Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ikatan Dinas Membuat Pesepak Bola Tidak Berkembang?

16 Desember 2017   21:02 Diperbarui: 17 Desember 2017   10:55 3274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain dan ofisial Bhayangkara FC merayakan gelar juara Liga 1 2017 | bola.kompas.com

Masyarakat Indonesia terutama pecinta sepak bola tentunya masih ingat euforia timnas sepak bola menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 silam. Di bawah asuhan pelatih Indra Sjafri, Evan Dimas dan kolega-kolega tampil superior sepanjang laga hingga mengalahkan Vietnam melalui adu penalti di partai final. Gelar juara ini tercatat dalam sejarah sebagai yang pertama kalinya berhasil diraih.

Publik menggadang-gadang para pemain yang masih berusia tidak lebih 19 tahun sebagai cikal bakal pemain timnas senior hebat di masa mendatang. Namun harapan itu ternyata hanyalah mimpi. 

Wacana untuk mengumpulkan mereka dalam satu klub yang berlaga di Liga Indonesia agar kekompakan tim tetap terjaga usai gelaran turnamen tidak pernah terealisasi. Para pemain yang kala itu banyak diminati klub-klub memilih jalan masing-masing untuk menapaki karir sebagai pesepak bola profesional.

Alih-alih performanya meningkat, sebagian dari mereka justru meredup sebelum usia keemasannya sebagai pesepak bola. Ketika usia sudah bertambah hanya sebagian saja yang kembali memperkuat timnas untuk U-23. Satu alasan mengapa mereka tidak berkembang karena telah berada di dalam zona nyaman sebagai pesepakbola. 

Sebagian dari mereka yang banyak diminati klub, terutama pemain yang tampil gemilang sepanjang turnamen akhirnya memutuskan bergabung dengan klub-klub yang berafiliasi dengan institusi negara seperti PS TNI dan Bhayangkara FC.

Tidak sulit bagi kedua klub ini untuk mendapatkan pemain yang masih tunas muda ini. Atas nama negara dan nasionalisme, para pemain yang masih polos dapat dengan mudah dibujuk. 

Apalagi dalam perjalanannya mereka juga diimingi bisa menjadi anggota TNI atau Polri ketika membela klub tersebut. Tawaran menggiurkan ini membuat mereka bergeming. Bayangan meraih kesuksesan masa depan di usia yang masih sangat muda ada di depan mata. Menjalani profesi sebagai TNI dan Polri sekaligus tetap bisa bermain sepak bola. Apalagi kedua profesi itu menjadi idaman banyak masyarakat Indonesia yang harus bekerja keras untuk mendapatkannya.

Mimpi idealis menjadi pesepakbola hebat yang dapat mengharumkan nama bangsa dipinggirkan dahulu. Dogma-dogma yang ditanamkan bahwa dengan menjadi TNI atau Polri sama saja bisa membela negara membuat mereka lebih berpola pikir pragmatis. 

Mereka tidak perlu ngotot berlatih sepak bola karena begini saja mereka sudah anggota TNI Polri yang mendapat gaji bulanan sampai jaminan hari tua. 

Sebuah jaminan masa depan yang belum tentu didapatkan ketika hanya fokus menjalani profesi pesepakbola. Ketika jadi pesepak bola mereka bisa saja cedera lalu tidak bisa melanjutkan karirnya, atau di atas usia 35 tahun masih bingung mau ngapain.

Eks pemain timnas sepak bola yang memilih menjalani ikatan dinas cukup banyak. Di Bhayangkara FC di antaranya M Hargianto, Putu Gede Juni Antara, M Sahrul Kurniawan, M Fatchurohman, Maldini Pali, Wahyu Setiawan, Mukhlis Hadi Ning dan Antony yang diangkat menjadi anggota Polri berpangkat Brigadir Remaja Polri penugasan kesatuan lalu lintas Polda Jatim. 

Sementara di PS TNI ada Ravi Murdianto, Teguh Aminudin, Manahati Lestusen, Abduh Lestaluhu, Safri Al Irfandi, Ahmad Nufiandani, Wawan Febiyanti dan Muhammad Dimas Drajat yang diangkat menjadi Bintara TNI-AD.

