Mohon tunggu...
Ludovicus Mardiyono
Ludovicus Mardiyono Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku "Kingdom Leadership"

Kingdom citizen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merevolusi Revolusi Mental Jokowi

17 Februari 2016   05:29 Diperbarui: 17 Februari 2016   13:19 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang, ijinkan saya mengutarakan beberapa pemikiran dengan maksud memberi masukan agar revolusi mental ini benar-benar menjadi gerakan nasional:

Pertama, saya sependapat dengan pernyataan Jokowi bahwa pemimpin dan pemikir Indonesia bingung dengan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Semua pemimpin tidak puas dengan apa yang terjadi dan semua ingin perubahan model pembangunan tetapi tidak mengerti model sepeti apa yang ingin dibangun, itu namanya bingung.

Kedua, ketika Jokowi mengatakan bahwa pemimpin dan pemikir bingung, saya mengasumsikan bahwa Jokowi sedang tidak bingung artinya dia memiliki knowledge, understanding and wisdom untuk mengatasi permasalahan bangsa. Ini terbukti dengan usulannya yang diberi nama “Revolusi Mental” dan disebutnya sebagai paradigma baru (new paradigm).

Ketiga, kesalahan cara kelola Negara (mismanagement) adalah sebab paling mendasar, dan Jokowi menyatakannya dengan sangat tepat. Artinya, bisa diduga bahwa Jokowi mengerti model managamen yang benar untuk mengelola Negara. Itu terbukti dengan usulan Jokowi bahwa pembangunan bangsa (national building) harus berfokus membangun manusia bukan institusi. Saya percaya ini benar. Pemimpin sejati tidak “building building tapi building people.” Secara konsep Jokowi benar.

Kempat, hal yang menarik adalah Jokowi menyebut beberapa contoh budaya atau nilai yang merusak dan dia ingin menggantinya, antara lain; korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.

Tapi sayang, Jokowi tidak berani menyatakan hal-hal yang menyentuh kehidupan sehari-hari seperti budaya: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan dan pesta pora.

Sebenarnya yang perlu dibangun bukan hanya para pemimpin tetapi semua warga Negara Indonesia karena yang mengalami kerusakan bukan hanya pemimpin tetapi juga warga Negara Indonesia, artinya yang perlu diganti adalah budaya Negara.

Kelima, secara khusus Jokowi menyebut bahwa “ingin cepat kaya”, atau istilah saya “cinta akan uang” telah menjadi sumber masalah itu sangat tepat dan ini harus diakhiri, tapi untuk masalah ini Jokowi tidak memberikan jalan keluar.

Untuk masalah cinta akan uang ini perlu brainwash atau wash the brain bahwa uang tidak perlu dikejar, yang harus dikejar dan dicari adalah konsep-konsep kebenaran lalu dipraktikan di Indonesia. Dengan demikian uang dan fasilitas lain akan mengikutinya.

Jokowi juga menolak idelogi liberalsime dan menawarkan revolusi mental. Saya kira ini class atau pertarungan ideologi yang nyata. Paham liberalism dilawan oleh revolosi mental dengan tiga sila sakti; Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya.

Saya percaya, konsep Trisakti ini masih dan relevan untuk konteks Indonesia saat ini, namun saya melihat ada kekeliruan tafsir yang dilakukan oleh Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun