Perseroan tentunya akan sangat hati-hati dalam mengeluarkan uang untuk kebutuhan operasional. Penggunaan uang diusahakan seefisien mungkin dan tidak menyebabkan masalah yang berujung kerugian. Kalaupun rugi, pasti nanti parlemen juga ruwet lagi dan mempertanyakan alasan kerugiannya.
Yang jelas KAI dengan INKA saat peresmian workshop di Banyuwangi juga sudah bersepakat. Kesepakatan itu berisi pembelian sarana perkeretaapian dari INKA dengan nominal yang luar biasa. KAI sendiri sudah berkomitmen untuk menggunakan sarana buatan dalam negeri.
Tapi, masalahnya adalah pesanan KAI itu baru disanggupi selesai di tahun 2025. INKA sendiri punya masalah dengan produktivitasnya karena selama ini hanya disokong workshop di Madiun. Padahal, pesanan mereka dari luar negeri sangatlah banyak dan masih dalam tahap pengerjaan.
Sementara, KAI Commuter butuh cepat karena puluhan KRLnya akan segera masuk masa konservasi. Dari sini pasti muncul pertanyaan lain seperti, "Kalau sudah tahu lama, mengapa tidak pesan jauh-jauh hari?" Jawaban dari pertanyaan ini sudah jelas, KAI pasti punya rencana jangka panjang perkeretaapian.
Perseroan pasti sudah mempersiapkan kapan sarananya akan didominasi buatan dalam negeri. Hanya saja, entah darimana dan apa sebabnya, perencanaan tersebut agaknya terganggu dengan adanya hambatan dari parlemen. Di samping itu, ada juga alasan-alasan yang dikemukakan penggunaan KRL soal kualitas sarana.
Banyak yang menilai, sarana bekas Jepang punya kualitas lebih baik dibandingkan buatan dalam negeri. Soal ini, silahkan tanya langsung ke pengguna KRL Jabodetabek dan KRL Yogya-Solo yang pakai sarana buatan INKA. Mereka yang sering pakai KRL pasti lebih paham keunggulan dan kekurangan masing-masing.
Dari penjelasan singkat ini, rasanya masih masuk akal jika operator ngotot memperjuangkan impor sarana bekas. Operator jelas tidak ingin ke-chaos-an di stasiun semakin menggila sebagai akibat dari jumlah sarana yang berkurang. Sayangnya, hal ini tidak dipahami oleh para anggota dewan yang sehari-harinya tidak pakai KRL.
Tentunya ini menyebabkan pengguna KRL jadi kehilangan respect pada anggota dewan. Sebab, karena kepentingan mereka, mobilitas warga Jabodetabek yang bergantung pada KRL malah terhambat.
Itulah sebabnya, polemik impor kereta bekas ini seharusnya dilakukan dengan melihat urgensinya, jangan hanya karena faktor kepentingan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H