Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toko Kue Enggan Bikin Ucapan Natal, Melanggar UU Perlindungan Konsumen?

25 Desember 2017   11:10 Diperbarui: 2 Januari 2018   20:36 3430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko kue Chocolicous di Makassar. | Inikata.com

Belakangan kembali ramai di media sosial perbincangan mengenai pemilik tempat usaha yang menolak melayani konsumen tentang segala hal terkait ucapan selamat Natal. Penolakan ini dilakukan berdasarkan prinsip agama dianut yang melarang ucapan tersebut.

Salah satunya manajemen toko kue Chocolicous di Makasar yang menolak permintaan konsumen untuk menulis ucapan selamat Natal di kue yang dipesan.

Seperti diberitakan detik.com, seorang konsumen bernama Lanny Serestyen Fransiska ingin memesan kue untuk merayakan Natal. Ia pun meminta toko kue itu untuk menuliskan kalimat 'Selamat hari natal keluargaku'. Namun permintaan konsumen yang sebenarnya bagian dari pelayanan toko kue itu ditolak dengan alasan prinsip agama.

Manajemen toko melalui akun Instagramnya kemudian mengklarifikasi bahwa peristiwa itu benar adanya. Mereka tidak bisa melayani karena harus menjalankan prinsip agama. 

Sembari meminta maaf, sebagai gantinya mereka menyediakan kartu ucapan selamat untuk ditulis sendiri oleh konsumennya. Meski berbisnis dengan berprinsip pada satu agama, manajemen toko tetap melayani pembelian dari konsumen semua agama dan tentu saja mendapatkan laba dari situ.

Masih diberitakan detik.com, akun Facebook Lexyyoltuwu berbagi pengalaman ketika mendapatkan penolakan untuk menulis undangan Natal di rental komputer di Blora, Jawa Tengah. Alasannya sama, tentang prinsip agama. Pemilik rental komputer itu menolak melayani segala hal tentang lima agama yang diakui di Indonesia terkecuali Islam.

Sebagai bangsa bermartabat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang mengakui enam agama di Indonesia, tentunya sebagai sesama warga negara saling menghargai apabila ada warga negara yang menjalankan prinsip agama yang dianutnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk ketika menjalankan bisnisnya.  

Namun pelaku usaha yang memiliki bisnis baik di bidang penjualan barang atau penyedia jasa seringkali abai, tidak tahu atau mungkin sudah tahu tapi tidak mau tahu mengenai perlindungan konsumen.

Pelaku usaha banyak yang menjalankan prinsip agamanya dalam berbisnis tetapi tidak memberikan informasi yang jelas. Bisnis tidak saja mengenai seberapa banyak pelaku usaha mendapatkan keuntungan. Melainkan juga tentang hak dan kewajiban konsumen mengenai barang dan jasa yang dibelinya dengan uang.

Lanny mungkin saja sebelum membeli kue Natal tidak tahu kalau pemilik toko Chocolicous menjual kue dengan prinsip agama karena sebelumnya tidak ada informasi mengenai itu. Ia tanpa ragu memesan kue selayaknya konsumen umumnya. 

Berikut dia meminta dituliskan ucapan pada kuenya sebagaimana bagian dari pelayanan yang disediakan toko. Namun dia sebagai konsumen justru kecewa karena ketika meminta dituliskan ucapan selamat Natal ditolak dengan alasan prinsip agama. 

Di dalam promosi mungkin dijelaskan bahwa toko melayani pesanan semua kue dan juga memberikan pelayanan penulisan ucapan, tetapi nyatanya dalam pesanan tertentu ada yang ditolak.

Barangkali Lanny tidak akan kecewa kalau saja Chocolicous mensosialisasikan melalui promosi dan sebagainya bahwa toko kuenya tidak melayani pemesanan kue atau ucapan selamat Natal. Ia akan berlalu dan mencari toko lain yang menyediakan pelayanan pemesanan yang sesuai untuk kebutuhannya. 

Kalau sudah begitu pemilik toko dapat menjalankan bisnisnya berdasarkan prinsip agama dengan bahagia dan konsumen tidak akan merasa dikecewakan.

Permasalahan semacam ini sebenarnya jauh hari sudah diatur melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang perlindungan konsumen. Di dalam Pasal 4 yang mengatur hak dan kewajiban konsumen, poin c berbunyi kalau konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 

Pada Pasal 7 poin a menyebutkan kalau pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 

Di dalam Pasal 8 juga pelaku usaha dilarang menjual barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan dan promosi.

Begitupula dalam kasus rental komputer di Blora, Jawa Tengah yang menolak pengetikan undangan Natal. Pemilik usaha sebagai warga negara memang berhak menjalankan prinsip agamanya. Namun sebaiknya juga harus memberikan informasi yang jelas dan jujur melalui promosi bahwa pelayanan pengetikan mengenai agama hanya ditujukan untuk agama Islam. 

Kita bisa apa kalau pelayanan konsumen untuk agama selain Islam ditolak dengan alasan prinsip agama. Meskipun dalam UU perlindungan konsumen Pasal 7 poin c disebutkan kalau pelaku usaha wajib memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Selama ini memang tidak ada larangan pelaku usaha berbisnis berdasarkan prinsip agama. Namun perlu diingat bahwa mereka tidak boleh abai dengan perlindungan konsumen. 

Konsumen yang kecewa sebenarnya bisa saja menggugat dan pelaku usaha yang melanggar Undang-undang perlindungan konsumen bisa dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda sampai Rp 2 miliar. Sekalipun alasannya prinsip agama karena tidak memberikan informasi yang jelas dan jujur, apalagi sampai diskriminatif.

Kasus semacam ini sebenarnya sama saja dengan jaminan produk halal bagi umat Islam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam Undang-undang itu diatur kalau umat Islam berhak mendapatkan barang atau jasa yang terjamin kehalalannya, terutama dengan pemberian label halal pada kemasan. 

Sama saja dengan umat Islam, umat lima agama lain juga berhak mendapatkan jaminan pelayanan mendapatkan barang atau jasa sesuai kebutuhan dalam menjalankan ritual agamanya meskipun belum diatur dalam Undang-undang khusus seperti Jaminan Produk Halal.

Lantas bagaimana solusinya? Seperti disebutkan di atas bahwa pelaku usaha berhak menjalankan prinsip agamanya dalam berbisnis asal memberikan informasi yang jelas dan jujur atas pelayanan barang atau jasa. 

Pelaku bisa saja menulis keterangan di tokonya, misal saja "Toko Kue Khusus Islam" dan "Tidak Melayani Ucapan Natal" atau "Tidak Melayani Konsumen Selain Agama Islam" dan sejenisnya. Meskipun terdengar diskriminatif tetapi itu jujur karena prinsip agamanya sendiri memang demikian. Itu lebih baik daripada tidak memberi keterangan tetapi praktiknya justru diskriminatif.

Keterangan seperti ini juga sama saja dengan label halal pada toko atau kemasan yang menjelaskan bahwa barang atau jasa tersebut terjamin kehalalannya. 

Meskipun halal bukan berarti tidak boleh dikonsumsi umat agama selain Islam. Jangan sampai konsumen dibuat kecewa karena ketidakjelasan informasi yang didapatkannya sebelum memutuskan membeli barang atau menggunakan jasa. 

Asal kita tahu bersama konsumen ketika membeli barang atau jasa menggunakan uang pribadinya. Jangan sampai proses pertukaran uang dengan barang atau jasa itu tidak setara. Semoga baik pelaku usaha maupun konsumen saling berbahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun