Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kemerdekaan LGBT sebagai Manusia Marjinal

12 Agustus 2017   19:08 Diperbarui: 13 Agustus 2017   12:45 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak habis pikir mereka segawat itu ribut-ribut soal komunitas gay. Padahal itu masih berupa grup facebook di media sosial yang belum jelas kebenarannya. Wujud mahasiswa gay saja mereka masih belum lihat. Namun amarah mereka sudah membara.

Padahal kalaupun benar ada mahasiswa gay tidaklah sesuatu yang salah pula. Secara hukum di Indonesia, gay atau homoseksual atau pria suka pria atau pedang-pedangan dan LGBT secara luas itu tidak jelas diatur. Hukum Indonesia tidak melegalkan hubungan sesama jenis tetapi juga tidak melarangnya selagi mereka berpacaran. Kalau mereka mau menikah, baru itu tidak diakui, bisa saja dilarang, karena Pasal 1 UU Perkawinan 1974 menyebut kalau perkawinan itu dilakukan oleh pria dengan wanita, tidak untuk pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

LGBT baru dilarang kalau mereka masih di bawah umur, atau sudah cukup umur berhubungan dengan anak di bawah umur. Mereka juga dilarang mencabuli atau memperkosa di bawah umur atau sudah cukup umur sekalipun. Itu sudah perbuatan kriminil. Kalau mereka saling mengasihi, itu belum ada aturannya. Mereka juga bisa dianggap kriminil kalau berkegiatannya mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) seperti pesta seks yang digerebek di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena mereka terlalu berisik, warga terganggu dan melapor ke polisi.

Banyaknya kesamaan lalu menginisiasi mereka para LGBT untuk membuat komunitas. Secara sosiologis ini cukup wajar karena terbentuknya komunitas itu pada dasarnya karena terdapat kesamaan yang membuat anggotanya saling berhubungan. Sama saja dengan komunitas geng motor yang anggotanya disatukan karena sama-sama suka sepeda motor. Namun karena sering mendapatkan penolakan dari masyarakat, komunitas LGBT ini sering beraktivitas secara sembunyi-sembunyi.

Penolakan masyarakat terhadap komunitas LGBT justru bisa membuat mereka semakin anti sosial. Mereka tidak akan percaya lagi dengan masyarakat yang gagal memahami mereka. Akhirnya mereka justru memilih menjaga jarak dengan masyarakat dengan berbagai pertimbangan. Mulai dari rasa tidak percaya, sekadar untuk nyaman saja, dan sampai agar tidak diusik.

Banyak pihak yang menyebut LGBT sebagai penyakit mental. Pendapat ini perlu kita setujui. Permasalahannya kini ketika LGBT sebagai manusia yang berpenyakit mental memiliki kesenjangan hubungan dengan masyarakat yang bermental sehat apakah dapat segera sembuh? Tentu saja jawabnya tidak. Mereka LGBT akan semakin sulit berubah menjadi normal karena semakin merasa sendiri dalam menghadapi problematikanya. Merasa tidak ada pihak lain yang berkenan membantu. Sementara masyarakat sebagai manusia normal bermental sehat justru semakin memberikan tekanan dengan terus menghakimi mereka bahwa LGBT sebagai sikap yang keliru. Ini tidak fair Rangga.

Eksistensi Wargas yang diterima di tengah masyarakat Buleleng patut diapresiasi. Ini membuktikan bahwa Wargas bukanlah bencong seperti sebutan untuk lelaki lemah yang mudah menyerah. Satu bukti pula bahwa masyarakat Buleleng yang didominasi masyarakat pedesaan lebih berpikiran luas tentang hakekat manusia beserta problematikanya. Partisipasi Wargas dalam gerak jalan memperingati hari kemerdekaan juga sebagai bukti. Bahwasanya 17 Agustus adalah hari merdeka bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk kemerdekaan kelompok LGBT yang berhak bebas berekspresi selama masih dalam norma-normal sosial. (lugas wicaksono)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun