Impor kereta bekas yang akan dilakukan anak usaha Kereta Api Indonesia (KAI) menjadi sorotan. Pasalnya, rencana tersebut tiba-tiba dibahas oleh anggota parlemen meskipun praktiknya sudah lama.
KAI Commuter selaku operator kereta rel listrik (KRL) sudah sejak lama mengimpor sarana bekas. Beberapa pertimbangannya antara lain harga terjangkau, sarana andal, dan ada kepastian suku cadang.
Tak jarang, meskipun bekas, keandalan sarana KRL ini diapresiasi oleh penggunanya. Entah darimana asal muasalnya, tiba-tiba impor bekas ini dipermasalahkan oleh parlemen. Yang mana, notabene dari mereka tidak paham urgensi dari impor tersebut. Mereka hanya menekan operator untuk pakai produk dalam negeri buatan Industri Kereta Api (INKA).
Padahal, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan tapi tidak dipahami oleh anggota dewan. Sebelumnya, perlu dipahami bahwa KAI Commuter perlu adanya tambahan sarana dalam waktu dekat. Sebab, sebanyak 29 unit sarananya akan menjalani masa konservasi di tahun ini hingga 2024 mendatang. Artinya, perlu ada penggantinya untuk mengangkut ribuan penumpang di Jabodetabek.
Kalau tidak segera diganti, konsekuensinya adalah pengurangan jadwal perjalanan. Ini akan berimbas pada penumpukan penumpang di stasiun-stasiun. Dalam kondisi normal saja, kondisi "chaos" kerap kali terjadi terutama di jam berangkat dan pulang kerja.
Bayangkan, jika jadwal perjalanan dikurangi, apakah kondisi itu tidak lebih buruk dari biasanya? KAI Commuter ingin agar jangan sampai ada pengurangan perjalanan KRL. Dari satu alasan itu, wajar jika operator plat merah itu ingin segera mendatangkan sarana bekas dari Jepang.
Alasan berikutnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli sarana dari INKA. Biaya untuk mengimpor sarana bekas dari Jepang jauh lebih murah dibandingkan sarana baru dari INKA. Untuk membeli satu kereta bekas dari Jepang, diperlukan biaya sebesar Rp 1,6 miliar. Sedangkan, untuk satu kereta baru dari INKA harganya sekitar Rp 20 miliar.
Satu trainset (rangkaian) KRL kira-kira terdiri atas sepuluh kereta. Sehingga, tinggal kalikan sepuluh saja untuk mengetahui harga satu trainsetnya. Pembelian satu trainset dari Jepang butuh Rp 16 miliar dan satu trainset dari INKA butuh Rp 200 miliar.
Dengan kata lain, satu trainset INKA setara dengan pembelian 12 trainset bekas dari Jepang. Selanjutnya yang jadi pertanyaan, tidak bisakah perusahaan plat merah sekelas KAI membeli? Jawabannya, sangat-sangat bisa tapi dengan beberapa kondisi yang tidak memberatkan perusahaan.
Perlu diketahui, KAI sekarang sedang menanggung beban hidup yang tidak sedikit. Biaya operasional kereta api saja sudah mahal ditambah dengan membiayai ribuan karyawannya. Tapi, karena tugas negara, perseroan itu juga menanggung biaya hidup dua proyek pemerintah. Sebut saja proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dan Lintas Rel Terpadu (LRT) Jabodebek.
Perseroan tentunya akan sangat hati-hati dalam mengeluarkan uang untuk kebutuhan operasional. Penggunaan uang diusahakan seefisien mungkin dan tidak menyebabkan masalah yang berujung kerugian. Kalaupun rugi, pasti nanti parlemen juga ruwet lagi dan mempertanyakan alasan kerugiannya.
Yang jelas KAI dengan INKA saat peresmian workshop di Banyuwangi juga sudah bersepakat. Kesepakatan itu berisi pembelian sarana perkeretaapian dari INKA dengan nominal yang luar biasa. KAI sendiri sudah berkomitmen untuk menggunakan sarana buatan dalam negeri.
Tapi, masalahnya adalah pesanan KAI itu baru disanggupi selesai di tahun 2025. INKA sendiri punya masalah dengan produktivitasnya karena selama ini hanya disokong workshop di Madiun. Padahal, pesanan mereka dari luar negeri sangatlah banyak dan masih dalam tahap pengerjaan.
Sementara, KAI Commuter butuh cepat karena puluhan KRLnya akan segera masuk masa konservasi. Dari sini pasti muncul pertanyaan lain seperti, "Kalau sudah tahu lama, mengapa tidak pesan jauh-jauh hari?" Jawaban dari pertanyaan ini sudah jelas, KAI pasti punya rencana jangka panjang perkeretaapian.
Perseroan pasti sudah mempersiapkan kapan sarananya akan didominasi buatan dalam negeri. Hanya saja, entah darimana dan apa sebabnya, perencanaan tersebut agaknya terganggu dengan adanya hambatan dari parlemen. Di samping itu, ada juga alasan-alasan yang dikemukakan penggunaan KRL soal kualitas sarana.
Banyak yang menilai, sarana bekas Jepang punya kualitas lebih baik dibandingkan buatan dalam negeri. Soal ini, silahkan tanya langsung ke pengguna KRL Jabodetabek dan KRL Yogya-Solo yang pakai sarana buatan INKA. Mereka yang sering pakai KRL pasti lebih paham keunggulan dan kekurangan masing-masing.
Dari penjelasan singkat ini, rasanya masih masuk akal jika operator ngotot memperjuangkan impor sarana bekas. Operator jelas tidak ingin ke-chaos-an di stasiun semakin menggila sebagai akibat dari jumlah sarana yang berkurang. Sayangnya, hal ini tidak dipahami oleh para anggota dewan yang sehari-harinya tidak pakai KRL.
Tentunya ini menyebabkan pengguna KRL jadi kehilangan respect pada anggota dewan. Sebab, karena kepentingan mereka, mobilitas warga Jabodetabek yang bergantung pada KRL malah terhambat.
Itulah sebabnya, polemik impor kereta bekas ini seharusnya dilakukan dengan melihat urgensinya, jangan hanya karena faktor kepentingan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H