Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disangka LGBT Ternyata Bukan

1 Januari 2018   19:35 Diperbarui: 1 Januari 2018   21:12 1418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian dari kita barangkali pernah memiliki kolega pria tetapi feminim atau wanita tetapi maskulin. Kalau pria feminim seringkali kita menjuluki terkadang setengah mengolok dengan sebutan banci, sedangkan wanita feminim biasa disebut tomboi. Nah, kedua tipe ini dalam kehidupan bermasyarakat seringkali menjadi sasaran bullying, terutama yang banci.

Tanpa merasa tahu perasaannya, bahkan kita sendiri entah sadar atau tidak merasa puas saja ketika mem-bully-nya. Seakan mereka layak menerima perlakuan itu atas perilaku "menyimpangnya". Kita tanpa segan menghakimi bahwa teman yang feminim itu salah. Bagi banyak orang, pria ya harus maskulin sebaliknya wanita ya harus feminim. Bukan malah sebaliknya.

Seringkali pula kita merasa risih atau bahkan jijik ketika harus berdekatan dengan mereka. Tanpa sadar pula kita juga akan menyangkan kalau teman pria feminim atau banci itu berorientasi seks gay. Sebaliknya teman wanita yang maskulin itu lesbian. Itulah barangkali salah satu alasan mengapa orang lebih suka menjaga jarak dengan orang-orang yang berperilaku tidak sesuai kodratnya.

Mereka juga bertanya mengapa seakan dilahirkan berjiwa wanita yang terperangkap dalam tubuh pria. Begitu pula dengan wanita tomboi. Segigih apapun mereka bersama orang terdekatnya berusaha merubahnya akan sulit juga karena memang demikianlah jiwanya. Namun tanpa peduli perjuangannya untuk menjadi manusia normal sebagian dari kita justru lebih suka mengoloknya.

Padahal banci belum tentu gay. Seorang banci itu ada yang terbentuk sedari lahir ada yang dipengaruhi faktor lingkungan. Misalnya seringnya bergaul dengan wanita. Namun banci tidak selalu gay. Memang ada yang menyukai sesama jenis, tapi tidak semuanya. Ada yang secara fisik gemulai, namun masih tertarik secara seksual kepada wanita. Dia memilih untuk tertarik dengan lawan jenis dan mengikuti norma yang berlaku di masyarakat, baik itu norma agama maupun norma sosial. Begitupula dengan wanita tomboi sama saja tidak selalu lesbian.

Kalau ada banci atau tomboi berperilaku menyimpang itu salah satunya karena stigma negatif yang diberikan masyarakat. Seringkali dijumpai kasus banci yang merasa putus asa karena dituntut harus maskulin oleh keluarganya merasa putus asa lalu kabur dari rumah. Mereka lalu memutuskan untuk menjadi waria penjaja seks di jalanan. Kalau saja lingkungan sekitarnya memperlakukan dia sewajarnya barangkali dia tidak akan seperti itu.

Sementara itu, seiring perkembangan zaman kecurigaan tentang orang-orang dengan orientasi seks lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) semakin tinggi. Jangankan pria feminim yang disangka gay atau wanita maskulin yang disangka lesbian. Kini pria terlihat mesra dengan sesama pria juga dicurigai sebagai gay. Begitupula wanita dengan wanita. Padahal perilaku mesra tidak harus dilakukan karena perasaan asmara saja.  Kemesraan juga bisa ditujukan sebagai ekspresi kasih sayang kepada sesama saudara atau sahabat. Namun otak kita telah terkontruksi bahwa orang yang bermesraan itu identik dengan hubungan asmara.

Beberapa waktu lalu media sosial kembali heboh dengan ulah seorang ibu yang mengunggah video dua pria sedang bercengkrama di atas sepeda motor di akun Facebooknya. Sri Mulyani, nama ibu itu, di dalam video tampak menegur dua pria itu, lalu salah satu pria mengatakan kalau mereka bersaudara, tetapi si ibu tidak bergeming. Di unggahannya bahkan Sri menghakimi kalau kedua pria itu pasangan gay dan membuatnya risih.

Sontak unggahan itu menjadi viral. Apalagi momennya bertepatan dengan isu yang sedang ramai diperbincangkan tentang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LBGT) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penolakan permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Warganet yang sebagian besar kontra LGBT karena dianggap tidak sesuai dengan norma kesusilaan tanpa tahu sebabnya terpancing unggahan provokatif Sri dan lantas beramai-ramai menghakimi kedua pria itu. Belakangan muncul unggahan dari akun lain yang mendaku kenal dengan dua pria yang berisi klarifikasi. Akun-akun itu menjelaskan kalau kedua pria itu kakak beradik yang sudah lama tidak bertemu. Keduanya terlihat bercengkerama mesra sebagai ekspresi rindu setelah sekian lama tidak saling bertemu.

Unggahan viral itu juga berdampak negatif bagi keduanya hingga takut keluar rumah karena begitu masifnya penghakiman masyarakat. Lebih parah lagi sang ibu keduanya sakit setelah kasus tersebut. Belakangan Sri melalui akun Facebooknya meminta maaf karena telah salah duga hingga merugikan orang lain.

Sri adalah salah satu potret masyarakat Indonesia kekinian yang trennya lebih suka ingin tahu urusan orang lain. Melandaskan diri dengan budaya ketimuran ditambah religiusitas seakan merasa lebih benar dan akan bersikap reaksioner ketika melihat orang lain berperilaku berbeda. Ia akan langsung menghakimi lalu menilainya sebagai perilaku menyimpang.

Kekinian perilaku mesra sesama jenis baik antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita dinilai lebih tabu dengan hubungan antara lawan jenis. Ini karena sebagian masyarakat termakan isu tentang LGBT. Mereka langsung beranggapan kalau lelaki bergandengan tangan, cium pipi kanan kiri, bercengkerama mesra atau berfoto akrab berdua dengan sesama lelaki sebagai gay.

Begitupula ketika wanita dengan sesama wanita. Namun untuk wanita masih lebih mending karena banyak toleransi penilaian ketika bermesraan untuk dituding sebagai lesbian. Padahal tidak ada jaminan hanya karena melihat dengan pandangan mata saja kalau pria mesra dengan sesama pria itu gay atau wanita dengan sesama wanita itu lesbian. Bisa jadi keduanya bersaudara atau sahabat akrab. Fenomena semacam ini kemudian membuat saudara atau sahabat tidak leluasa mengekspresikan kasihnya untuk menghindari label sebagai LGBT yang dianggap begitu nista.

Begitupula maraknya pemberitaan negatif mengenai aib LGBT juga merekonstruksi pola pikir masyarakat bahwa pria mesra dengan pria direpresentasikan sebagai pasangan gay. Padahal nyatanya tidak. Namun masyarakat yang pola pikirnya telah terkontruksi tetap meyakini kalau pria dengan pria itu gay meskipun nyatanya bukan. Seperti Sri Mulyani yang meyakini dua pria sedang bermesraan sebagai gay lalu dengan percaya diri mengunggahnya di media sosial. Meskipun pria yang sedang bermesraan dengan pria itu nyatanya kakak beradik yang sedang melepas rindu. Pokoknya pria mesra dengan pria itu gay.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun