Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Legenda Gunung Kawi, Kisah Mbah Djoego yang Religius dan Suka Menolong

4 Februari 2018   06:06 Diperbarui: 4 Februari 2018   07:51 3873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Pesona Gunung Kawi 2017. Dinas Pariwisata Malang.

Dahulu kala, di Pulau Jawa pada tahun 1825 terjadi perang antara rakyat yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Perang Jawa atau juga dikenal Perang Diponegoro ini berakhir pada tahun 1930 setelah Pangeran Diponegoro tertangkap pasukan Belanda. Sebagian pasukan Diponegoro yang selamat menyelamatkan diri dengan berpencar, termasuk Kiai Zakaria II.

Konon ia salah satu pasukan inti Pangeran Diponegoro. Ia adalah anak Kiai Zakaria, ulama dari Kerajaan Mataram dengan nama lain Raden Mas Soeryokoesomo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo cucu Paku Buwono I.

Kiai Zakaria II memilih mengembara seorang diri sembari menyebarkan agama Islam. Ia berjalan kaki selama bertahun-tahun mulai dari Yogyakarta, Sleman, Nganjuk, Bojonegoro sampai Blitar. Dalam setiap perjalanannya, ia sering menolong orang-orang yang membutuhkan tanpa melihat latar belakang suku atau agamanya. Baginya setiap orang yang kesusahan wajib ditolong.

Pada suatu hari, di tengah perjalanannya, ia berjumpa dengan seorang wanita Tionghoa yang sedang hamil tua. Wanita itu bercerita kalau sudah beberapa lama tidak bertemu suaminya yang pergi ke Cina. Sebelum melahirkan ia ingin menyusul sang suami ke Cina agar kelak anaknya tahu siapa ayahnya. Namun uangnya tak cukup untuk ongkos naik kapal.

"Sudilah kakek menolong. Saya ingin anak dalam kandungan ini tahu siapa ayahnya. Kelak kami tidak akan melupakan kebaikan kakek," kata wanita itu.

"Saya hanya bisa memberikan ini, semoga cukup membantumu. Pergilah nak, supaya anakmu bisa segera bertemu ayahnya," ucap Kiai sembari memberikan beberapa keping uang yang nominalnya banyak sisa bekal dari Mataram.

Ia kembali melanjutkan perjalanan setelah wanita itu dengan perasaan haru mengucap rasa terimakasih. Pengembaraan Kiai Zakaria II berakhir di tepi Sungai Brantas di Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Ia berjumpa dengan seorang warga setempat bernama Tasiman yang menanyakan asal-usulnya. Tidak ingin jati dirinya terkuak karena khawatir keberadaannya diketahui Belanda, ia menjawab, "Kulo niki sajugo (Saya ini sendirian)". Tasiman mengira nama lelaki separuh baya itu Jugo. Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Mbah Djoego atau Eyang Djoego.

Pada suatu hari, desa itu terkena wabah penyakit menular hingga banyak penduduk yang mati. Mbah Djoego berusaha mengobati warga yang sakit dengan ramuan jamu buatannya sembari berdoa dan upayanya berhasil. Warga menyanjungnya tetapi ia bersikap rendah diri. "Semua ini berkat pertolongan Tuhan, saya sebagai manusia biasa hanya sebagai perantara yang memohon melalui doa," ucap Mbah Djoego.

Kabar kehebatan Mbah Djoego yang mampu menyembuhkan penyakit menyebar luas hingga banyak orang yang datang untuk berguru dan masuk Islam. Raden Mas Iman Soedjono, cicit Hamengku Buwono I yang juga muridnya semasa di Mataram tidak luput mendengar kabar itu.

"Kami di Mataram mendengar kabar tentang seorang kakek sakti yang berhasil sembuhkan warga dari wabah penyakit menular. Kami yakin itu guru karena itu saya kemarin ingin menyusul. Masih banyak ilmu yang perlu saya pelajari. Izinkanlah saya ikut guru," ujar Soedjono sembari sungkem di kaki Mbah Djoego.

Permintaan itu dijawab Mbah Djoego dengan anggukan sembari meminta muridnya kembali berdiri. Sejak saat itu warga setempat tahu siapa sebenarnya Mbah Djoego. Mereka kemudian begitu menghormatinya dan banyak yang menjadi muridnya.

Pada suatu hari Mbah Djoego mendapatkan firasat tentang kematiannya dan sesuai petunjuk ia harus dimakamkan di lereng Gunung Kawi Malang. Ia lantas meminta tolong Soedjono dan sejumlah warga pergi ke gunung untuk babat alas. "Tolong buatkan saya satu liang kuburan di sana. Kalian bisa tinggal di sekitar sana kelak bersama anak cucu," kata Mbah Djoego.

Rombongan pun segera berangkat dengan pimpinan Ki Wonosari. Selesai babat alas, mereka kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan. Di situ seluruh rombongan berunding dan disepakati nama tanah babatan itu Dusun Wonosari yang diambil dari nama pimpinan rombongan.

Pada hari Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1817 M, Mbah Djoego wafat. Jenasahnya dibawa dari Dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk dimakamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung Kawi, kemudian tiba di Gunung Kawi pada hari Rabu Wage malam, dan dimakamkan pada hari Kamis Kliwon pagi. Pada hari Rabu Kliwon tahun 1876 Masehi, R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur.

Beberapa puluh tahun kemudian, seorang pria Cina bernama Ta Kie Yam atau Pek Yam datang ke makam Mbah Djoego di Gunung Kawi. Konon pria itu anak wanita Tionghoa yang pernah ditolongnya. Ia diminta ibunya mencari Mbah Djoego yang telah berjanji dalam hatinya untuk membalas kebaikan kakek yang pernah menolongnya. Namun sayangnya, Mbah Djoego telah tiada. Pek Yam kemudian memutuskan mengabdikan dirinya untuk tinggal di situ merawat makam Mbah Djoego. Kedatangannya juga memberi manfaat bagi warga sekitar dengan membangun jalan menuju ke makam.

Konon keimanan Mbah Djoego semasa hidup yang kuat menjadikannya sebagai perantara doa yang baik kepada Tuhan. Sekalipun ia sudah meninggal. Banyak kisah kesaksian orang-orang yang doanya terkabul setelah berdoa di makamnya. Baik doa memohon kelimpahan rezeki, kesehatan, jodoh dan segala permohonan lainnya. Kesaksian kisah ini membuat makam banyak dikunjungi orang dari berbagai agama yang ingin berdoa.

Sejak adanya makam Mbah Djoego yang dirawat Pek Yam, Gunung Kawi di Malang, Jawa Timur ramai dikunjungi orang yang ingin berziarah. Namun seiring perkembangan, banyak orang yang gagal paham dalam berdoa. Orang-orang yang datang meyakini dengan berdoa di makam Mbah Djoego bakal mendatangkan kekayaan. Gunung Kawi kemudian lebih dikenal dengan tempat pesugihan. Fenomena ini tentu saja menyimpang dari kepribadian Mbah Djoego semasa hidup yang religius dan suka menolong siapapun yang membutuhkan.

Cerita ini termasuk Legenda karena merupakan prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Cerita ini memberi pelajaran kepada kita untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Setiap perbuatan baik pasti akan mendatangkan kebaikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Setiap orang kesusahan wajib untuk ditolong tanpa melihat suku atau agamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun