasi pada masa reformasi ini. Di samping itu perkembangan zaman juga menyebabkan mahasiswa lebih berpikir pragmatis dan aksi unjuk rasa turun jalan kekinian tidak lagi zamannya.

Aksi unjuk rasa turun jalan pada dasarnya adalah salah satu cara yang menjadi cara terakhir mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi. Unjuk rasa sebenarnya bentuk caper (cari perhatian) ketika semua langkah penyampaian aspirasi sesuai saluran dan aturan tidak didengar. Melalui unjuk rasa diharapkan aspirasi yang ingin mereka sampaikan didengar pemerintah. Apalagi kalau jumlah massa besar dan disertai suasana chaos.

Kekinian seiring perkembangan zaman, aksi unjuk rasa turun jalan sudah mulai  dianggap usang. Unjuk rasa bukan lagi sarana tepat dalam menyampaikan aspirasi agar cepat didengar. Sejak beberapa tahun terkahir, penyampaian aspirasi secara terbuka telah bergeser dari turun jalan ke media sosial seiring semakin mudahnya masyarakat mengakses internet. 

Berasipirasi di media sosial nyatanya dianggap lebih efektif dan efisien. Tak perlu mengumpulkan banyak massa di jalan, aspirasi sudah bisa diketahui pemegang kebijakan. Bahkan dari media sosial, telah banyak lahir kebijakan-kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, minat mahasiswa kekinian untuk aktif dalam organisasi pergerakan semakin menurun. Mereka cenderung lebih suka berhimpun sesuai minat bakat yang lebih praktis. Misal saja fotografi, film, musik, wisata, kuliner dan sebagainya. Tren kekinian mahasiswa lebih suka berkecimpung dalam industri kreatif daripada pergerakan. Melalui industri kreatif, mahasiswa tidak saja dapat merasakan kepuasan karena bisa menyalurkan minat bakat, tetapi juga bisa mendapat uang. Keuntungan ganda bisa didapat.

Meski begitu pergerakan mahasiswa tetap ada peminatnya. Namun bagi aktivis gerakan mahasiswa kekinian, aksi unjuk rasa turun jalan bukan lagi prioritas. Mereka lebih cenderung banyak membaca buku, berdiskusi, menulis tulisan mendalam tentang satu isu, lalu mengunggah di website dan menyebarkannya di media sosial. Cara ini dianggap jauh lebih efektif mengkritik dan memberikan solusi kepada penguasa sekaligus mengedukasi masyarakat dibandingkan aksi turun jalan.

Sebagian kelompok mahasiswa ada yang memilih turun langsung mendampingi masyarakat sembari menunggu peran pemerintah. Misal saja membentuk bank sampah di lingkungan sekitar untuk mengatasi permasalahan sampah. Mengajar anak-anak miskin atau membentuk komunitas peduli orang miskin.

Di tengah perubahan tren gerakan mahasiswa kekinian, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa melakukan aksi yang menghebohkan saat Presiden Joko Widodo pidato sambutan dalam acara Dies Natalis UI ke 68 di Balairung UI, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2/2018).

Ia yang mendapat kehormatan duduk sebagai salah satu hadirin yang mendengarkan pidato tetiba meniup peluit lalu berdiri sembari mengangkat buku bersampul kuning. Paspampres kemudian mengajaknya keluar gedung agar tidak mengganggu jalannya acara. Belakangan diketahui buku yang dianalogikan kartu kuning itu berisi tulisan tiga tuntutan yang salah satunya tentang kasus gizi buruk di pedalaman Asmat, Papua.

Aksi Zaadit ini sebenarnya salah satu upaya caper sebagaimana tujuan aksi unjuk rasa di jalan. Melalui aksi itu diharapkan Presiden mengetahui apa yang ingin disampaikannya. Namun kalau melihat fakta di pemberitaan, apa yang dilakukan aktivis KAMMI yang berafiliasi dengan parpol PKS ini tidak elok. 

Jubir Presiden, Johan Budi mengungkapkan, Presiden Joko Widodo sebenarnya telah menyediakan waktu untuk bertemu BEM UI yang ingin menyampaikan aspirasi sesuai acara. Namun panitia Dies Natalis UI kemudian meniadakan agenda itu menyusul insiden kartu kuning.

Aksi caper itu sebenarnya baru elok dilakukan kalau sebagai cara terakhir, setelah semua cara formal dilakukan tetapi tidak berhasil. Namun Zaadit caper justru sebelum cara formal penyampaian aspirasi dilakukannya. Memang cara ini bisa dikatakan berhasil karena aksinya ini diberitakan luas di media. Presiden akhirnya juga menanggapi dengan berencana mengajak BEM UI ke Asmat untuk mengetahui permasalahan yang terjadi sekaligus membantu masyarakat.

Namun secara substansial, aksi Zaadit biasa dikatakan gagal. Kalau saja dirinya memilih jalan bertemu Presiden, maka akan banyak yang bisa disampaikan. Mereka bisa saling bertukar pikiran sekaligus menyumbang pikiran dan memberikan solusi bagi permasalahan bangsa. 

Sebaliknya dengan aksi kartu kuning itu, yang ada hanya kegaduhan belaka. Beritanya beredar luas tetapi sumbangan pemikiran maupun solusi tidak utuh sampai ke Presiden.

Apa yang dilakukan Zaadit bukanlah representasi mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang tahu cara menyampaikan aspirasi secara elegan. Ia tidak lebih dari sekadar pemuda labil yang terpilih sebagai Ketua BEM UI karena kekinian minat mahasiswa untuk berorganisasi semakin menurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun