Mengingat, biaya proyeknya juga dibiayai oleh utang, baik utang kepada China Development Bank (CDB) maupun dengan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
Pemerintah Indonesia pada awal proyek sudah bersikeras untuk tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek ini, sehingga menunjuk PSBI yang mendanai.
Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp3,4 triliun kepada Kereta Api Indonesia (KAI) yang saat ini memimpin proyek kereta cepat ini, kemungkinan adalah salah satu upaya penyelamatan pemerintah terhadap proyek ini.Â
Ada 2 kemungkinan yang terjadi apabila pemerintah tidak mengambil keputusan untuk memberikan PMN.
Pertama, proyek kereta cepat yang sudah berjalan 79% ini akan mangkrak. Tentunya ini akan menyebabkan kerugian yang lebih besar lagi, karena proyek mahal ini sama sekali tidak akan menghasilkan keuntungan.Â
Belum lagi, jika prasarana kereta cepat yang sudah dibangun harus dikembalikan seperti semula. Tentunya hal ini akan menambah beban finansial bagi stakeholder yang terlibat dalam proyek ini.
Kedua, proyek akan tetap dilanjutkan dengan tambahan dana pinjaman dari CDB.Â
Hal ini tentunya akan sangat berbahaya, karena CDB di kemudian hari bisa saja meminta jaminan lebih apabila nantinya proyek kereta cepat tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan dan terus menanggung kewajiban utang seperti halnya JNR.Â
Ada spekulasi, CDB bisa saja meminta seluruh aset sarana dan prasarana kereta cepat serta PSBI yang turut membiayai proyek ini sebagai bentuk pelunasan.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, tulisan saya ini hanya dimaksudkan untuk memberikan tambahan pembelajaran dari apa yang pernah terjadi di negara lain. Dalam hal ini Jepang.Â
Tidak ada maksud untuk mengubah prinsip pembaca soal setuju atau tidak setuju soal proyek kereta cepat yang saat ini sedang dibangun.