Memang ada beberapa cara menjadikan pesepak bola yang dianggap berprestasi menjadi anggota TNI. Dilansir dari detik.com, mereka bisa mengikuti tes melalui program Calon Bintara (Caba) Unggulan. 

Program ini merupakan jalur khusus bagi orang-orang berprestasi atau dari bidang profesi yang diperlukan. Begitupula di Bhayangkara FC, pesepak bola yang akan dijadikan anggota Polri terlebih dahulu menempuh pendidikan kepolisian.

Mungkin saja ada tujuan mulia di balik kebijakan merekrut atlet berprestasi termasuk pesepakbola menjadi anggota TNI Polri. Dengan kebijakan itu kedua institusi bisa dikatakan cukup memperhatikan nasib atlet sekaligus memberdayakan potensinya. Namun kalau dicermati, dibandingkan kelebihan, kebijakan ini justru lebih dominan kekurangannya. 

Salah satunya konsentrasi pemain yang menjalani ikatan dinas tidak bisa terfokus sebagai pesepak bola. Mereka harus membaginya dengan menjalankan tugas dan tanggung jawab untuk institusinya. Itulah mungkin yang membuat mereka tidak bisa mengembangkan sepakbolanya. Apalagi ikatan dinas itu juga mengikat mereka untuk terus bermain di klub yang berafiliasi dengan institusi tempatnya bekerja.

Berbeda dengan pemain profesional lain yang dikontrak setiap musim, mereka seakan dikontrak sepanjang masa. Para pemain ini bisa saja membela klub lain asalkan diizinkan manajemen, tetapi tidak bisa permanen karena bisa ditarik sewaktu-waktu dengan alasan panggilan tugas kedinasan. Pemahaman tentang sepak bola akhirnya bergeser bahwa membela klub sama dengan tugas dinas bos!

Sebenarnya pesepak bola yang menjalani ikatan dinas tidak saja ditemui di PS TNI dan Bhayangkara FC saja. Persipura mengapa selama ini pemainnya banyak didominasi putra daerah karena sebagian dari mereka telah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Jayapura. 

Sebut saja Ricardo Salampessy,  Boaz Solossa atau Ferinando Pahabol. Dengan status itu mereka tidak bisa sekenanya meninggalkan Jayapura untuk bergabung dengan klub lain karena memiliki tanggung jawab sebagai PNS yang tidak bisa ditinggalkan.

Memang tidak semua pesepak bola yang punya keterikatan dinas bermain buruk. Persipura yang sebagian pemainnya berstatus PNS hampir setiap kompetisi berada di papan atas bahkan klub itu peraih juara Liga Indonesia terbanyak. 

Persipura juga pernah sampai semifinal di ajang AFC Cup 2013 lalu. Di samping itu, pemain juga ada rasa memiliki ketika membela klub asal daerahnya sendiri sehingga bermainnya lebih bersemangat.

Namun kalau berbicara masa depan sepak bola rasanya kebijakan ikatan dinas bagi pesepak bola berprestasi justru menjadi hambatan. Potensi pemain tidak akan berkembang dan mentok begitu-begitu saja. 

Mengingat untuk menjadi pesepak bola harus memiliki banyak jam terbang yang bisa diperoleh dengan banyak bermain di klub-klub lain di kompetisi atau turnamen yang berbeda-beda. Kalau cuma membela satu klub apalagi baru beberapa saat keluar membela klub lain tapi sudah dipanggil berdinas kembali maka tidak bisa berkembang.

Kalau ingin sepak bola maju lebih berfaedah kalau kebijakan-kebijakan ikatan dinas semacam itu dihapuskan saja. Mengingat hanya akan membuat mental pemain berpola pikir pragmatis asal nyaman saja tanpa berani menghadapi tantangan. Apapun itu semua juga terserah kepada pesepakbola yang bersangkutan. Kalau mereka ingin masa depan yang aman lebih baik ikut program beginian saja. 

Namun tidak semua pesepakbola demikian. Evan Dimas Darmono dan Ilham Udin Armain pernah menolak tawaran dijadikan anggota Polri ketika membela Bhayangkara FC dengan alasan ingin mengembangkan talenta sebagai pesepakbola. Kini keduanya telah hengkang dari klub itu dan membela salah satu klub yang berkompetisi di Liga Malaysia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun