Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten dengan wilayah terbesar di Jawa Timur dengan luasnya yang mencapai 5.782,5 km persegi. Meskipun demikian, jumlah penduduknya masih relatif kecil, yaitu hanya sekitar 1,7 juta jiwa berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2020.
Wilayah perkotaan di kabupaten ini setidaknya terpusat di dua titik. Pertama di ibukota kabupaten yaitu di Kecamatan Banyuwangi dan sekitarnya. Kemudian di Kecamatan Genteng dan sekitarnya yang letaknya agak berada di tengah wilayah kabupaten.
Sejak dekade 2010-an, Bupati Banyuwangi saat itu, Abdullah Azwar Anas memulai penataan kabupaten yang dulunya terkenal dengan sihir seperti santet ini. Bupati Anas mengubah wajah Banyuwangi dengan pariwisatanya yang mendunia.
Dampak dari pembangunan yang dilakukan pada era Bupati Anas dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di mana hal ini secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat per kapitanya.
Meskipun banyak pembangunan yang dilakukan, sayangnya transportasi publik masih belum menjadi prioritas di Kabupaten Banyuwangi. Hal ini dibuktikan dengan masih belum adanya perhatian terhadap angkutan kota (angkot) dan prasarananya seperti terminal-terminal yang saat ini kondisinya terus menurun.
Bahkan, transportasi publik eksisting ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat yang lebih memilih menggunakan transportasi pribadi.Â
Dalam jangka pendek, mungkin kondisi ini tidak terlalu terasa, namun bagaimana dengan kondisi jangka panjangnya?
Sudah bisa dipastikan dengan kondisi ekonomi yang meningkat serta pertambahan jumlah penduduk, artinya akan bertambah juga jumlah transportasi pribadi di jalanan.Â
Membludaknya transportasi pribadi di jalanan akan menimbulkan kemacetan, meningkatnya biaya perawatan jalan, serta biaya subsidi bahan bakar yang meningkat.
Kondisi Transportasi Publik Semakin Memprihatinkan
Kondisi transportasi publik yang sudah ada di Kabupaten Banyuwangi semakin memprihatinkan.Â
Dari beberapa terminal besar yang ada di wilayah ibukota dan sekitarnya saja, hanya Terminal Brawijaya saja yang masih terlihat aktivitasnya.
Angkot yang dulunya menjadi pilihan masyarakat dalam bertransportasi, kini kondisinya semakin menurun dan mulai ditinggalkan. Jumlahnya juga terus mengalami penurunan karena sudah tuanya armada angkot yang dimiliki.
Walaupun demikian, transportasi umum lainnya seperti bus antar kota antar provinsi, masih terlihat melayani penumpang yang akan bepergian. Namun, masih perlu penataan yang baik di terminal-terminal agar minat menggunakan transportasi umum ini semakin meningkat.
Punya Stasiun Kereta Api, Bandara, dan Pelabuhan
Transportasi publik lainnya yang sudah dimiliki Kabupaten Banyuwangi adalah kereta api dan pesawat. Saat ini terdapat 1 bandara dan 6 stasiun besar aktif yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Untuk jalur kereta apinya sendiri memang sebagian adalah peninggalan dari Belanda. Hanya jalur dari eks-Stasiun Kabat hingga Stasiun Ketapang saja yang merupakan hasil pembangunan di era orde baru. Bahkan saat ini, sudah ada beberapa jalur peninggalan orde baru yang sudah tidak aktif, seperti jalur Stasiun Ketapang-Meneng.
Sementara itu, untuk jalur peninggalan Belanda seperti jalur eks-Stasiun Kabat hingga Stasiun Banyuwangi lama di wilayah Kelurahan Karangrejo dan tembus hingga eks-Pelabuhan Boom sudah dinonaktifkan sejak adanya jalur baru yang diarahkan ke Ketapang.Â
Jalur lainnya yang diketahui pernah ada seperti jalur Rogojampi-eks-Stasiun Benculuk milik Staatsspoorwegen-Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) sudah dinonaktifkan pada tahun 1976.
Kemudian untuk prasarana seperti bandara, baru diadakan pada era Bupati Ratna Ani Lestari. Namun, karena masa jabatannya yang telah habis, bandara ini kemudian baru terselesaikan di era Bupati Anas.
Bandara ini terletak di Kecamatan Blimbingsari dan pada awalnya, nama bandara tersebut disamakan dengan lokasinya. Namun, kemudian diubah menjadi Bandara Internasional Banyuwangi, sebelum akhirnya kembali statusnya menjadi Bandara Banyuwangi sejak dihentikannya penerbangan internasional dari Kuala Lumpur.
Beberapa maskapai yang beroperasi di Bandara Blimbingsari antara lain Wings Air, Batik Air, dan Citilink. Seluruhnya saat ini hanya difokuskan untuk rute domestik saja, sehingga saat ini pesawat dari dan menuju Banyuwangi hanya melayani perjalanan domestik.
Karena memiliki wilayah laut, Banyuwangi tentunya juga memiliki pelabuhan di Desa Ketapang. Lokasi pelabuhan ini sangat strategis karena dekat dengan Stasiun Ketapang. Tinggal berjalan kaki dari stasiun dan naik kapal, sudah bisa sampai ke Pulau Bali.
Pelabuhan yang dikelola Angkutan Sungai Danau dan Pantai (ASDP) ini bisa dibilang sangat aktif. Hal ini dikarenakan pelabuhan ini adalah tulang punggung transportasi air untuk masyarakat yang akan menuju Pulau Bali dan sebaliknya.
