Indonesia berpotensi menjadi target berikutnya dalam kebijakan proteksionisme Trump. Surplus perdagangan Indonesia dengan AS, meski tidak sebesar Tiongkok atau Meksiko, bisa menjadi alasan bagi administrasi Trump untuk memperluas cakupan tarifnya.Â
Terlebih, isu-isu seperti perdagangan nikel dan mineral strategis lainnya bisa menjadi pemicu ketegangan perdagangan bilateral. Selain itu, industri manufaktur Indonesia yang terintegrasi dengan rantai pasok global juga akan merasakan dampak tidak langsung.Â
Kenaikan biaya komponen dari Tiongkok dan gangguan pada rantai pasok regional dapat meningkatkan biaya produksi. Resiko itu juga bisa mendorong relokasi industri dari negara-negara yang terkena tarif ke Indonesia.Â
Kemungkinan itu bisa saj terjadi jika pemerintah dapat menawarkan insentif dan iklim investasi yang menarik. Meski begitu, realokasi rantai pasok global dan pergeseran dinamika perdagangan bisa saja menciptakan ketidakpastian ekonomi.Â
Tarif Trump secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) yang mendorong perdagangan bebas dan non-diskriminasi.Â
Pendekatan unilateral itu tidak hanya melanggar norma-norma perdagangan internasional, tetapi juga berpotensi merusak institusi multilateralisme yang telah dibangun selama beberapa dekade.
Argumen keamanan nasional Trump terkait imigrasi dan narkoba tampak lebih sebagai retorika politis daripada strategi komprehensif. Data menunjukkan kompleksitas isu imigrasi dan perdagangan narkoba yang tidak dapat diselesaikan semata-mata dengan tarif.
Tarif Trump bukan sekadar kebijakan perdagangan, melainkan manifestasi dari paradigma "America First" yang berpotensi menghancurkan arsitektur ekonomi global.Â
Pendekatan proteksionis ini tidak hanya mengancam kepentingan ekonomi internasional, tetapi juga mendemontrasikan kemunduran dari prinsip-prinsip globalisasi dan kerja sama multilateral.
Sumber: 1.https://www.cnn.com/2025/02/01/politics/mexico-canada-china-tariffs-trump/iindex.html