Namun mimpi remaja ini untuk mengembangkan eksperimennya menjadi produksi masal terbentur regulasi pemerintah yang mengharuskan produksi bioetanol harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat dengan biaya yang mencapai Rp 60 juta. Mengingat bioetanol memiliki kadar alkohol yang berpotensi disalahgunakan kalau tidak dalam pengawasan.
"Inginnya mengembangkan dan bisa produksi masal tapi biaya gak ada. Ini saja alat untuk penelitian saya beli dari uang juara II lomba Rp 900 ribu. Belum lagi kalau produksi masal itu alatnya destilasi untuk penyulingan bisa sampai ratusan juta," ungkapnya.
Sementara itu, Indonesia menargetkan pada 2025 sebanyak 15 persen bioetanol dapat menggantikan penggunaan bensin. Pada 2006 lalu Kementerian Pertanian RI melakukan penelitian tentang penggunaan limbah jagung menjadi biofuel. Dari laporan penelitian itu disebutkan kalau limbah jagung cukup potensial digunakan sebagai salah satu energi terbarukan. Namun perlu kajian mendalam lagi agar hasilnya dapat lebih maksimal.
Di Kabupaten Malang sendiri hasil panen jagung surplus 100.000 ton pada 2016 lalu. Setiap tahunnya panen jagung di kabupaten ini mencapai 300.000 ton dari 35 hektar lahan yang merupakan salah satu panen jagung terbesar di Jawa Timur. Sebanyak 60 persen hasil panen jagung digunakan untuk makanan ternak dan sebagian sisanya untuk bahan makanan.Â
Dengan melimpahnya hasil panen itu cukup potensial apabila limbah jagung dimanfaatkan untuk biofuel setelah buahnya dimanfaatkan untuk produksi makanan dan pakan ternak. Namun itu masih perlu penelitian lebih mendalam agar hasil dan keuntungan yang diperoleh lebih maksimal. (lugas wicaksono)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H