Mahdi Romzuz Zaki (14) merasa cemas ketika melihat kenyataan sungai di sekitar rumahnya di Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang tercemar limbah cair hasil pengolahan marning. Sudah sejak lama daerah tempat tinggalnya dikenal sebagai sentra produksi makanan ringan berbahan olahan jagung itu. Tujuh pabrik marning sudah berdiri selama tiga generasi di sekitar rumahnya. Selain marning siap konsumsi pabrik-pabrik itu juga menghasilkan limbah cair dari proses perendaman jagung.
Pabrik-pabrik itu memproduksi marning dari mulai jagung sampai marning siap konsumsi. Sebagian juga ada yang diolah setengah matang lalu selanjutnya dibeli dan diolah warga di rumah masing-masing untuk dijual sebagai cemilan.Â
Namun pabrik-pabrik itu tidak memiliki tempat penampungan sehingga limbah langsung dibuang ke sungai. Sedikitnya setiap hari 16.000 liter limbah cair dibuang di sungai dengan cara dialirkan melalui pipa-pipa. Melihat itu Zaki cemas karena limbah-limbah itu dapat merusak ekosistem sungai. Mengingat limbah itu memiliki kadar power of hydrogen (pH) atau kadar keasaman yang cukup tinggi.
"Jagung direndam air kapur semalam lalu pagi dikupas kulitnya, air rendaman kulit ini yang dibuang ke sungai. Karena basah berbentuk cair kadar pH-nya tinggi kemungkinan besar bisa merusak ekosistem di sungai," kata Zaki di rumahnya di Jalan Simpang Teluk Bayur Nomor 20, Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Sabtu (9/11/2017).
Melihat kondisi seperti itu, Zaki berinisiatif mengolah limbah cair itu menjadi bioetanol yang menjadi bagian dari biofuel. Ia kemudian mengajak Hafidin Soharun (15), koleganya sesama pegiat ekstra kurikurikuler kelompok ilmiah remaja (KIR) di SMPN 14 Kota Malang tempatnya bersekolah untuk bereksperimen.Â
Ia memulainya dengan peralatan sederhana berupa erlenmeyer yang diberi selang untuk menyuling limbah cair itu. Mulanya limbah yang mengandung banyak karbohidrat itu difermentasi menggunakan asam sitrat untuk menurunkan kadar keasaman dan bakteri sacaromyces yang didapat dari ragi tape. Proses fermentasi itu selama dua pekan untuk menjadi bioetanol lalu disuling.
"Waktu pengupasan kulit (jagung) mengandung karbohidrat kalau difermentasi dari bakteri ragi tape bisa menghasilkan alkohol, seperti tape kalau didiamkan lama-lama kadar alkohol meningkat," ujarnya.
Ia kemudian berhitung dari 16.000 liter limbah cair yang diproduksi tujuh pabrik marning di sekitar rumahnya kalau diolah akan menghasilkan 640 liter bioetanol setiap harinya. Tentu saja jumlah yang banyak dan dapat menjadi potensi sumber energi terbarukan. Potensi dari limbah ini juga menjadi peluang yang menjanjikan. Kini harga bioetanol beralkohol tinggi berkisar Rp 30 ribu per liter. Itu berarti omset yang bisa didapatkan dari limbah ini mencapai Rp 19,2 juta per hari!Â
Kenyataannya uang belasan juta per hari itu selama bertahun-tahun terbuang percuma dan malah mencemari lingkungan. Padahal kalau jeli menangkap peluang, limbah bisa jadi berkah. Bioetanol yang dihasilkan dari limbah marning ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan medis dan sebagai bahan campuran bahan bakar minyak (BBM) kendaraan bermotor seperti bensin yang berbahan baku fosil.
"Bisa buat penghemat bahan bakar kendaraan bermotor dengan dicampur ke bahan bakar yang takaran bioetanolnya tidak lebih dari 25 persen dari keseluruhan bahan bakar," ucapnya.
Namun mimpi remaja ini untuk mengembangkan eksperimennya menjadi produksi masal terbentur regulasi pemerintah yang mengharuskan produksi bioetanol harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat dengan biaya yang mencapai Rp 60 juta. Mengingat bioetanol memiliki kadar alkohol yang berpotensi disalahgunakan kalau tidak dalam pengawasan.
"Inginnya mengembangkan dan bisa produksi masal tapi biaya gak ada. Ini saja alat untuk penelitian saya beli dari uang juara II lomba Rp 900 ribu. Belum lagi kalau produksi masal itu alatnya destilasi untuk penyulingan bisa sampai ratusan juta," ungkapnya.
Sementara itu, Indonesia menargetkan pada 2025 sebanyak 15 persen bioetanol dapat menggantikan penggunaan bensin. Pada 2006 lalu Kementerian Pertanian RI melakukan penelitian tentang penggunaan limbah jagung menjadi biofuel. Dari laporan penelitian itu disebutkan kalau limbah jagung cukup potensial digunakan sebagai salah satu energi terbarukan. Namun perlu kajian mendalam lagi agar hasilnya dapat lebih maksimal.
Di Kabupaten Malang sendiri hasil panen jagung surplus 100.000 ton pada 2016 lalu. Setiap tahunnya panen jagung di kabupaten ini mencapai 300.000 ton dari 35 hektar lahan yang merupakan salah satu panen jagung terbesar di Jawa Timur. Sebanyak 60 persen hasil panen jagung digunakan untuk makanan ternak dan sebagian sisanya untuk bahan makanan.Â
Dengan melimpahnya hasil panen itu cukup potensial apabila limbah jagung dimanfaatkan untuk biofuel setelah buahnya dimanfaatkan untuk produksi makanan dan pakan ternak. Namun itu masih perlu penelitian lebih mendalam agar hasil dan keuntungan yang diperoleh lebih maksimal. (lugas wicaksono)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H