Di dalam promosi mungkin dijelaskan bahwa toko melayani pesanan semua kue dan juga memberikan pelayanan penulisan ucapan, tetapi nyatanya dalam pesanan tertentu ada yang ditolak.
Barangkali Lanny tidak akan kecewa kalau saja Chocolicous mensosialisasikan melalui promosi dan sebagainya bahwa toko kuenya tidak melayani pemesanan kue atau ucapan selamat Natal. Ia akan berlalu dan mencari toko lain yang menyediakan pelayanan pemesanan yang sesuai untuk kebutuhannya.Â
Kalau sudah begitu pemilik toko dapat menjalankan bisnisnya berdasarkan prinsip agama dengan bahagia dan konsumen tidak akan merasa dikecewakan.
Permasalahan semacam ini sebenarnya jauh hari sudah diatur melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang perlindungan konsumen. Di dalam Pasal 4 yang mengatur hak dan kewajiban konsumen, poin c berbunyi kalau konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.Â
Pada Pasal 7 poin a menyebutkan kalau pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.Â
Di dalam Pasal 8 juga pelaku usaha dilarang menjual barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan dan promosi.
Begitupula dalam kasus rental komputer di Blora, Jawa Tengah yang menolak pengetikan undangan Natal. Pemilik usaha sebagai warga negara memang berhak menjalankan prinsip agamanya. Namun sebaiknya juga harus memberikan informasi yang jelas dan jujur melalui promosi bahwa pelayanan pengetikan mengenai agama hanya ditujukan untuk agama Islam.Â
Kita bisa apa kalau pelayanan konsumen untuk agama selain Islam ditolak dengan alasan prinsip agama. Meskipun dalam UU perlindungan konsumen Pasal 7 poin c disebutkan kalau pelaku usaha wajib memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Selama ini memang tidak ada larangan pelaku usaha berbisnis berdasarkan prinsip agama. Namun perlu diingat bahwa mereka tidak boleh abai dengan perlindungan konsumen.Â
Konsumen yang kecewa sebenarnya bisa saja menggugat dan pelaku usaha yang melanggar Undang-undang perlindungan konsumen bisa dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda sampai Rp 2 miliar. Sekalipun alasannya prinsip agama karena tidak memberikan informasi yang jelas dan jujur, apalagi sampai diskriminatif.
Kasus semacam ini sebenarnya sama saja dengan jaminan produk halal bagi umat Islam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam Undang-undang itu diatur kalau umat Islam berhak mendapatkan barang atau jasa yang terjamin kehalalannya, terutama dengan pemberian label halal pada kemasan.Â