Hari Perempuan Internasional adalah hari libur global yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 8 Maret sebagai titik fokus dalam gerakan hak-hak perempuan, yang mengarahkan perhatian pada isu-isu seperti kesetaraan gender, hak reproduksi, serta kekerasan dan penyalahgunaan terhadap perempuan. Meskipun demikian, masih banyak perempuan yang menjadi korban berbagai masalah, salah satunya adalah pernikahan dini yang sering kali menyebabkan objektifikasi perempuan.
Pernikahan dini dapat didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum usia 18 tahun. Sayangnya, Indonesia menempati peringkat yang tinggi dalam hal jumlah pernikahan dini di dunia. Menurut data UNICEF, sekitar 16% perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, dan 2% bahkan menikah sebelum ulang tahun ke-15 mereka. Angka ini sangat mengkhawatirkan karena pernikahan dini memiliki konsekuensi yang serius terhadap kehidupan perempuan.
Salah satu dampak yang paling jelas adalah terhadap pendidikan perempuan. Pernikahan dini sering kali menghentikan atau menghambat akses perempuan terhadap pendidikan. Mereka terpaksa meninggalkan sekolah dan tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Akibatnya, mereka memiliki keterbatasan dalam mencapai potensi mereka secara pribadi dan profesional. Pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang dan menciptakan masa depan yang lebih baik, dan dengan adanya pernikahan dini, peluang ini dirampas dari perempuan.
Selain dampak pendidikan, pernikahan dini juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental perempuan. Kehamilan pada usia yang masih sangat muda dapat menyebabkan komplikasi serius dan risiko kesehatan yang lebih tinggi bagi ibu dan bayi. Perempuan yang menikah pada usia dini juga lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan penyalahgunaan. Mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan, keterampilan, atau dukungan yang cukup untuk melindungi diri mereka sendiri. Ini menciptakan siklus perpetuasi ketidaksetaraan gender dan kekerasan dalam masyarakat.
Penyebab pernikahan dini di Indonesia sangat kompleks dan melibatkan faktor-faktor seperti tekanan sosial, tradisi budaya, kemiskinan, dan ketidaksetaraan gender. Kebijakan dan upaya pencegahan yang komprehensif diperlukan untuk menangani masalah ini. Pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk mengubah paradigma yang membenarkan pernikahan dini dan mempromosikan kesetaraan gender serta perlindungan hak-hak perempuan.
Indonesia telah menetapkan batas usia pernikahan melalui Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Awalnya, batas usia perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, kemudian batas usia tersebut direvisi menjadi 19 tahun bagi kedua belah pihak. Perubahan ini didasarkan pada pemahaman bahwa perbedaan usia perkawinan menyebabkan ketidaksetaraan gender dan diskriminasi gender. Selain itu, pemerintah memberikan dispensasi bagi mereka yang ingin menikah di bawah usia 19 tahun. Permohonan dispensasi harus diajukan ke pengadilan. Artinya, pasangan yang masih di bawah umur hanya dapat menikah setelah mendapatkan penetapan dispensasi kawin dari pengadilan. Pengadilan saat ini menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan dispensasi kawin. Kantor Urusan Agama (KUA) akan menolak menyelenggarakan perkawinan bawah umur tanpa adanya dispensasi dari pengadilan. Surat penolakan tersebut akan menjadi bukti untuk mengajukan dispensasi ke pengadilan.
Namun, masih banyak masyarakat yang tidak setuju dengan pengajuan dispensasi ini. Terkadang, pihak-pihak tersebut mencari alternatif lain dengan melangsungkan perkawinan siri atau bawah tangan. Hal ini sangat berbahaya. Fungsi dispensasi kawin sebenarnya adalah untuk melindungi anak-anak dari bahaya yang lebih besar.
Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang kuat antara lembaga-lembaga, akademisi, tokoh masyarakat, dan media dalam mencegah praktik pernikahan dini. Mari kita bahas beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi tingginya kasus pernikahan dini di Indonesia.
1.Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan menjadi kunci dalam memerangi pernikahan dini. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan, dampak negatif pernikahan dini, serta pentingnya pendidikan bagi perempuan. Program pendidikan yang komprehensif harus diperkenalkan di sekolah-sekolah dan masyarakat untuk mengubah pandangan yang membenarkan pernikahan dini dan mempromosikan kesetaraan gender.
2.Penguatan Kebijakan: Diperlukan kebijakan yang kuat dan komprehensif untuk melindungi perempuan dari pernikahan dini. Pemerintah harus mengesahkan undang-undang yang melarang pernikahan di bawah usia 18 tahun dan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran tersebut. Selain itu, kebijakan harus fokus pada peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan reproduksi, dan pemberdayaan ekonomi untuk mendorong kemandirian perempuan.
3.Peningkatan Akses ke Pelayanan Kesehatan: Meningkatkan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas penting dalam mengatasi pernikahan dini. Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif harus tersedia secara luas, termasuk informasi tentang kontrasepsi, perawatan pranatal, dan dukungan setelah melahirkan. Ini akan membantu mengurangi risiko kesehatan bagi perempuan yang hamil pada usia yang masih sangat muda.
4.Pemberdayaan Perempuan: Pemberdayaan perempuan melalui pelatihan keterampilan, pendidikan, dan akses ke lapangan kerja dapat membantu mengurangi kecenderungan pernikahan dini. Memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan potensi mereka secara pribadi dan ekonomi akan membuat mereka lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan pada pernikahan yang terlalu dini.
5.Kerjasama Antarlembaga: Tantangan pernikahan dini harus ditangani melalui kerjasama yang erat antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan. Kolaborasi ini penting untuk menyediakan pendekatan yang holistik, termasuk advokasi, dukungan, dan penguatan kelembagaan yang bertujuan untuk mengatasi masalah pernikahan dini secara menyeluruh.
Dalam menghadapi tingginya kasus pernikahan dini, kesadaran dan tindakan bersama adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang positif. Melalui pendidikan, kebijakan yang kuat, akses ke pelayanan kesehatan, pemberdayaan perempuan, dan kerjasama yang erat, kita dapat mengatasi masalah pernikahan dini di Indonesia. Hanya dengan mengambil langkah-langkah ini secara kolektif, kita dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi perempuan di negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H