Taksi dan Ojek Daring
Sarana transportasi, selain milik pribadi, yang menjadi pilihan masyarakat saat ini adalah taksi dan ojek berbasis aplikasi daring.Â
Setidaknya sudah ada 2 perusahaan besar baik GoJek maupun Grab yang sudah beroperasi secara penuh di wilayah ibukota.
Baik ojek maupun taksi ini adalah sarana transportasi baru yang ada di Banyuwangi. Sebelumnya, sudah ada ojek maupun taksi yang bukan berbasis aplikasi, di mana proses pemesanannya dilakukan dengan telepon.
Pada akhirnya, masyarakat mulai banyak memilih ke transportasi berbasis aplikasi dan membuat pesaing moda transportasi ini semakin terpinggirkan. Meskipun, moda transportasi ini sangat susah untuk ditemui di jam-jam malam.
Padahal, sampai sekarang masih ada jadwal keberangkatan kereta api di jam subuh dan kedatangan kereta api di waktu hampir tengah malam. Hal ini membuat orang menjadi kesulitan apabila akan tiba atau berangkat dengan kereta api di waktu-waktu tersebut.
Menghidupkan Transportasi Publik
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada kabar yang pasti soal akankah Banyuwangi punya transportasi publik lagi. Utamanya transportasi publik yang nyaman, aman, dapat diandalkan, dan tentunya saling terintegrasi satu dengan yang lainnya.
Sempat terbayang bagaimana jika Banyuwangi, seperti halnya negara-negara maju yang dilengkapi oleh transportasi publik. Di mana, transportasi tersebut dapat digunakan oleh masyarakatnya untuk bepergian. Sekadar berwisata atau menjalankan aktivitas perekonomian tanpa harus memadati jalan raya dengan kendaraan pribadi.
Dengan potensi wisata yang dimiliki serta infrastruktur jalan raya menuju lokasi wisata, Banyuwangi bisa memanfaatkan hal tersebut dengan mempermudah konektivitasnya. Salah satunya dengan menyediakan transportasi umum berupa bus dan prasarananya seperti halte dan terminal.
Bus memiliki kelebihan yaitu dapat menjangkau wilayah-wilayah yang bahkan dinilai sulit ditembus untuk transportasi berbasis rel.Â
Moda transportasi ini juga relatif lebih murah pengadaannya karena sudah tersedianya prasarana seperti jalan raya.
Selain bus, untuk wilayah dalam kota atau wilayah dengan mobilitas penduduk yang cukup tinggi, pemerintah kabupaten dapat meremajakan angkot. Seperti di Jakarta, yang mana ada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang juga mengoperasikan angkot-angkot ini.
Angkot memiliki jadwal yang pasti, diberi fasilitas yang nyaman, dan dikelola secara profesional. Ini akan membantu juga bagi para sopir yang mencari penghasilan dari sektor ini.Â
Bagi penumpang, hal tersebut akan menjadi pertimbangan mereka untuk menggunakan moda transportasi ini dalam bepergian. Jika ada harga yang murah dan tidak perlu repot mengemudi, kenapa tidak?
Apabila punya anggaran lebih dalam pengadaan transportasi berbasis rel, pemerintah juga bisa membangun prasarana baru atau menghidupkan kembali jalur rel yang sudah mati. Namun, hal ini kemungkinan besar akan mahal karena jalur mati sudah banyak dipenuhi oleh hunian permanen.
Namun, jika ada keinginan untuk kenyamanan kota serta mengurangi kepadatan jalan untuk jangka panjang, opsi ini bisa diambil. Jalur mati di Banyuwangi saat ini banyak yang menembus wilayah perkotaan padat penduduk yang mana pusatnya berada di Stasiun Rogojampi.
Tentunya jika diaktifkan kembali, nantinya masyarakat dari wilayah kota, Srono, hingga Benculuk bisa menggunakan kereta api perkotaan dari wilayah itu, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api antara kota dari Rogojampi. Atau masyarakat dari wilayah selatan kabupaten dapat menggunakan kereta api untuk bepergian ke wilayah ibukota.
Transportasi berbasis rel juga bisa dibuat dari Stasiun Rogojampi hingga Bandara Banyuwangi. Keduanya bisa dihubungkan dengan kereta api bandara, seperti halnya yang kini dimiliki oleh Bandara Internasional Adi Soemarmo dan Bandara Internasional Yogyakarta.
Penutup
Dengan potensi wisata dan perekonomian di Kabupaten Banyuwangi, bukan tidak mungkin jika nantinya bakal menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Jawa Timur selain Kota Surabaya dan wilayah Malang Raya. Terutama dengan hadirnya transportasi umum yang saling terkoneksi dan terintegrasi.
Kemudahan dalam bertransportasi akan mendorong aktivitas masyarakat dalam perekonomian. Namun, hal ini juga harus didorong atas dasar kesadaran kebutuhan akan transportasi publik dan adanya keinginan politik dari pemerintahnya dalam pengembangan transportasi publik yang dikelola secara profesional dan saling terintegrasi.
Di samping bermanfaat dalam aktivitas perekonomian maupun mengurangi beban jalan raya, transportasi publik juga dapat mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM).Â
Subsidi dapat dialihkan ke hal lainnya yang lebih produktif bagi pembangunan wilayah di Kabupaten Banyuwangi. Misalnya saja dengan membangun infrastruktur yang ramah bagi aktivitas bepergian dengan transportasi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H